14. MANIPULATIVE

63 3 0
                                    

Suara ketukan pintu menggema beberapa kali, sebelum akhirnya seseorang datang. Elin yang semula berbaring, refleks duduk bersandar di kasur.

Berbeda dari biasanya, kali ini yang mengantar makanan adalah pria surai cokelat keemasan dan iris hijau cerah itu langsung.

Siapa lagi jika bukan Eric Alexander Emanuel.

Pria itu meletakkan nampan di atas nakas yang berada tepat samping kasur. Mengangkat mangkuk berisi bubur ayam lengkap dengan bawang goreng, menyendok pelan dan mengarahkan pada bibir Elin secara lembut. Di sisi kanan pula, terdapat teh hangat yang mengepulkan asap.

"Sarapan pagi dulu, tadi gue buatin bubur sama teh hangat. Semoga lo suka." Dia kembali pada sikap lembut, seolah tidak pernah kasar pada siapapun. Eric tersenyum lembut ketika Elin suka rela menyambut suapan.

"Makasih, gue suka buburnya." Elin tetap pada raut datarnya. Meskipun dia tidak memungkiri bahwa rasa bubur ini sangat enak, tapi ia masih tidak terlalu nyaman berada di dekat si cowok primadona sekolah.

Semenjak kejadian dihari pertama penculikan, Elin berpikir keras. Hasilnya, ia tetap mengindahkan perasaan bersalah yang sesaat melingkupi diri, membuat bingung.

Setidaknya, untuk melindungi hati.

Lima menit mereka habiskan dengan keheningan. Hanya denting sendok yang menghiasi, sesekali Eric dengan peka menyerahkan teh hangat pada Elin untuk diminum.

Elin bergerak gelisah di tengah kegiatan sarapan, membuat Eric mengerutkan dahi. Tatapan berubah tajam. "Bilang sama gue, Elin. Ga perlu sungkan."

Kalimat si iris hijau seolah-olah tengah mengintip isi pikiran Elin. Terlalu peka, sampai terkesan menyeramkan.

Elin tertegun, berhenti mengunyah. Menelan semua makanan. Matanya bergerak kanan-kiri tak nyaman. "Gue ... bingung sama tingkah lo? Kenapa mendadak lembut? Terus kenapa juga ga ada yang nyariin gue selama ini? Sebenarnya ... apa yang udah lo lakuin?"

Menghela nafas, si kulit putih pucat meletakkan mangkuk bubur kembali ke atas nakas. Dia menatap serius sang gadis pujaan. "Gini, ya sayang. Dari awal gue cowok yang lembut, penuh perhatian sama cewek tersayangnya. Ketika lo engga berontak atas semua perlakuan demi kebaikan lo sendiri, itu bagus. Bukannya udah dibilang, kan? Gue suka cewek penurut, jadi sepenuhnya milik gue."

Elin seketika menahan nafas sejenak tatkala usapan penuh sayang terasa hangat di kepalanya.

"Lalu, tentang pertanyaan lo barusan kenapa ga ada orang nyariin? Simple aja, sih. Berhubung ada kasus geng Angel dan udah mau libur semester. Sekolah pasti ditutup." Eric menjelaskan dengan senyuman di bibir, dia terlihat gembira sekali. Momentumnya sungguh pas untuk mengikat Elin di sisinya seorang. "Nana dan Bibi lo, mereka udah dikirimi pesan dari hape lo sendiri. Gue bilang aja lo mau liburan, menenangkan diri sebentar sekalian ziarah ke makam bokap-nyokap. Gue tau itu dari temen sekelas, katanya lo yatim-piatu. And then, overall mereka berdua percaya. Gimana? Bagus, kan? Ga ada yang gangguin kita lagi."

Elin berkedip beberapa kali. Terdiam sejenak melihat raut pria di sampingnya yang tidak merasa bersalah, malah seperti senang bukan kepalang.

Dasar sakit jiwa.

"Makin lama gue dengerin kalimat lo, gue sadar satu hal. Eric, lo harus berobat deh kayaknya. Udah sakit gitu, kan?" Elin menggeleng cepat, menatap wajah Eric simpati. "Tapi biar gimana pun, lo harus ngerti. Gue ga mau di sini terus-terusan, cepat atau lambat entah Bibi atau Nana. Mereka bakalan nyariin, kan? Tolong lepasin gue, biarin gue bebas."

Eric menunduk dalam, eskpresinya menjadi murung seketika. Iris penuh binar tadi menggelap lagi. "Jadi, lo lebih milih mereka dibanding tinggal di sini sama gue?"

APATHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang