🌼42. Penolakan Jingga🌻

57 17 2
                                    

Onemis sore itu ramai seperti biasanya. Anak-anak Techno hampir menempati semua kursi ketika Jingga baru saja mendorong pintu kaca diikuti Aylin di belakangnya. Gadis jangkung itu menoleh kanan kiri sebelum menunggu Aylin mensejajari tubuhnya.

"Take away aja?" tanya Jingga yang diangguki Aylin.

"Hng. Langsung aja, kita harus urus tiket abis ini," Liana Aylin sempat menoleh sebelum kembali fokus pada layar ponsel miliknya. "Buka tiket hari ini gue sama Haikal, lo mau nitip sesuatu buat dia?"

Jingga memicing, kemudian menahan senyumnya. "Tumben lo mau gue titipin buat Haikal, biasanya juga musuh banget sama cowok gue,"


Aylin memutar bola matanya jengah. Sepertinya ia salah berucap. Jadi kini ia menoleh, untuk melihat betapa menyebalkannya wajah Jingga.

"Ini kalo orang-orang denger harus banget sih digaris bawahi 'cowok gue' -nya," sementara Aylin berdecak, Jingga justru menyeringai lebar dengan gaya salah tingkahnya.


"Sumpah ya Ji, selama ini gue baru liat sisi lo yang ini. Agak serem ya ternyata," gadis mungil itu menggeleng kecil. "Yaudah tapi nggak papa, untung lo masih agak waras dikit nggak bener-bener ketularan Haikal,"

Jingga lagi-lagi menyeringai. Meski selanjutnya menyebutkan pesanan bersama Aylin-- juga satu untuk Haikal. Lalu menoleh kanan kiri untuk menentukan dimana mereka akan menunggu hingga pesanan mereka selesai dibuat.

Jingga mengedarkan pandangan. Mencari setidaknya ada satu meja kosong untuknya menunggu. Lalu, ia jelas melihat Shiren ada di salah satu kursi. Agaknya terkejut ketika pandangan mereka bertemu. Meski setelahnya Jingga memutus kontak lebih dulu.

"Tuh tuh, ikut Karin sama Sella tuh!" Aylin menarik pergelangan tangan Jingga. Berniat membawa gadis itu pada Sella dan Karin yang tengah melambai pada mereka di meja ujung sebelah kanan.

Jingga menoleh beberapa saat untuk melihat lagi bagaimana Shiren dan Jani yang mengatupkan bibirnya rapat. Padahal bisanya Jani akan sangat berisik.

Belum sempat Jingga melangkah lebih jauh, langkahnya lagi-lagi terhenti. Kali ini pemuda dengan kaus putih menghampirinya. Diikuti beberapa orang dengan salah satu memeluk bola basket berwarna orange. Membuat Jingga menarik napasnya yang memberat.

"Ji, bentar," suara beratnya menarik perhatian beberapa orang di sekitar. Atau mungkin keberadaannya memang menarik atensi orang-orang lebih banyak.

"Bisa biarin gue lewat nggak?" Jingga mendengus kecil, agak mendorong tubuh Lintang agar menjauh memberinya jalan.

"Cuma bentar doang," alih-alih menuruti apa kata Lintang, Jingga kini beranjak menjauh. Menuju meja Karin, yang mana Aylin sudah sampai lebih dulu untuk memberinya privasi.

"Ji,"


Langkah Jingga benar-benar terhenti ketika lengannya ditahan oleh Lintang. Gadis itu menarik napas panjang melirik pergelangan tangannya yang masih Di genggam cowok jangkung itu.

"Seenggaknya jawab pertanyaan gue," cowok itu agaknya frustrasi. Menghadapi Jingga jelas lebih rumit daripada memutuskan mantan pacarnya yang tidak bisa dihitung jari. "You okay?"


"No. Karena lo sering ngelanggar gue, kayak gini," Jingga kembali menarik tangannya hingga lolos dari genggaman Lintang. "Berhenti buat pantau gue, karena gue udah nggak punya apapun buat ngancem kehidupan sempurna lo itu,"



"Stop bilang kayak gitu," cowok itu mengeraskan rahang dengan mata terpejam menahan diri. "Gue selalu salah di mata lo,"

"Sejak kapan gue merasa kalo lo benar?" Jingga menghela napas kasar. "Tapi apa gue pernah ngebela diri dan bilang kalo kalian salah-- udah hancurin hidup gue?"


Antara Jingga Dan Raditya | Haechan YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang