🌼09. Laki-laki Itu🌻

77 20 0
                                    


Jingga termangu di depan lemari. Matanya fokus memperhatikan jaket varsity berwarna biru yang menggantung di sana. Ia mendesah berat. Kenapa juga menerima tawaran si Haikal jika pada akhirnya cowok itu justru tumbang dan tak berangkat sekolah kemarin?

Ia masukkan jaket itu ke dalam paper bag coklat. Dengan langkah ringan, pagi yang akan dilewati hari ini mungkin lebih baik dari yang lalu. Meski suasananya sama saja. Sarapan tanpa siapapun, hanya dirinya yang duduk di meja makan besar itu.

Jingga tidak menuntut apapun. Karena selama ini, harapannya terus saja pupus dan digantikan harapan baru. Sampai akhirnya Jingga berhenti berharap pada siapapun, Mama, maupun Papa. Atau mungkin, dirinya sendiri.

Semua yang terasa sepi ini sudah menjadi makanannya sehari-hari. Meski awalnya.. Mama masih ada di sini. Mama masih mau mengantarnya ke sekolah, membuatkan sekedar nasi goreng di tengah kesibukannya. Mengepang rambutnya yang dulu lebih panjang daripada ini. Tapi kini, hanya hela napas gadis itu yang terdengar lelah dan putus asa.

Jingga menuntaskan sarapannya. Kemudian memanggil sang asisten yang berlari tergopoh dari arah dapur. Membuat Jingga tersenyum tipis di tengah ruangan.

"Pelan-pelan aja Mbok," Jingga tertawa kecil. "Jingga berangkat dulu ya,"

Mbok Rusmi--sang asisten mengangguk kecil. Membenarkan letak tali tas Jingga yang agak melorot setelah menyalami tangannya yang bau bawang. Perempuan paruh baya itu ikut tersenyum. Membesarkan Jingga selama ini selalu mudah, gadis kecil itu benar-benar tumbuh jadi sosok yang kuat.

"Loh, itu jaket bukan punya non Jingga?" Jingga yang semula sudah berjalan pergi akhirnya berhenti. Berbalik mengangkat paper bag di tangan.

"Oh ini.. Punya temen Jingga," balas gadis itu dengan cengiran lebar.

Mbok Rusmi manggut-manggut. "Tapi anu non, kemaren sama mbok dikasih pewangi yang biasa dipakai non Jingga,"

Wanita paruh baya itu kembali mendekat pada anak majikannya. Menunjuk jaket varsity biru yang kemarin Jingga cuci sendiri. Tapi beliau beri pewangi yang sama dengan milik Jingga. Karena biasanya, pakaian Jingga dan milik orang lain memiliki pewangi yang berbeda. Katanya, biar jadi ciri khas non Jingga saja.

"Yaudah nggak apa Bi. Bau mawar ini, enak," Jingga kembali melangkah lebih ringan. Sepatu kets miliknya yang berwarna putih sesekali dibawa melompati anak tangga sebelum sampai ke garasi.

Gadis itu sontak berhenti. Bergeming di tempatnya berdiri tepat sebelum anak tangga terakhir di teras rumahnya. Tatapannya lurus pada seorang laki-laki dengan pakaian rapi di depan gerbang. Terlihat bercengkrama dengan Pak Santo sang sopir.

Napas Jingga naik turun. Rasa sesak seolah memenuhi rongga dadanya. Rasa ringan sebelum ini seolah meluap digantikan perasaan lain yang membuatnya frustrasi. Terlebih, ketika laki-laki itu menoleh padanya. Sedikit tersenyum, tapi Jingga justru melengos menutup pintu mobilnya lebih keras dari biasanya.

Gadis itu bersandar pada jok mobilnya. Tidak akan pernah sudi menatap manik mata yang terlalu mirip dengannya. Kenapa justru gen laki-laki itu yang turun lebih banyak padanya? Kenapa dari sekian banyak kelebihan laki-laki itu, harus fitur wajah yang begitu mirip begini?

Jingga kira, harinya akan lebih baik. Dia akan kembali bertemu Haikal dan mengucapkan terimakasih atas kebaikannya. Alih-alih Haikal Raditya yang mirip matahari pagi, ia justru bertemu badai pagi-pagi buta seperti ini.

Ia pukul dadanya sebelah kiri ketika pak Santo meminta maaf padanya kemudian melajukan mobil membelah jalanan kota. Jingga masih sama rapuhnya dengan yang dulu. Masih menjadi gadis biasa yang menganggap Papanya sudah lama mati. Tapi justru, pria itu kembali memunculkan diri.

Tidak bisakah dia pergi saja? Tidak bisakah dia benar-benar menghilang dan tidak menampakkan diri di depan Jingga? Semua sepi yang menemani sejak Jingga bayi bahkan tidak akan menerima kehadiran laki-laki yang menyumbang nama marga pada namanya.

Herindraprasta.


***

Matahari bersinar terik dengan langit biru yang lebih bersih. Tidak ada awan putih bergumpal di atas sana. Seperti korelasi antara Chaca dan Haikal Raditya. Jika Haikal mengaku sebagai matahari, maka Cantika--yang biasa disebut Chaca adalah langit yang bersih itu. Entahlah betulan polos atau memang sebaik itu.

Gadis yang hari ini rambutnya di kepang sebagian itu menoleh kanan kiri. Mencari keberadaan jus mangga yang baru saja ia tusuk permukaan plastiknya menggunakan sedotan. Padahal Chaca hanya berbalik untuk mencari pulpennya yang terjatuh di meja belakang.

Cantika Kinar akhirnya curiga pada sosok dengan rambut mulai panjang itu. Yang kini berdiri mengarah pada jendela luar. Mendekat, Chaca dibuat terperangah karena ketika Haikal menoleh dengan gelas jus mangga yang tersisa seperempat. Seperempat.

"Lo ambil jus gue? Iya kan?" Chaca berkacak pinggang. Mendelik pada Haikal yang justru memegangi dadanya dramatis.

Haikal si bocah tengik itu menggeleng dengan raut wajah sok tersakiti. Bibirnya melengkung ke bawah.

"Gue beli. Noh tanya si Jino. No!" Haikal melambai pada Gino yang saat itu baru saja memasuki kelas. "Nih lo dicariin Chaca,"

Keduanya jelas mendelik. Antara terkejut ataupun malu. Ya mana mungkin Chaca si gadis pemalu akan mengatakan dirinya mencari Gino Satria yang masuk jajaran murid hits di sekolah tanpa satu alasan pasti? Mana bisa?

Alih-alih menghadapi Gino yang kini berubah lebih datar--Chaca menyerbu Haikal. Mengejarnya dengan batang penghapus papan tulis. Sementara wajahnya benar-benar memerah akibat ulah si matahari sialan ini.

Haikal? Jelas kesenengan. Merasa menang karena siapapun yang marah membuktikan betapa hebatnya ia membuat anak orang blushing. Apalagi respon Chaca yang selalu menggemaskan. Masa bodoh pada Gino yang menatapnya tajam dari pojok kelas.

Laki-laki itu tertawa riang. Berlarian hingga keluar kelas, hampir menabrak beberapa orang meski pada akhirnya berhenti. Terpaku pada sosok itu yang berjalan tanpa menoleh sedikitpun.

Kedua matanya yang bulat berkedip. Ah, Jingga. Jika biasanya ia akan mendapati Jingga menatapnya dua sampai empat detik lamanya. Kini Jingga justru melengos. Membiarkan Haikal yang bergeming dibuat hitam oleh Chaca.

"Cha, gue udah ganteng belom?" tanya Haikal setelah tidak merasakan permukaan penghapus pada wajahnya. Menoleh pada Chaca yang menatapnya aneh. "Gue mirip kayak Verrel Bramasta kan?"

Chaca beringsut mundur. Sepertinya Haikal betulan terguncang jiwanya setelah meminum jus mangga yang sudah ia beri sumpah serapah.

RIP. Jiwanya Haikal Raditya.


🌼🌻🌼🌻🌼🌻

Mulai muncul sosok lain ya disini :) dan bakal muncul perlahan

alurnya emang deeply and slowly

Antara Jingga Dan Raditya | Haechan YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang