18. ABOUT THE WIERD GIRL

44 2 0
                                    

Banyak orang berkata, Nana Fransisca itu aneh. Cenderung pasif, tidak berbicara atau dekat dengan siapapun kecuali sang sahabat, Elin Brigitha.

Nana adalah salah seorang gadis yang seringkali dianggap tidak ada. Sekalinya dilihat, hanya jadi sasaran caci-maki para kumpulan murid populer.

Diremehkan, sebab tidak pernah melawan.

Nana tidak pernah menampilkan ekspresi apapun pada wajahnya. Seolah, semua hal yang mereka berikan hanya sapuan angin lembut.

Seolah semua kata-kata hinaan hanyalah suara yang sumbang.

Namun mereka salah, Nana bukan menyembunyikan semua rasa sakit. Dia hanya tidak bisa merasakannya, gadis surai hitam itu merangkai semua momentum buruk, menjadi sebuah permainan gila yang berakhir mengerikan.

Permainan kematian.

Semua orang yang terlibat di dalamnya, akan dibuat kaget seperti terkena bom granat.

"Kamu kenapa? Kok pucat?" Ia tersenyum seram, lengkungan bibir nyaris menyamai huruf 'V'. Kilatan mata semakin terpancar.

Ujung pisau berukuran sedang menyapa mulus pipi sang korban.

Kali ini, Nana membuat wajah murung. "Kamu sakit, ya? Ga mau main sama aku?"

Lelaki berambut hitam dengan gradasi biru malam menggeleng kepala keras. Mulutnya tertutup lakban, tangan diikat menggunakan tali tambang. Sudah didudukkan pada kursi hitam berbahan besi.

Satu temannya yang lain belum sadar dari pingsan tatkala mereka diculik.

Dirgantara menggigil ketakutan.

"Kamu jangan kayak pecundang, dong. Masa gini aja takut? Belum juga di apa-apain!" Tidak peduli sebanyak apapun Nana protes, Dirga tidak pernah menginterupsi.

Tidak seperti hari-hari biasa, ketika remaja pria berlesung pipit itu kerap menjadi salah satu pelaku perundungan verbal pada orang-orang yang dianggap lemah.

Lakban dibuka dari mulut Dirgantara.

Nana melotot. "Jawab! Punya mulut, kan?!"

"Le-lepasin gue. Gue ga pernah ikut mukulin lo. Gue ... pengen pulang." Tidak ada hal yang bisa dikatakan Dirga kepada seorang penculik selain permohonan. Nyawa sedang terancam, lebih baik rendahkan ego.

Pekikan terdengar saat pisau menusuk paha begitu dalam. Dirga dapat merasakan sensasi ngilu hingga menggores tulangnya.

"Jahat! Kamu ga mau main sama aku? Padahal aku udah bersabar sejak dulu. Kamu selalu nyakitin aku pakai omongan!" Wajah Nana semakin pias, dia seolah hendak menumpahkan tangis kapan saja.

Keringat dingin banjir pada dahi Dirga. Tusukan di pahanya semakin nyeri saja. "Gue minta maaf, tolong lepasin gue. Sakit."

Tidak berbelas kasihan, wajah Nana menjadi dingin. Rautnya datar lagi. "Ga boleh, kamu harus tetap di sini."

Pisau dicabut, sakitnya bahkan menjadi dua kali lipat dibanding tadi. Darah mengucur deras serupa air mancur berwarna merah.

Nana terbahak-bahak. Air mata sampai keluar sendiri, ia mengulangi hal yang sama pada paha Dirga yang lain.

Teriakkan semakin mengerikan, bau amis khas darah menguar jelas membuat muntah.

"Kamu bahkan harusnya ga perlu susah-susah memohon. Kalo udah di sini, ga akan pernah selamat lagi tau!" Aturan mutlak bagi organisasi, bahwa siapapun yang dimasukkan ke dalam sel, takkan pernah menginjakkan kaki keluar darinya.

Dirga lagi-lagi tidak menjawab, yang keluar dari mulutnya hanyalah sumpah serapah dan lirih kesakitan. Kalau tahu jika Nana Fransisca adalah sosok berbahaya, ia takkan pernah menganggu dulu. Sebisa mungkin akan menjauhi masalah.

APATHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang