17. FIRST MEETING YOU

43 2 0
                                    

Bulan berada di tengah-tengah malam, dengan langit tanpa bintang. Cahayanya memantulkan bayangan pada sebuah pisau tajam berjarak beberapa sentimeter saja dari kulit leher seorang pria pemilik surai cokelat pekat.

Keringat dingin sang pria mengalir dari dahi turun ke dagu, lalu menetes ke aspal. Tapi tak sedikit pun ia berani bergerak apalagi melawan orang di belakangnya.

Seorang gadis bermata bulat nan berbahaya. Begitu berani mengancam dengan sebuah pisau lipat, seakan sudah terlatih.

Mereka berada di sebuah gang sunyi dan sempit, membuat suasana kian mencekam.

"Kenapa kamu ngikutin aku? Jelasin juga kenapa dompetku ada di kamu?!" Nana menyeringai, menampilkan sorot berbahaya serta antusias. Salah satu trik yang selalu ia gunakan ketika menyudutkan musuh. "Kalo salah jawab mati, ya."

"G-gue ngikutin lo ka-karena mau ngembaliin dompet lo yang jatuh pas di minimarket." Pria itu masih gugup dan ketakutan, iris cokelatnya menyorotkan permohonan untuk segera dilepaskan. Gadis di belakangnya itu walau cantik dan bertubuh lebih pendek, namun terkesan begitu menyeramkan.

Nana meringis, menatap dompet yang disodorkan si pria. Segera merebutnya dan memeriksa dengan tergesa-gesa.

Masih lengkap, tidak ada yang hilang.

Bungsu Frans menghela nafas, dia menatap sang korban lalu perlahan menjauhkan pisau lipat dan menyimpannya di saku. Mengulum bibir, Nana setengah bergumam, "Maaf, aku kira kamu stalker atau ga ya paling copet."

Pria surai cokelat itu mendengus, menyisir rambut dengan jari ke belakang. Masih tidak percaya bisa lolos sekaligus sedikit kesal. "Nggak kira-kira lo. Emang tampang gue kayak copet apa?"

Dengan polos Nana mengangguk. Dia berkedip lalu menjelaskan, "Iya, walau ada yang bilang don't judge a books by its cover. Tapi, dari tadi aku liat tampang kamu emang ga meyakinkan, sih."

Sialan sekali perempuan ini. Dia dengan begitu mudahnya mengkritik wajah orang lain.

"Lo gatau siapa gue, eh? Belum kenal?!" Si misterius berkulit putih pucat lagi-lagi melayangkan nada tak santai. Egonya seolah tergores ketika Nana Fransisca mengangguk cepat.

Sebanyak apapun Nana berpikir dia tidak mendapat jawaban. Jadi lagi-lagi dia berkata bingung, "Kamu ... siapa? Artis? Kok aku ga pernah liat di TV?"

Kesal, pria bertubuh tinggi kisaran 170 cm itu kembali melotot pada Nana. Dia mengangkat dagunya sombong, sembari mengulurkan tangan meminta dijabat. "Kenalin, gue Rama Alexander. Cucu kedua Kakek El Gio Alexander. Lo ... pasti pernah dengar nama itu, kan? Keluarga kami salah satu pengusaha terkenal, loh."

Tentu saja. Siapapun agaknya mengetahui mengenai marga Alexander, mereka sedang naik daun. Entah di dunia bisnis, ataupun dalam dunia sosial masyarakat sebab memiliki paras menakjubkan.

Dengan ragu, Nana menyambut jabat tangan Rama. Ekspresinya kian datar, namun tatapan itu seolah mempunyai banyak makna. Sekarang gadis itu paham dia berbicara pada siapa.

"Oke-oke paham. Namaku Nana Fransisca."

Rama tersenyum. Berkenalan dengan wanita cantik selalu membuatnya bersemangat. Dia pasti akan mengingat nama setiap gadis-gadis itu selamanya.

"Sekarang kita udah kenalan, boleh gue minta nomor hp lo? Gue ganteng, tajir, humble. Perfect. Lo ga bakal rugi kalo temenan sama gue."  Kembali dengan tingkat percaya diri selangitnya, wajah Rama berseri-seri. "Kalo lo mau lebih dari temen pun, bisa."

Mendelik, Nana menggeleng cepat pertanda tak minat. "Enggak, aku ga mau temenan sama buaya rawa penduduk kebun binatang. Bye." Dia berbalik, melangkah pergi tanpa sepatah kata lagi.

Rama tercengang, mulutnya terbuka dengan sorot mata tak percaya. Apa-apaan itu? Kenapa menolak pria tampan, kaya-raya, dan humble seperti dirinya?

"Aneh, tapi menarik."

***
"Gitu ceritanya, awal aku ketemu sama buaya rawa." Nana menghela nafas, melirik orang di sebelahnya. Jika tahu Rama satu sekolah dengannya, maka ia lebih baik pindah dari kemarin saja.

Sadar telah disindir, Rama melepaskan earphone lalu mendelik. "Lo kira gue penghuni kebun binatang apa?!" Nadanya setengah membentak. Entah kenapa jika berurusan dengan Nana Fransisca, harga diri Rama selalu ternistakan.

Eric menyeringai, dia mengangguk-ngangguk. Ikut serta dalam percakapan. "Nah, tuh tau kan."

Rama kembali tercengang, kali ini bahkan sepupunya juga turut menghinanya. "Sial banget gue. Punya sepupu ga ada akhlaknya."

Elin yang sedari tadi diam memperhatikan akhirnya membuka mulut, "Jadi bener ya, lo sama Eric sepupuan? Gue baru tau."

Baru saja Rama hendak menjawab, kalimatnya kembali tertahan. Eric kembali menyerobot.

Eric merangkul sang kekasih, tatapannya kian lembut. "Iya, sweety. Meskipun gayanya kayak jamet, ga bisa dipungkiri kalo Ayahnya saudara kandung sama Ayah gue. Marga kita juga sama, walau secara kelakuan dan penampilan tetap gue yang unggul."

Elin mengangguk-angguk.

Rama kembali mendidih, ini bukan pertama kali Eric terang-terangan merendahkannya. "Heh, kutu beras! Kalo mau jelasin sesuatu, ga usah pake ngeremehin orang segala. Gue tampan, tajir, dan gaul gini dibilang jamet!"

Eric tidak peduli, dia hanya terus tersenyum sembari mengelusi rambut Elin. "Sorry, gue ga ngerti, gabisa bahasa buaya."

Nana tidak bisa menyembunyikan tawanya, kini dia kian meledak. "Lagian, kamu kan emang buaya, ya? Aku denger tiap bulan pacarnya ganti-ganti? Katanya tiap minggu mesti beda, kan?"

Rama sontak menoleh, bukannya terkejut ia malah tersenyum. Pria iris cokelat itu menatap langsung Nana. "Tau darimana? Lo ... stalkerin gue, ya? Naksir bilang, Neng!"

Kali ini giliran Nana yang terdiam. Fakta bahwa dia sering menyelediki siapapun yang berada disekitarnya, tak dapat dibantah.

Namun, ini bukanlah persoalan hati.

Ia melakukan semua hanya demi kepuasan dan keamanannya saja. Memilah-milah setiap orang yang dikenali untuk memastikan semua tak mengancamnya di hari kemudian. 

"K-kamu jangan kegeeran! Aku kan cuman dengerin rumor orang-orang aja." Nana mengibaskan tangannya ke samping, membuang muka.

Ditangkap. Tangan kecil itu kini dalam genggaman Rama.

"Rumor atau bukan, tapi kalo lo naksir gue juga gapapa. Gue seneng malah." Lelaki blasteran itu menyeringai, seenaknya mengecup tangan Nana menggunakan bibir.

Nana speechless. Dia hendak menarik tangannya, namun  kuat.

Mereka bahkan tidak peduli tatapan orang-orang di kantin yang terus menyoroti.

Rama menurunkan tangan, perlahan melepaskan genggamannya. "Karna lo tau? Mulai hari ini gue akan dapatin hati lo, Nona. Dengan cara apapun itu."

Sorot Nana berubah. Gadis surai hitam itu tersenyum remeh. "Silahkan! Lakuin semua keinginan kamu, tapi jangan nangis kalo hasilnya ga sesuai ekspektasi!"

Mulai saat itu, muncul desas-desus baru mengenai Rama Alexander yang hanya fokus pada satu orang perempuan kurang populer. Banyak yang menganggap mereka tidak setara dalam segala hal.

Hanya beberapa yang tahu, jika Rama Alexander dan Nana Fransisca menjadi sepasang kekasih, maka mereka akan saling melengkapi dan bahkan setara dari segi silsilah keturunan serta kekayaan.

Eric kembali menyeringai, ini akan menjadi sesuatu yang menarik untuk ditonton.

***
Catatan:
Jika ada yang kurang jelas atau tulisan berbahasa Inggris yang tidak ditulis miring, maka harap maklum. Karena authornya malas mengoreksi.

Tertanda,

Author Evanaa88.

APATHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang