4. BEHIND THE MASK

133 12 13
                                    

Aspal basah sehabis diguyur hujan, sunyi dengan beberapa daun kering yang gugur. Lampu jalan berwarna putih keemasan berkedip-kedip, hendak rusak.

Suasana gelap dan dingin melingkupi.

Didepan sana ada sileut seseorang berjaket hitam tebal dengan tudung menutupi sebagian wajah.

Sedang menyeret sebuah kantong plastik sampah hitam besar menuju mobil silver dekat trotoar. Langkah itu penuh kekuatan.

Tetesan cairan merah kental jatuh ke tanah dari ujung jari-jari si pelaku. Terkena bekas air hujan, menyatu.

Bau amis menguar jelas dari jarak beberapa meter. Menyengat, hingga bisa membuat siapapun muak.

Elin mencengkram tali tas selempang erat. Menghela nafas lelah. Baru pulang dari menjaga toko roti sang Bibi.

Si rambut cokelat gelap hanya menatap datar si jaket hitam dari kejauhan.

Tanpa berniat untuk ikut campur sedikitpun. Walau sudah menaruh curiga pada kantong hitam misterius itu.

Jelas Elin tahu bahwa didalam sana mungkin saja ada mayat seseorang. Entah siapa, bukan menjadi urusan selagi tidak menyeret-nyeret nama baiknya dikalangan masyarakat umum.

Karena bagi si gadis kulit eksotis, kepedulian yang diberikan selain kepada sahabat dan keluarga terdekat hanya berujung sia-sia atau malah berbuah petaka sebab dinilai terlalu ikut campur.

Oleh karena prinsip tadi, digenapi tekad serta keyakinan. Elin menyebrang ke sisi lain trotoar.

Berjalan santai tanpa menengok sedikitpun.

Sampai tidak sadar, bahwa sosok yang dilihatnya menghampiri tergesa setelah meletakkan kantong sampah di bagasi mobil.

Ia mencekal tangan,  berniat mencegah si gadis berlalu lebih jauh.

Dengan nafas tersengal si jaket kulit hitam berkata penuh arti, "Be honest, lo ... lihat 'kan tadi?"

"Ya, gue punya mata soalnya." Elin masih mantap menyorot datar ke depan.  Risih, ia menyentak lalu melepas cengkraman.

Sebenarnya, bukan hanya aroma menyengat darah. Tapi juga bola mata yang menggelinding bebas, jatuh dari kantong sampah. Tanpa disadari pelaku.

Sosok yang dari perawakannya adalah pria itu terkekeh kecil, begitu seram. Mengitari Elin, berhenti tepat di depan setelah memungut bola mata sang korban.

Kini ia hanya berjarak dua langkah kaki dari Elin. "Ah, iya. Mata lo belum di congkel kayak dia."
Mengangguk-angguk, tangan bersedekap dada. Wajah itu masih belum penuh terlihat jelas karna ditelan kegelapan. "Saran gue, jangan coba lapor polisi. Nanti nyesal."

Kening Elin bertautan. Berdecak, ingin pergi dari sana secepatnya sebab kaki sudah pegal dibawa berjalan jauh.

Tapi tak bisa, lelaki misterius masih menghalangi jalan sebelum mendapat jawaban.

"Ngapain? Gue gak peduli."

Lawan bicara menggeleng tak suka. "Lo harus peduli! Biasanya kalo di cerita novel gitu!"

"Terserahlah. Minggir, gue mau lewat bentar."

Baru empat langkah kaki menjauh, tangan sudah ditarik lebih kasar lagi.

Iris hijau menyiratkan pandangan tajam. Tudung jaket dibuka, senyum mempesona namun bak tokoh antagonis nampak jelas disorot cahaya lampu jalan.

Eric mendekat. Lalu berbisik pelan, pas di samping telinga gadis penyuka  drama Korea.  "Don't run away, girl."
Si blasteran menghirup aroma harum mawar rambut coklat gelap, sebab jaraknya dekat. Ia candu. "Gue tahu, lo cuman pura-pura berani. Tangan lo gemetaran hebat, sayang."

APATHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang