5. LIMITATION

96 10 10
                                    

Pintu terbuka.

Elin menoleh kaget kearah sumber cahaya. Matanya masih basah dengan wajah pucat bagai mayat, rambut juga acak-acakan seperti orang gila. Bau busuk menyelimuti seluruh tubuh.

Gadis pribumi itu melotot tatkala pandangannya beradu dengan iris hijau cerah yang terkesan indah namun mematikan.

Pria kulit putih melebarkan senyuman. Pupil juga menunjukkan binar tertarik seolah baru saja memenangkan penghargaan.

"Ke-te-mu." Langkah kaki perlahan mendekat, sorot mata tajam Eric masih menghunus Elin yang tengah mengusap kasar pipi. Berusaha bersikap sok kuat.

Si blasteran Amerika-Indonesia berhenti tepat dua langkah didepan Elin yang terduduk pada kursi kayu reot. "Jadi, gimana kejutannya? Apa lo udah nyerah dan mutusin jadi budak gue selamanya, hm?"

Sedetik si penyuka K-Pop tertegun. Berusaha menyerap semua maksud Eric. Ketika didapat, ia mulai berekspresi jutek. "Mimpi lo ketinggian. Gak sudi gue, najis!"

"Ah, gitu ya?" Eric membeo pura-pura bingung, seringainya makin menyeramkan. Satu jemari tangan menyingkirkan anak rambut yang berada di dahi Elin walau sempat ditepis. "Gue penasaran, kalo gosip lo itu pasien sakit jiwa tersebar gimana? Atau tentang trauma lo itu? Apa lo juga bakalan sejutek ini?"

Keringat dingin langsung mengucur dari dahi Elin. Apa-apaan lelaki blasteran di depannya ini? Dari mana ia tahu semua hal kelam itu padahal Elin juga tak memberitahukan kepada siapapun?

Tidakkah cukup bagi Eric kejadian hari ini? Ketika semua orang disekolah menyudutkan Elin sebagai pembully di masa SMP dulu.

Koridor utama sekolah penuh manusia. Kanan kiri mereka membincangkan sesuatu, sengaja berbisik-bisik lalu menatap dua orang gadis yang baru saja memasuki lingkungan sekolahan.

Tawa mengejek samar-samar yang bergemuruh menemani setiap langkah.

Rasa penasaran melingkupi hati Elin. Si perempuan pemilik kulit eksotis. Ia mengajak sahabatnya Nana untuk melihat mading yang tengah di gerumbungi  sebagian siswa siswi lain.

Dan benar saja. Mading besar tepat di koridor sekolah dipenuhi foto-foto yang sengaja dicetak lalu di tuliskan hujatan diatasnya.

Ada beberapa objek disana. Dan yang paling menonjol adalah sosok gadis berkulit eksotis yang tentunya semua orang kenal.

Elin Brigitha yang masih memakai seragam putih-biru sedang memukuli sosok cowok hingga pingsan di depan semua orang.

Entah dari mana asalnya foto tersebut. Yang jelas, Elin pun tak dapat mengelak ketika semua siswa memandanginya jijik.

Berteriak serempak, "Munafik!"

Lalu, bisa ditebak ketika Vabyana salah satu primadona sekolah mengkomandokan pembullyan. Tong sampah jurusan akutansi di dekat sana sudah melayang beserta isinya kearah Elin dan Nana.

Ya, siapa juga yang tidak kaget bahwa korban bullying di SMK Esteria ternyata bekas pembully juga di bangku SMP.

Dua kata yang mereka pikirkan tentang keadaan Elin di SMK ini.

Karma dan munafik.

Elin Brigitha yang cupu ternyata munafik. Kurang lebih seperti itulah.

Gadis surai cokelat gelap menggeleng tak habis pikir. Orang didepannya ini bukanlah manusia, melainkan iblis dengan topeng. "Lo ... sebenernya apa sih mau lo dari gue sampai segini nya? Lo gila, hah?!"

Mata hijau Eric berkilat. Menggelap. Seumur-umur Eric tak pernah dibentak-bentak apalagi oleh orang yang ia nilai lebih lemah.

Eric sangat tidak suka hal ini. Gadisnya harus diberi pelajaran lebih keras.

Eric memperpendek jarak dengan murka. Tangan bergerak ke belakang kepala Elin.

Jambak.

"Argh! Lepasin gue, bangsat!"

Kepala Elin dipaksa mendongak, air mata yang mengering perlahan terpancar lagi. Rambut panjang itu seolah hendak dicabut sekaligus. Mencoba melawan pun percuma, tenaga Eric jelas lebih kuat sepuluh kali lipat.

"Jangan pernah membentak gue, sweety. Lo pikir, lo bisa ngelawan?!" Matanya menyorot penuh amarah sesaat, lalu kembali menyeringai seram. "Tadi, lo bilang sebenarnya apa yang gue mau? Simple, cukup jadi milik gue selamanya dan berhenti melawan!"

"Gak sudi, bego!" Elin tetaplah keras kepala. Sementara Eric hanya menampilkan raut datar seolah menerawang kosong ke depan arah pintu gudang. Lalu dengan cepat memeluk Elin secara paksa.

"Gue gak terima penolakan!"

***

Pedas sekali. Mukanya dipaksa menoleh ke samping kanan. Ada cap merah telapak tangan pada sebelah pipi.

Pria itu hanya menatap kosong. Sedikit merasa jengkel atas ulah orang didepannya.

Perempuan berambut hitam sebahu dengan kulit putih pucat dan mata sayu. Ia sudah berganti baju seragam olahraga.

Yah, walaupun terlihat tenang dari Elin, tapi Eric yakin Nana sedang menahan amarah. Terbukti tangan kiri itu mengepal erat.

"Apa yang kamu lakuin sama sahabat aku?!" Akhirnya berkata juga. Alis Nana menukik tajam, mereka berada di taman sekolah. Dekat kursi putih dan pohon mangga yang lumayan besar.

"Sahabat? Maksud lo Elin Brigitha?" Eric tahu, hanya pura-pura tak paham. Memancing Nana ke dalam jengkel luar biasa hingga mengangguk pelan. "Diluar perkiraan. Gue kira lo nganggap Elin cuman mainan?"

Sesaat kelopak sayu melebar kaget. Eric selalu memberikan hal-hal tak terduga bagi sekitarnya. Sialan.

"Itu awalnya!" Jujur saja nafas Nana memburu. Kesal sekali. "Sekarang aku beneran gak suka kalau kamu ngelewatin batasan-batasan itu, Eric. Apalagi sampai jambak Elin. Kamu pikir, kamu siapa heh?!" 

Mata Eric menggelap. Dia maju selangkah mengintimidasi, tapi Nana tidak terpengaruh sama sekali.

"Harusnya gue yang bilang, emangnya lo siapa? Ngumpulin harta lo dari keturunan pertama sampai terakhir pun, gak bakalan bisa nyaingin harta kekayaan marga Alexander!" Tawa seram menghiasi. "Sadar diri lo, Nona Fransisca!"

Nana mendongak, "Gitu, ya? Ah sepertinya kamu lupa satu hal, Ric." Tangan kanannya meraih pundak si blasteran, lalu tanpa aba-aba menghantam perut pria itu keras.

Eric terbatuk, tubuhnya menunduk memegangi perut. Menatap Nana nyalang.

"Dunia bawah sama dunia atas itu berbeda, Tuan muda Alexander yang terhormat." Tunjuk itu mengarah pada Eric. "Kamu pangeran dunia atas. Tentu aja."

Dan kini, Nana meletakkan telapak tangan di dada. Seolah bangga dengan pencapaiannya. "Sementara aku, ratu dunia bawah!" Giliran gadis itu yang tertawa terbahak-bahak. Meremehkan. "Jangan lupa batasan."

Gelengan kepala tak habis pikir ia tujukan pada Eric masih dengan sorot humor. "Kamu boleh mengklaim Elin, tapi sebisa mungkin minimalisir training ke dia."

***

Tertanda,

Author Evanaa88.

APATHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang