🌼38. Pacar Ecan🌻

102 17 2
                                    

Haikal baru saja memarkir motornya di dekat gerobak martabak depan perumahan tante Ika. Ia kemudian duduk di sisi gerobak menunggu pesanannya dibuat oleh si penjual. Ia mengernyit, tak jua mendapat balasan dari Jingga hampir seharian ini.


Apa harus ia cari ke rumah Lintang?


Laki-laki itu menghela napas panjang. Memandangi chat terakhir dengan Jingga sore kemarin-- sebelum dirinya memutuskan untuk menelepon gadis itu. Apa Jingga baik-baik saja?


Haikal menghela napas gusar. Ia baru saja tiba di rumah tante Ika beberapa menit lalu. Langsung pergi ke tempat martabak karena Dean--anak tante Ika-- meminta martabak manis. Membuat Haikal yang hampir terlelap di sofa harus pergi lagi demi menuruti bocah itu. Yang ia yakini sudah tertidur pulas di kamarnya.


"Martabak coklat keju," Haikal terkesiap ketika si penjual menyerukan pesanannya. Ia merogoh saku dan membayar martabak di tangannya.


Seketika, bayang-bayang merah seolah muncul di sisi kepalanya. Haikal terkekeh singkat, menyiapkan motornya sembari meletakkan kantung kresek pada bagasi depan. Seringaiannya tak pudar sementara tangannya menarik kuat gas di tangan kanan. Alih-alih berbelok ke arah kiri, ia justru terus melaju mengambil jalan lurus.


Biar saja si Dean merengek-rengek di rumah. Haikal sedang ingin egois pada bocah bandel itu. Bak Joker yang menakuti orang-orang, Haikal tertawa lebar di sepanjang jalan. Sebelum matanya berhasil menangkap siluet seseorang di seberang jalan.


"Jingga!" motornya segera menyeberang dan menepi. Tepat di belakang siluet yang ia yakini adalah Jingga kekasihnya.


Gadis itu agak terlonjak. Terpaku selama beberapa detik menatap seseorang yang beberapa hari ini tak bisa ia temui. Jingga menggigit bibir bawahnya, perlahan merasakan matanya memanas dengan perasaan berkecamuk.


"Hey.. Kenapa di sini?" pertanyaan Haikal tak terbalas. Karena alih-alih menjawab, Jingga justru merunduk menahan tangisnya. "Eh--"


Pada akhirnya Haikal menarik napas panjang. Melangkah maju demi mendekap gadis itu yang bergetar karena tangisnya sendiri. Laki-laki itu menerawang jauh pada lampu jalanan yang bersinar kemuning. Ia mengusap pelan punggung Jingga. Meletakkan dagu di atas kepala gadis itu.



Wangi mawar yang menguar selalu menjadi dambaan untuk Haikal Raditya. Andara Jingga yang tak ia temui selama beberapa hari ini nyatanya tidak baik-baik saja.


Ia bertahan selama beberapa menit, sebelum akhirnya menangkup kedua pipi Jingga yang memerah. Bahkan bisa dilihat dengan jelas mata gadis itu yang sembab.


"Kamu nangis berapa jam?" pertanyaannya hanya dibalas dengusan kasar gadis itu yang melengos.


"Sekarang mau kemana Ndoro?" tanya laki-laki itu seraya menoleh kanan kiri. Tidak mungkin akan tetap begini di depan pelataran bank yang tutup. Yang mana tenda-tenda pecel lele berderet di tepi jalan.


Haikal tetap memeluk Jingga, sembari berjalan mendekati motornya. Ia memandangi Jingga agak lama. Sampai akhirnya gadis itu menatapnya.


"Aku kabur dari rumah Papa," jawaban itu membuat Haikal menghela napas panjang. Tangannya yang dingin mengusap puncak kepala Jingga dengan senyum cerahnya.


"Terus mau kemana? Pulang?" Jingga mengangguk singkat. Tapi kemudian menggeleng sekali lagi. Ia mengerjap lemah menatap jalanan depan yang masih ramai.


"Kayaknya dia bakal balik lagi," gadis itu menggigit bibir bawahnya. Laki-laki paruh baya itu pasti akan kembali. "Mau bantuin nggak?"


Haikal mengangguk singkat. "Apa?" tanyanya dengan suara rendah menenangkan. Sebisa mungkin ia berusaha untuk membuat Jingga tidak khawatir.


Antara Jingga Dan Raditya | Haechan YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang