16. BECOME YOURS

56 3 0
                                    

Apa hal yang paling penting dalam hidupmu?

Sejak awal Elin tahu kepingan puzzle dirinya telah hilang satu bagian. Kenangan kelam yang menyesakkan itu dia kubur hingga membusuk di dalam hati, mencegah siapapun untuk menggalinya.

Tapi dia tetap diam, tidak terlalu menggubris walau untuk beberapa hal yang tidak diketahui ... dadanya tetap berlubang. Kian besar dari hari ke hari.

Memang, apa pentingnya? Elin si gadis eksotis itu telah menjauhi semua yang berasal dari masalalu, memilih untuk pindah ke rumah lama sang Bibi. Kemudian bekerja untuk sekedar membantu uang sekolah ataupun belanja harian.

Elin Brigitha terlalu sibuk karena pekerjaan, tak sempat mengurusi hatinya.

"Lo seharusnya udah ingat semuanya, Elin. Sekarang, ga ada jalan buat ngelawan gue lagi." Eric masih berdiri ditempat yang sama, memiringkan kepalanya. Tersenyum manis seolah tidak pernah berbuat salah.

Elin mendelik tajam, nafasnya memburu karena emosi. Kedua tangan mengepal. Dia tidak berdaya walau sekedar membalas perkataan Eric dengan makian seperti biasa. Sekarang dia sudah mengingat seluruh kejadian memuakkan itu.

Setelah meletakkan pisau, Eric mendekat walau Elin memilih membuang muka. Pria blasteran itu tidak keberatan, malah mengelusi pipi Elin dengan lembut. "Kembali pikirin lagi penawaran gue tadi, ini demi kebaikan lo juga. Lo tau? Kadang gue bisa jadi sadis kalo udah muak sama seseorang."

Itu peringatan serius. Raut muka Eric bahkan tidak santai seperti sebelumnya.

Elin tertawa miris, nadanya sumbang. "Di dunia ini gue ngerasa selalu sendirian, ga ada seorangpun yang bertahan sampai akhir. Bibi, dia ga bisa stay  seharian penuh sama gue. Dia punya anak yang harus diurusin. Lalu Nana, dia juga punya kehidupan sendiri, suatu saat bakalan punya pasangan dan keluarga kecil."

Dunia dari awal memang sudah menggariskan kehidupan Elin Brigitha untuk mandiri sendiri. Tidak pernah ada yang benar-benar tinggal di sisinya. Oleh karenanya dia harus kuat, berpura-pura tangguh sampai akhir.

Menangis pun tidak berguna. Hanya membuang tenaga saja.

"Finally,  gue cuman punya harga diri. Yang bahkan sekarang aja terancam misal lo laporin semuanya." Elin menegakkan kepala, menatap manik hijau terang Eric dengan sorot kosong. Seolah-olah tidak memiliki jiwa dalam raga. "Lakuin apapun yang lo mau dari awal. Seenggaknya, dengan gue nyerah kayak gini lo bisa menjamin rahasia, kan?"

Sejenak Eric merasa bagai melayang ke surga. Hanya dengan beberapa kalimat 'menyerah' dari Elin, dia bisa begitu terbuai. "Yes, you should do this, honey. Seenggaknya, harga diri dan keselamatan lo bakal gue jamin. Ga perlu susah-susah tinggal di penjara."

Ya, semuanya Elin lakukan demi dirinya sendiri agar terbebas dari hukuman. Karena walau memiliki alasan kuat untuk menghabisi sang Ayah, dia bisa saja dijebloskan ke penjara jika membuat sosok Eric Alexander Emanuel terlalu muak.

Karena siapapun tahu, bahwa tidaklah mungkin menentang mereka yang menjadi bagian dari marga Alexander.

"So, who are you?" Eric mengajukan pertanyaan yang sama kedua kalinya. Sekedar validasi.

Si gadis iris cokelat itu mendongak, mengukir senyum hampa. "I'm yours and only yours."

Eric kembali mengelusi pipi Elin tanpa ijin. Mendekat, mengecup pipi dan wajah Elin berkali-kali. Lalu berhenti pada pucuk kepalanya, menghirup rakus aroma sabun di sana.

"Now, you are mine. Forever."

***
"Jadi, sekarang kalian jadian?" Nana menyorot bergantian pada orang di depannya. Mereka berada di kantin pada jam istirahat kedua.

Elin menghembuskan nafas panjang, dia sudah mulai tenang dan cenderung pasrah. "Ga bisa dibilang jadian juga, ini kayak kami akhirnya saling nerima keadaan aja, sih."

Nana mengangguk-angguk, meskipun tidak terlalu paham tapi dia bisa menyimpulkan sendiri. "Bagus, deh. Tapi dari pas masuk gerbang sampai sekarang, kalian berdua di liatin orang-orang terus."

"Bagus apaan? Dari awal gue nahan diri buat ga colok mata mereka semua. Norak," Eric berbisik lirih namun masih bisa didengar lawan bicaranya. Baru saja kembali usai mencuci tangan di wastafel tak jauh dari sana. Melayangkan senyum manis, tetapi menyorot tajam.

"Ya-ya, si paling sadis." Nana memutar bola mata jengah. Terlihat menyebalkan, namun sudah lebih bisa menerima sosok Eric di lingkaran pertemanannya bersama Elin.

"Bye the way, Na. Siapa orang di samping lo?" Elin menatap bingung sosok lain didekat Nana, seorang lelaki berambut cokelat dengan iris senada yang tengah diam sembari memainkan handphone. Kedua belah telinga pemuda itu tersumbat earphone.

Eric mengangguk, meminta penjelasan juga. Sedikit mengangkat sudut bibirnya, tertarik. "Sejak kapan lo kenal sama Rama Alexander?"

Nana mendengus, seharusnya tadi dia usir saja sosok menyebalkan di sampingnya ini agar tidak menjadi pusat perhatian. "Jadi gini ...."

***
Tertanda,

Author Evanaa88.

APATHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang