🌻35. Kelabu🌼

57 16 1
                                    

Biasanya, rumah akan ramai ketika Haikal berkumpul dengan adik-adiknya. Biasanya, ketika minggu tiba, Haikal akan ada di rumah Bandung untuk sekedar memakani masakan mama. Menemani bapak berkebun di belakang, mengusili adik-adiknya. Atau bahkan, ia rela hujan-hujanan demi menemani bapak memancing di kolam dekat perumahan.



Tapi justru kini, di kamis pagi yang mendung ia termenung. Di tengah rumah yang riuh dan dipenuhi manusia. Yang justru, Haikal merasa sepi itu makin menyergap dadanya. Memberikan efek sesak bukan main.


Harusnya Haikal bisa ikhlas kan?


Pemandangan dua bocah perempuan yang tengah menangis di pojok kamar membuat hatinya sakit bukan main. Apalagi, Mamah yang sampai saat ini belum mau menemui siapapun.



Air mata Haikal sudah kering sejak semalam. Tapi tak bisa ditampik yang di dalam sana justru makin banjir tak keruan. Seperti ada badai yang melanda sebelum tsunami datang.


Hari ini rumah begitu ramai. Ramai akan saudara dan tetangga yang datang. Berduyun mengucapkan bela sungkawa, mengatakan Haikal, mamah dan adik-adik agar diberi ketabahan oleh tuhan.


Rumah ini kembali ramai setelah beberapa hari lalu Haikal pulang. Tapi agaknya, ramai yang ini tak pernah Haikal harapkan sebelumnya.


Bocah itu kini duduk di belakang rumah. Memandangi beberapa tanaman palawija yang bapak tanam beberapa bulan lalu. Ia menghela napas panjang dengan mata sendu yang terlihat kelam.



Dalam benaknya ia bertanya-tanya. Kenapa bapak harus pergi secepat ini? Kenapa bapak mengalihkan tanggung jawab padanya di saat dirinya masih begitu muda?


Akan ada banyak kata mengapa yang mungkin sia-sia. Karena merenung seperti ini jelas membuat Haikal makin merindukan Bapak.

"A' Ecan," seorang memanggil laki-laki itu. Membuatnya langsung menoleh dengan tatapan bertanya. "Elysa mau ditemani a' Ecan katanya,"

Haikal berdeham pelan. Mengangguk pada perempuan paruh baya itu yang tadi memanggilnya. Laki-laki itu meneguk ludah sekali lagi menatap halaman belakang rumah. Dia harusnya tak berdiam diri di belakang rumah seperti ini.


Kakinya yang panjang ia seret untuk naik ke lantai atas. Menemui dua adiknya yang sampai sekarang masih enggan turun dan menerima kenyataan bapak sudah tak ada. Dua bocah itu menangis sesegukan, begitu jelas terdengar di telinga.


Kemunculan Haikal di ambang pintu membuat Elysa langsung merengek makin keras. Gadis kecil berusia enam tahun itu memeluknya erat. Menangis makin sendu, membuat Jingga yang tak jauh ada di dekatnya menatap itu dengan hati mencelos.


"A' katanya bapak mau ajak ke trans studio minggu depan? Kenapa bapak malah ingkar janji sih?"


Haikal meneguk ludah dengan dada sesak bukan main. Ujaran gadis kecil ini menambah intensitas sesak itu makin pekat. Mata Haikal yang bulat itu menyendu. Tangannya yang hangat kini ia gunakan untuk menangkup pipi bulat adiknya.


"Besok pergi sama aa aja ya?" tawarnya langsung dapat penolakan keras. "Nanti aa bakal ajak Icha ke Dufan juga deh. Mau ya nanti?"


"Nggak! Yang janji kan bapak," gadis berpipi bulat itu menggeleng keras tak setuju dengan ucapan kakaknya. Melengos keras karena kemauannya tak jua ada yang mau menuruti.


"Ca.." suara Haikal yang serak agaknya tak menarik perhatian sang adik. "Disini, Ica masih punya aa. Ada teh Esha, ada mamah, tuh.." Haikal menunjuk seorang gadis bermata tajam di sisi ranjang. "Ada kak Jingga juga,"


Antara Jingga Dan Raditya | Haechan YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang