🌻05. Jatuh Cinta🌼

103 24 0
                                    

Chiken pop dengan rasa hot spicy di tengah meja lebih menggiurkan daripada buku kimia yang terbuka di sisinya. Sama-sama menempati meja yang sama, tapi Haikal memilih mengabaikannya.

Justru sibuk mengunyah chiken pop yang masih tersisa. Sesekali mengangguk ketika Gino menanyakan materi padanya. Membuat si mata sipit itu menghela napas kasar.



Jika saja dirinya tidak bertukar tempat duduk dengan Yunda, mungkin sekarang yang ada di hadapannya adalah Felicia atau siapapun yang lebih normal. Alih-alih bersama dengan manusia setengah otak seperti ini. Haikal jelas tidak akan pernah menggunakan otak kiri untuk berpikir.


Kesabarannya yang betulan tipis diuji ketika berhadapan dengan bocah tengik itu. Dan yang mengherankan, mengapa persahabatannya awet hampir sebelas tahun lamanya.


Dirinya yang ambisius pada tiap tugas. Sedangkan bocah ini adalah si manusia yang enggan dekat-dekat dengan tugas manapun. Kehadirannya dalam tiap kerja kelompok adalah sebagai beban hidup. Bah, muak sekali Gino Satria.

Alih-alih menarik buku di hadapan Gino dan mengejanya, Haikal lebih dulu menarik chiken pop untuk kali berikutnya. Padahal Gino jelas sudah siap meledak setelah ini. Dengan mata sipitnya yang menatap nyalang dan tajam.


"Ringkas nggak." Gino berdecak merasa lelah sendiri. Rahangnya mengeras siap sekali jika dipersilakan membuat keributan. Haikal akan jadi manusia pertama yang mendapat bogemannya.

"Elah.. Timbang seminggu la--UHUKK UHUKK-- sem--UHUKK,"


Suara Haikal tak lagi terdengar. Digantikan suara batuknya yang terdengar menyakitkan. Memukul dadanya sebelah kiri untuk menghilangkan sesak nyatanya tidak memiliki pengaruh apapun. Justru makin bertambah intensitas batuknya.

Laki-laki itu meraih gelas lemon tea miliknya yang sudah tandas sejak bermenit-menit yang lalu. Menggapai gelas milik Gino, tapi si kampret itu menenggaknya tanpa ampun dengan senyum jumawa. Membiarkannya hampir mati kepedasan. Karena, tersiksanya Haikal adalah satu hiburan tersendiri untuk Gino Satria.


Suasana cafe siang itu begitu damai dan dingin. Kecuali Haikal yang benar-benar akan mati di detik-detik berikutnya. Ia mengumpat sebelum berlari tunggang langgang ke arah meja order.

Wajahnya sudah memerah. Mungkin jika benda-benda abstrak bisa terlihat, maka kepulan asap bak kereta uap akan keluar dari telinga juga hidung Haikal.


Apalagi mulutnya yang menganga lebar menginginkan udara agar masuk lebih banyak lagi. Tenggorokan yang terasa begitu terbakar semakin dihiperbolakan oleh laki-laki itu.


Membuat Gino yang masih duduk di kursinya tak tahan untuk mengumpat kasar karena kebodohan temannya itu. Haikal memang akan menjadi badut kapanpun dan dimanapun. Termasuk di depan Liana Aylin--yang ia tahu beberapa bulan lalu menjadi incaran Haikal.

Haikal rasa, jarak dari mejanya ke meja order terasa begitu jauh. Padahal hanya beberapa meter saja. Membuatnya benar-benar tidak sabar ingin menabrakkan diri pada lemari pendingin dan masuk ke dalamnya. Mengobati rasa panas terbakar akibat Gino Satria sialan--temannya yang paling baik hati.


Haikal hampir saja meraih gagang pintu kaca itu, sebelum akhirnya terhuyung lagi, mungkin akan mencium lantai jika saja tidak mengendalikan diri. Segera berdiri menegak dari posisi absurd sebelum ini. Kedua kaki letoy, tangan berpegang erat pada ujung meja, sementara bibirnya menyebut ayam berkali-kali.


Haikal lantas menoleh dengan tatapan marah. Menemukan Liana yang sama-sama mendelik padanya. Gadis berpawakan mungil itu seolah tidak terima. Karena jelas sekali dirinya sudah tiba lebih dulu dari si tengil Haikal Raditya.


Gagal meraih gagang pintu lemari pendingin, Haikal bahkan tidak sanggup meladeni ucapan Liana setelah ini. Apalagi gadis berpawakan mungil itu enggan pergi dan menghalangi jalannya. Sementara napasnya mungkin sudah sampai kerongkongan saja saat ini. Mungkin Izrail benar-benar sudah datang dan akan menghampiri sebentar lagi.


Agak lebay memang. Karena bukan pengikut Yerina Mauryn jika tidak melebihkan segala sesuatu. Jadi, laki-laki itu bergerak-gerak berusaha mengusir Liana agar mimpinya meneguk minuman dingin segera terlaksana.


"Udahlah Lin.. Lo mau pesen apa?" seorang gadis dengan mata tajam dan tubuh jangkung menarik Aylin--gadis yang Haikal sebut sebagai Liana-- merapat pada meja order dan memilih makanan mereka.

Hal yang membuat Haikal justru terpana dan melupakan rasa sesak juga panas yang mendera mulut hingga tenggorokannya. Ia tetap diam memegangi gagang pintu lemari pendingin.

Menatap lama sampai akhirnya Jingga menoleh. Lalu, tatapan keduanya saling bertubrukan, membuat debaran aneh di dada Haikal semakin menggebu-gebu tanpa peduli ia menjadi pusat perhatian karena ribut di depan meja order. Apalagi ketika gadis bermata sipit itu menaikkan kedua alisnya.


Haikal tidak sekuat kelihatannya, Jingga.


Kontak mata keduanya terputus karena Aylin memanggil Jingga untuk segera menentukan makanan yang mereka pesan. Haikal mencebik, membuat gerakan mencakar di belakang tubuh Aylin. Baru kali ini Haikal merasa ingin menelan bulat-bulat gadis mungil dengan wajah judes itu.


Padahal, sejak kelas sepuluh Haikal adalah manusia yang rajin mengganggu gadis mungil itu. Mengatakan bahwa Liana Aylin lebih cantik dari bu Airin. Tapi kali ini, ia justru ingin menarik semua ucapannya sendiri.


Gadis mungil itu menoleh. Hanya untuk memberikan tatapan tajam pada Haikal yang mulanya sudah memasang wajah garang tak keruan. Yang pada akhirnya merapatkan bibir melihat gadis itu mendengus kasar di depannya.

A

ylin bahkan sudah muak pada kehadiran pemuda itu yang seolah tak ingin menyingkir dari wajahnya. Berdecak, ia segera menarik Jingga yang kala itu mengangkat nampan berisi pesanan mereka. Berbarengan dengan Haikal yang kini sudah duduk di meja sebelumnya bersama Gino.


Laki-laki yang biasanya ceria itu berubah menjadi lebih kalem. Bahkan tidak ada sosok Haikal Raditya yang menyebalkan dan banyak gaya. Meski sesaat sebelumnya Haikal jelas hampir murka pada sosok mungil itu. Kini, ia raih buku paket kimia yang mulanya terbuka di ujung meja.


"Lo sampai mana?" tanya Haikal sok peduli pada Gino yang justru tak mendongak sedikitpun untuk memastikan keberadaannya.

"Sampai otak lo minggat dari kepala," bahh.. Gino Satria ini memang tajamnya melebihi belati. Bahkan setelah mengatakannya, tidak ada tawa dengan suara beratnya yang menggema.


Tapi, alih-alih sakit hati pada ucapan sahabatnya itu, Haikal justru tertawa. Jenis tawa renyah yang dipaksakan. Diakhiri dengan nada nelangsa.


Ketika Haikal memandangi meja di seberang itu, ia benar-benar melihat Andara Jingga yang sangat berbeda. Wajahnya yang tajam kini lebih melunak dengan mata berbinar ketika si Liana bercerita banyak padanya.

Meski Haikal tidak tahu apa yang gadis itu bicarakan. Mungkin saja kejadian memalukan dimana Haikal jatuh ke parit dekat parkiran tempo hari itu. Karena beberapa kali si Liana menyorotnya kemudian kembali tertawa.

Haikal baik-baik saja, dia biasa saja. Asal Andara Jingga bisa tertawa lepas seperti itu. Bukan seorang gadis pemurung yang melihat senja ketika pikirannya semrawut.

Haikal benar-benar jatuh cinta. Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa ia betulan menyukai gadis itu. Mungkin banyak yang menganggap Haikal hanya bergurau semata, tapi apa yang dia dapat dengan gurauan yang ditelan sendirian?

Tidak ada.



🌻🌼🌻🌼🌻🌼

Ketika Haikal mulai jatuh cinta💚 tapi si Jingga noleh aja kagak



Antara Jingga Dan Raditya | Haechan YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang