🌻03. Andai🌼

114 28 0
                                    

Gadis itu menghela napas panjang ketika suara resepsonis terdengar menggema di speaker depan kelas. Bu Airin langsung menatapnya, seolah menginterupsi gadis itu untuk segera pergi ketika pengumuman baru saja berakhir.

Dengan hela napas panjang gadis itu kemudian berdiri. Melewati beberapa kursi sampai akhirnya berhadapan dengan bu Airin.

"Maaf Bu, saya izin untuk rapat dengan pengurus osis," kata gadis itu lebih tenang.

Bu Airin lantas tersenyum. Mengangguk kecil seolah paham dengan apa yang akan dibahas nantinya.

"Tidak apa Ji, nanti kamu kembali setelah rapatnya selesai ya," guru muda dengan wajah cantik itu tersenyum menenangkan.


Meski terkenal jadi waka kesiswaan yang sering mengejar anak-anak tak berdasi. Bu Airin memang wali kelas paling baik hati.

Gadis itu melangkah sendiri. Menatap awan-awan cumulonimbus di atas langit. Kemungkinan, nanti ia akan benar-benar pulang lebih cepat. Tugas menggunung akan lebih banyak menyita waktunya.

Tugas bukanlah sesuatu yang berat. Tapi, tidak setiap hari Jingga bisa menggarap semua tugas sekolah hingga tuntas. Praktek membuat aplikasi bahkan belum ia sentuh sama sekali. Padahal, waktunya hanya satu minggu. Lantas, Jingga kembali menghela napas panjang.

Manusia adalah sosok yang penuh dengan kata andai. Andai, jika dirinya lahir lebih cepat dan hadir untuk menghangatkan keluarganya, mungkin Jingga hanya perlu belajar dengan giat di rumah. Tapi, alih-alih melakukan hal itu, dunia benar-benar mempermainkan dirinya bahkan sebelum lahir ke dunia yang fana.

Jingga selalu merasa bahwa namanya tidak cocok dengan keadaannya sekarang ini. Bagaimana nama Jingga yang berarti hangat--tidak memiliki arti apapun untuk dua orang tuanya.

Mungkin saja mereka menyesal. Kelahirannya di dunia hanya untuk menyaksikan patah hati terberat milik Mama. Sampai hari ini Jingga masih mencari apa arti namanya yang sebenarnya. Andara Jingga Herindraprasta.

Jingga berdiri pongah di ujung koridor. Memandangi lapangan basket yang terlihat begitu ramai. Kemudian, gadis itu tertawa hambar. Sepertinya, dia hidup selayaknya.

Dadanya terasa sesak. Apalagi ketika laki-laki berkulit pucat dengan mata tajam itu menatapnya tepat. Seper sekian detik terkunci dalam sebuah pandangan yang mungkin memiliki arti yang berbeda.

Gadis dengan rambut kuncir kuda itu memilih untuk melengos lebih dulu. Memalingkan wajah, matanya seperti merasakan sensasi panas setelah memotong bawang merah. Dengan langkah pasti, Jingga benar-benar meninggalkan laki-laki itu dengan perasaan mencelos.

Sampai kapanpun. Ikhlas mungkin tidak akan pernah terucap. Meski ia juga membenci semua orang yang hadir di hidupnya. Meski--laki-laki itu juga tak bersalah sepertinya.

Pada akhirnya Jingga berhenti. Memukul dadanya sebelah kiri yang tiba-tiba diserang sesak tanpa ingin keluar. Ini sudah terlalu lama. Dirinya bahkan tidak bisa mengingat apapun lagi tentang memori kedua orang tuanya.

Gadis jangkung itu bersandar pada tembok pembatas. Menarik napas panjang untuk membuat rongga dadanya membesar. Mengusap dada sebelah kiri sembari menggumamkan mantra ajaib yang sudah lama ia tinggalkan.

Enam belas tahun lamanya. Harusnya perasaan sesak itu sudah pergi jauh dan menghilang selamanya. Harusnya, tidak ada yang perlu ia sesali mengenai hidupnya yang rumit.

"Jingga?" suara berat seorang lelaki membuat Jingga hampir terlonjak dari tempatnya.

Laki-laki yang ia kenal sebagai ketua kelas TAV 2 itu mengangkat kedua alisnya. Kemudian mengedik menunjuk pada ruang rapat MPK di seberang lapangan.

Antara Jingga Dan Raditya | Haechan YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang