9. THE TRAGEDY

69 3 0
                                    

"Sebenernya apa lagi yang lo lakuin?!"

Kerah seragam sekolah ditarik, membuat orang di depan sana mendekat paksa. Menatap langsung mata penuh kilat tajam amarah yang hanya ditanggapi dengan sorot datar.

Tidak terganggu sama sekali. Atau mungkin, tidak bisa merasakan apa-apa?

Senyum menyeringai terbit dari lelaki beriris hijau itu. Secara tidak langsung ia menganggap semua perkataan tadi lelucon menggelikan.

Sial, dalam situasi menyebalkan pun si blasteran itu sangatlah tampan.
"Dari tadi marah-marah terus. Ada yang ganggu lagi, sayang? Just tell me."

Eric mengangkat satu alis heran. Sebelah tangan bahkan tanpa permisi mengusap pipi  si kulit eksotis itu serta menyingkirkan anak rambut yang menggangu.

Gadis itu, Elin Brigitha. Sedang mendelik kesal, lalu menghempaskan begitu saja sentuhan nyaman diwajahnya.

Mereka sedang berada di koridor sepi dekat gudang sekolah yang telah tak terpakai. Sengaja bertemu untuk membicarakan hal yang benar-benar penting dan tidak boleh diketahui orang lain.

"Udah cukup main-main, Eric! Jangan kira gue gak tau, ya. Elo 'kan yang udah nyelakain Yerin sampai dia meninggal?! Gue liat beritanya tadi pagi."

Tatapan si tunggal Alexander kian tajam, seolah bisa menghabisi seluruh nyawa orang yang macam-macam dengannya.

"Kalo iya? Dan kalo enggak kenapa? Emangnya ... nuduh orang sembarangan sikap yang bagus, sayang?"

"Lo sendiri yang bilang pas di kolam renang! Nanya-nanya siapa yang bully gue pakai ekspresi nyeremin lagi."  Kening Elin bertautan, kini nafasnya memburu hebat. Gejolak emosi dalam dada seakan hendak meledak. "Please, Eric. Ini soal nyawa orang!"

"Lo tau? Sekedar ucapan remeh gitu, gak bisa dijadikan alasan dan bukti." Eric mendengus remeh, sudut bibirnya terangkat menyungging seringai. Keluarlah tawa pelan di sana. "Gue cuman bilang beberapa hal yang ada dalam hati, buat nunjukin kekhawatiran pada cewek yang gue suka. Bukan berarti gue sengaja nyelakain seseorang gara-gara itu."

Sialan, Eric Alexander benar-benar memancing amarah sang gadis berkulit eksotis itu. Walau begitu, Elin tidak berani berkata-kata lagi karena beberapa poin yang Eric katakan ada benarnya.

Elin Brigitha tidak punya bukti apa-apa mengenai dugaan keterlibatan si iris hijau terang itu.

Pada akhirnya yang bisa Elin lakukan hanya menarik nafas panjang serta tangan terkepal erat. Ia berucap dengan nada lantang, "Terserah lo mau mengelak kayak gimana lagi? Intinya, jangan pernah libatkan gue dalam rencana licik lo yang gak penting itu."

Detik berikut, sang gadis berkulit eksotis dengan mata tajam khas itu pergi begitu saja meninggalkan Eric Alexander Emanuel yang diam-diam menunduk dalam.

Menyeringai seram seolah bagian dari perwujudan iblis dalam mitologi Yunani.

***
Mobilnya bergabung diantara kerumunan padat jalanan kota. Menjadi salah satu lampu yang terlihat kelap-kelip menembus malam nan dingin.

Berbelok ke arah kiri, menuju jalan yang sepi. Kanan-kiri hanya pertokoan tutup.

Pria itu tersenyum mengerikan untuk kesekian kali, siapa saja bisa khawatir jika melihat sudut bibirnya yang melengkung lebar seolah hampir sobek.

Dari informasi yang telah didapatkan beberapa jam sebelumnya. Begitu menjelang malam pasti sang target akan keluar dari rumah dan memilih hiburan ke tempat-tempat buruk. Membuat kenakalan dimasa remaja.

Klub malam. Sebuah tempat berisi kesenangan semu yang sialnya digandrungi kebanyakan remaja 'sakit' seperti Yerin.

Eric Alexander menghembuskan nafas ketika membaca papan nama klub yang berukuran besar serta sengaja disinari lampu kelap-kelip. Lelaki itu memilih menunggu di luar, memarkirkan mobil disebuah toko parfum yang telah tutup.

Hari semakin larut, bahkan kini mencapai pukul dua belas. Walau begitu, pada jalanan besar pasti mobil masih terus berlalu-lalang. Ibu kota seolah tidak pernah tidur barang sedetik saja.

Namun, lain hal dengan jalanan kecil seperti ini. Sejak jam sembilan, tak terlihat lagi para pengendara. Maklum, daerah sekitar klub memanglah rawan. Sarangnya para preman dan begal.

Ini momentum yang tepat.

Satu jam menunggu, Eric kembali menegakkan punggung tatkala melihat sosok gadis remaja berambut panjang pirang.

Yerin sedikit terhuyung ke kanan karena pengaruh mabuk, berhasil menggapai pintu mobil setelah berhenti sesaat mengatur kesadaran.

"Let's the show begind, Yerin. Salah lo karena lancang terhadap sesuatu yang udah gue klaim," ucap Eric sembari menginjak gas. Mengatur kecepatan penuh. "Mari kita lihat, bagaimana nasib lo diakhir?"

***
Yerin menepuk pipi berkali-kali, berusaha tetap bangun dan pulang ke rumah dalam keadaan selamat. Sebelum orang-orang mulai sadar akan keberadaannya dan menjadi masalah besar lagi jika mereka curiga. 

Meluruskan pandangan, sekilas menoleh ke arah spion. Ada mobil lain di belakang yang terus membuntuti. Bergerak cepat, seolah tidak mau kehilangan jejak. Kening Yerin bertautan pertanda bingung. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi. Firasat buruk menghampiri.

Siapa? Apakah oknum perampok?

Tanda tanya besar dalam benak gadis primadona Esteria muncul. Bagai magnet yang menempel keras.

Namun, berusaha menghapus pikiran buruk, Yerin menggeleng pelan. Dia harus berusaha kabur serta memastikan sendiri.  Tinggal satu kilometer maka jalanan besar akan terlihat. "Kalo begal, gue pasti mampus nih. Untung udah deket jalan keluar juga, sih."

Tetapi, bahkan sebelum menjalankan rencana dikepala. Mobil hitam tadi telah membalap, mendahului di tengah perjalanan. Secara perlahan  hembusan nafas Yerin lega kembali. Dapat disimpulkan bahwa orang tadi tidak menguntit.

Tetapi, hanya beberapa menit sebelum menyadari ada yang aneh.

Kenapa si mobil hitam mendadak berhenti di tengah jalan?

Tidak.

Pengemudi di depan sana bukannya berhenti, namun sedang berjalan mundur dengan kecepatan tinggi tepat ke arahnya. Membuat Yerin lagi-lagi terkejut, matanya melotot tajam.

"Sialan, tuh orang gila apa, ya?!"

Refleks Yerin membanting stir ke arah kanan, berusaha menghindari tabrakan keras yang hendak terjadi.

Namun tetap saja, bagian depan dan samping mengalami benturan. Hingga mobil Yerin berjalan miring tak tentu arah selama beberapa menit, sebelum akhirnya jungkir balik kehilangan keseimbangan.

Berputar-putar di jalanan bagai gasing, menimbulkan decitan aspal dan bagian atas mobil memercikkan api. Menabrak pohon besar.

Sebelum berhenti sepenuhnya.

Yerin membuka mata, meringis kesakitan. Kepalanya terbentur hingga lumuran darah mengalir sampai pipi, sebelah tangan pun patah.

Pusing sekali. Tapi gadis itu harus segera keluar dari mobil, sebab mesin sudah mengeluarkan kepulan asap.

Namun terlambat. Mobil mendadak mengeluarkan ledakan kecil, hingga asap melebar kemana-mana. Yerin yang panik, berusaha keluar melalui jendela mobil yang telah pecah.

Di sela-sela sempit atap dan pintu mobil penyok.

Hanya sedikit lagi tangannya berhasil menggapai jendela, tapi api bahkan sudah merembet pada jok mobil bagian samping.

Menghanguskan Yerin hidup-hidup, tanpa sempat mengucapkan kata-kata terakhirnya.

Di sisi lain, Eric dari dalam mobil hitamnya terbahak-bahak. Seolah tengah menonton acara komedi picisan. Matanya bahkan sampai berair.

"Kasian banget." Lelaki surai cokelat keemasan itu menggeleng-gelengkan kepala, berusaha meredakan tawa. "Tapi sayang, sih. Gak bisa lihat lebih dekat karya seni gue." Itu benar, Eric harus bergegas pergi sebelum ada yang melihat.

Dan untuk besok, ia harus 'cuci tangan' dengan cara mengorbankan salah satu suruhannya untuk mengelabui petugas kepolisian.

Ya, harus ada orang yang disalahkan dalam kasus tabrakan ini.

***
Tertanda,

Author Evanaa88.

APATHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang