🌼01. First Impression🌻

194 30 0
                                    


Sebuah panorama indah terbentuk ketika sinar matahari yang jatuh ke bumi mengalami pembiasan cahaya. Yang harusnya berwarna biru--sampai ke bumi menjadi kemerahan.

Orang-orang memiliki pandangan yang berbeda mengenai senja. Jika Jingga memilih untuk menikmati senja beserta semilir angin yang menerbangkan ujung rambutnya.

Maka gadis itu juga merasa ringan melihat gumpalan awan yang juga kemerahan. Mungkin, sebagian orang akan melakukan hal yang sama. Hanya untuk memandangi bagaimana matahari pergi meninggalkan senja yang begitu pekat. Sebelum bulan naik menggantikannya.


Semilir angin kembali menerpa wajah yang mulai dingin itu. Tidak ada ekspresi meskipun senja di kaki langit terlihat lebih indah dari biasanya. Bulan memang belum benar-benar muncul. Hanya saja, bagian timur memang berubah lebih hitam dari warna sebelumnya.

Kopi yang diseduh sejak bermenit-menit yang lalu mungkin sudah tidak memberikan sedikitpun kehangatan. Meski rasanya masih sama saja. Pahit. Rambutnya yang mulai menyentuh telinga dibiarkan saja terbang. Ikut menari bersama angin senja yang sejuk. Perlahan, ia membuka mata.

Jika biasanya ia akan berakhir sendiri menatap kepergian matahari, kali ini ia bersama Jingga. Bukan warna kemerahan yang timbul akibat pembiasan matahari. Tapi Jingga yang sebenarnya.

Gadis itu juga melakukan hal yang sama. Duduk di tepian pembatas rooftop. Menikmati semilir angin yang juga menerbangkan rambutnya yang jatuh sepunggung.

Haikal sadar, tidak banyak perempuan yang akan berakhir seperti Jingga. Duduk di sisinya tanpa terganggu sedikitpun. Karena kebanyakan gadis menganggap Haikal hanya pengganggu yang tak tahu malu.

Jingga meraih gelas kopinya. Menyesapnya meski terasa tak lagi sama seperti lima belas menit yang lalu. Ia kira, Haikal akan berceloteh mengenai banyak hal. Seperti yang ia lihat tiga jam yang lalu ketika laki-laki itu memanggil-manggil nama Shirena di depan kelas. Ternyata, semua memang tergantung sudut pandang orang-orang terhadap sosok ini.

Hela napas panjang terdengar meski disamarkan oleh dersik angin yang menggoyangkan ranting-ranting pohon di bawah sana. Juga pot besar dengan bunga-bunga bugenvil yang indah. Sang surya belum benar-benar pergi.

Sementara keduanya masih diam membisu setelah Haikal menutup obrolan mengenai kopi yang ia tawarkan. Seolah menyelam lebih dalam pada panorama itu. Pada warna kemuning dengan semburat kemerahan. Dan lama-lama ungu juga menampakkan diri di kaki langit.

"Lo suka ke rooftop gini?" Haikal bertanya tanpa menoleh. Karena mengantisipasi pertanyaan yang tak terbalas.


Laki-laki itu tertawa samar. Mengangkat satu kaki dengan gaya santai. Mengeluarkan wadah dari saku sebelah kiri. Menarik perhatian Jingga.

"Lo sendiri?" alih-alih menjawab, Jingga memutar pertanyaan pada Haikal.

Tepat setelah laki-laki itu memasukkan batang berwarna putih ke mulutnya. Jingga memang sudah curiga sedari tadi, tapi laki-laki itu tak mengudarakan asap putih sama sekali. Pada akhirnya Jingga menoleh.
Hanya untuk mendapati Haikal mengangsurkan bungkus berwarna biru dengan permen merah di bagian depan. Wajah gadis itu terlihat tenang dengan sorot teduh yang dalam.

Haikal tak tahu jika pada akhirnya Jingga akan melontarkan pertanyaan yang sama padanya. Membuatnya diam-diam tersenyum setelah permen yang awalnya ia sodorkan kini disambut baik oleh gadis itu.

Dalam matanya yang penuh ke-sok-tahuan, Jingga adalah gadis sombong yang enggan bertegur sapa dengan siapapun. Meski Haikal sering melihat gadis itu tertawa di tengah keriuhan kelas.

Antara Jingga Dan Raditya | Haechan YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang