1. ESTERIA'S DIAMOND

247 14 14
                                    

"Ah, lantainya licin. Hati-hati."

Koridor jurusan perhotelan SMK Esteria gempar. Semua mata menatap pada satu titik, seorang lelaki  tengah menahan pergelangan perempuan berambut cokelat keriting.

"Eh?" Si gadis menampilkan ekspresi bingung. Kepalanya terangkat lalu perlahan menunduk menatap sebuah telapak tangan hangat yang memegang.

Sontak, semburat merah muncul. Darahnya seolah tersedot ke kepala, dari pipi sampai telinga semuanya kemerahan.

Ini adalah keberuntungan seumur hidup yang digunakan dalam sekali waktu. Si keriting bersumpah, ia takkan mencuci tangan seharian.

Bahkan kalau perlu hingga besok. Sebab terlalu disayangkan untuk menyingkirkan jejak aroma wangi tangan lelaki yang menolongnya.

"Ma-makasih, Eric." Pada detik kesepuluh, dia menyebut nama si tampan bersurai cokelat keemasan. Mata tajam nan indah milik pria didepannya menyipit senang, senyum terbit dari bibir.

Para siswi kian menjerit. Meleleh. Belum pernah dalam hidup mereka sebegitu iri dengan seseorang.

"Sama-sama. Lain kali jangan ceroboh lagi, ya." Tangan kekar melepaskan pegangan nyaman. Gadis cantik lawan bicara nampak tak rela.

Semua orang menahan nafas ketika Eric mengusap kepala si gadis. Ada juga yang menggeleng tak percaya.

Beberapa bergumam dalam hati, 'Nikmat manakah yang kau dustakan?'

Sedangkan si pelaku utama menyudahi aksi, melenggang pergi ke arah kantin disertai sebelah tangan masuk ke kantong celana.

Tanpa peduli dengan jantung si keriting yang ia sendiri tak tahu namanya. Beserta kehebohan di sekitar mereka.

***

"Ada yang bisa menyelesaikan soal dipapan tulis?" Ibu Marlina menatap para murid datar.

Sunyi. Tak ada satupun dari mereka yang minat maju ke depan.

Siang hari ini panas. Suasana kelas sebelas perhotelan A sudah seperti padang gurun pasir Sahara. Bahkan beberapa AC saja dirasa masih tak mampu menghalau udara gersang dari luar.

Semakin lengkap dengan tambahan pelajaran Fisika yang membahas beragam soal penuh angka dan rumus. Otak seisi kelas seperti di kukus.

Perempuan paruh baya dengan kacamata minus berdecak. Jari telunjuk ia ketuk-ketuk sesekali di meja berbentuk persegi panjang. Senyum penuh arti ditunjukkan Bu Marlina detik berikutnya. "Kalau tidak ada yang mau, lebih baik saya tunjuk saja, ya."

Sontak semua menjadi ricuh. Suara-suara sumbang yang protes tak jelas, helaan nafas diiringi mengaduh, dan yang lain diam seribu bahasa lalu pura-pura mengerjakan soal sembari menunduk supaya tidak terlihat.

Lima tahun mengajar di SMK Esteria Marlina cukup hapal tabiat murid-murid tatkala diperintahkan maju ke depan papan tulis. Ia sama sekali tak terpengaruh.

Mengejutkan. Satu tangan terangkat ke atas. Menarik atensi seisi kelas.

"Biar saya yang kerjakan, Bu!" Pemilik tangan kekar nan putih  melayangkan sorot yakin. Dia berdiri kemudian berjalan, mengambil spidol yang disodorkan.

Para siswa maupun siswi lagi-lagi terpana, tak sedikit yang bernafas lega. Untung saja mereka mempunyai si blasteran di kelas. Seorang Eric Alexander Emanuel lagi-lagi dianggap pahlawan.

Panutan penghuni kelas mulai menulis jawaban.

Marlina tertegun, padahal baru setengah yang Eric tuliskan disana.
Tapi dilihat dari bagaimana menjawab soal, cara Eric sungguh mudah dimengerti teman-temannya yang memiliki otak pas-pasan.

Seolah dia juga berperan sebagai guru yang membantu para siswa untuk lebih memahami materi.

***

"Lo ... kenapa?" Lelaki itu tertegun. Tali tas ranselnya ia cengkram erat, sedang mata menelisik dari atas sampai bawah.

Sore hari cerah, ketika nyaris semua kelas sudah kosong dari penghuninya.  Hanya tinggal beberapa murid yang masih menjalankan eskul atau sekedar nangkring di kantin sepuasnya.

Si gadis berkulit eksotis mendengus. Nampak sebal. "Bukan urusan lo. Minggir!" Satu tangan ia ayunkan ke depan, membuat gerakan mengusir karna dirinya hendak masuk kedalam kelas sebelas A perhotelan. Ia mengambil tas ransel berwarna hitam lalu melenggang pergi begitu saja.

Langkah kaki mungilnya terseok-seok. Entah pakaian, ataupun rambut sudah acak-acakan dan kotor. Terdapat beberapa noda darah yang mengering di pinggir bibir beserta lebam pada lengan kiri dan kaki kanan.

Bau anyir darah sekilas tercium dari sosok tadi.

Kenapa? Siapa yang menyakiti perempuan itu sedemikian rupa?

Eric memiringkan kepala. Tatapan mata cerahnya menjadi datar.

Hampa. Gelap dan kosong.

Desiran aneh ditangkap dada ketika mata sayu milik gadis rambut cokelat gelap melayangkan sorot sakit.

Sesak juga pedih.

Seolah jiwa dan raga si idola kelas ikut tersiksa juga. Dia ... sangat benci ketika gadis itu terlihat sakit. Menderita entah karena apa?

Hingga tanpa sadar, buku-buku tangan mengepal erat. Gemeratuk giginya mengeluarkan suara mengerikan seiring dengan ekspresi yang kian marah.

Cahaya bulan memasuki celah-celah antara jendela dan tirai gorden berukiran burung Phoenix.

Kamar gelap tanpa pencahayaan. Bernuansa minimalis, didominasi oleh warna putih gading. Tepat pada kasur tipe king size, sileut pemuda tampan nan tinggi terbaring sambil menutup mata dengan satu lengan.

Eric lagi-lagi memikirkan kejadian itu berulang-ulang. Kali pertama ia memperhatikan gadis beraut muka datar dengan semua luka ditubuhnya.

Elin Brigitha. Begitu cantik namanya seperti penggambaran rupa itu di mata seorang Eric.

Lelaki blasteran Indonesia-Amerika tersenyum. Ah, bukan. Lebih tepatnya menyeringai penuh arti.

"Elin Brigitha."

***

Tertanda,

Author Evanaa88.

APATHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang