🌼14. Selamat Pagi, Jingga!🌻

75 22 0
                                    

Menghargai bukan hanya dengan uang :)
Vote wp gratis kok
.
.
.



Cuaca pagi ini terlihat lebih cerah daripada mata Haikal. Iya. Mata laki-laki itu yang biasanya berbinar kini agak redup. Matanya benar-benar menyimpan banyak kantuk sementara sekolah tidak memiliki dispensasi sedikitpun untuk mengobati kantuk Haikal.


Air dingin pagi ini juga cukup membuatnya menggigil dan agak tersadar. Jaketnya yang berwarna putih melekat rapat, juga helm bogo berwarna coklat benar-benar menghangatkan Haikal. Setidaknya menghalau angin-angin yang menerobos tubuhnya pagi ini.


Motornya berbelok memasuki perumahan tante Ika setelah beberapa menit melaju dari perumahannya sendiri. Tapi alih-alih berhenti di depan pekarangan rumah wanita itu, Haikal justru lurus dan berbelok ke arah kiri. Berhenti tepat di depan rumah besar dengan nomor 17.

Rumah si Jingga.



Dengan senyuman lebar yang merekah, Haikal menekan bel seperti malam tadi. Berharap Jingga segera datang dan berangkat bersamanya. Terserah akan membonceng si Nici--motornya atau justru mengendarai mobil putih di garasi itu.

Ia agak memperbaiki posisi helm yang betulan nyaman di kepala. Lagi pun, Haikal tidak akan melepasnya karena sekali buka, yang lepas bukan hanya udara, tapi kegantengannya yang melebihi Park Bogum. Nanti Jingga pingsan.


Haikal kembali menekan bel di dekat pagar. Sembari menilik pada pintu utama yang masih tertutup rapat. Bibirnya gatal ingin menyerukan nama gadis itu seperti yang biasanya ia lakukan ketika berkunjung ke rumah James ataupun Yerina. Persis nyamper untuk main layangan.


"Jingga.. Oh Jingga. Selamat pagi Jingga," katanya meracau dengan embusan yang terlihat jelas dari bibirnya. Membumbung tinggi dengan ucapan selamat pagi yang hangat.


Baru saja Haikal akan menekan bel untuk kali ketiga. Sebuah mobil berwarna hitam mengkilap--yang Haikal yakini harganya bukan main-- berhenti di sisi motornya yang buluk karena kemarin lupa di cuci setelah hujan-hujanan.


Si pengendara yang menampakkan diri menepikan mobilnya tepat di depan motor Haikal. Lantas, laki-laki itu hanya bisa berdoa pada tuhan, agar nanti punya mobil yang modelnya begitu juga.


"Cari siapa?" laki-laki dengan tubuh tegap dan jangkung berdiri beberapa meter di depan Haikal setelah keluar dari mobilnya.



Ah, Haikal saja sampai terpesona begini meski dirinya juga laki-laki. Apalagi si Yerina, Ajeng, apalagi Chia. Bahh.. Pak Gibran sih mungkin ada selevel di bawahnya.


"Cari Jingga, Om," laki-laki itu menyeringai. Segera menyalami punggung tangan pria asing itu.


Wajahnya yang tegas dengan mata kecil dan alis tebal mengingatkannya pada Jingga. Lalu, setelah beberapa saat laki-laki itu hanya diam mematung setelah memberi salam pada Haikal, pada akhirnya ia kembali melangkah. Membuka gerbang hitam rumah Jingga dengan hela napas samar.


"Satu sekolah sama Jingga?" sebetulnya pria itu hanya basa basi semata, memberi label ramah pada siswa di belakangnya yang menunggu gerbang terbuka.



"Iya Om. Saya temannya Jingga," tapi jawaban itu justru terdengar begitu bangga dan jumawa. Membuat pria paruh baya itu mengangguk paham. "Bapaknya Jingga?"



Pria dengan kisaran umur pertengahan 40 tahun itu tersenyum saja. Mengangguk kemudian dengan gaya terlewat kalem. Pantas anaknya membuat Haikal begitu terpesona, bapaknya saja modelan begini.


Antara Jingga Dan Raditya | Haechan YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang