19. CHALLENGE AND RESULTS

54 2 1
                                    

Dia sungguh telah dibodohi.

Kali ini ... semuanya lepas dari prediksi. Bagaimana bisa hal yang sangat tak mungkin ini terjadi?

Nana benar-benar tengah bingung. Otaknya kosong, suara-suara sumbang riuh keramaian di sekitarnya mendadak tidak terdengar.

Pandangan gadis berambut hitam pekat itu masih mengarah lurus, tepat pada papan pengumuman nilai ujian yang baru saja keluar.

Raut Nana kian kosong, merasa jiwanya melayang dan tersedot lubang hitam.

Semuanya terjadi begitu cepat, tanpa aba-aba peringatan.

Nana mengingat kembali rangkaian kejadian yang membentuk momen mengejutkan ini.

***

Kelas ramai. Para murid tak mau diam, mereka sedang jam kosong. Guru tidak ada dan hanya memberi sejumlah tugas melalui ketua kelas. Namun, seperti biasa para remaja itu terlampau santai.

Tugas sekolah bisa ditunda dahulu, yang terpenting bermain-main sampai puas. Begitu tiba saat-saat deadline, baru mereka tergesa-gesa.

Disalah satu sudut kelas, terdapat dua pasang remaja putra dan putri. Elin memainkan ponsel, sedangkan Nana mencoret-coret buku sketsa. Duduk berdampingan seperti biasa.
Tepat arah depan, ada Eric yang sedang mengerjakan tugas dengan serius, sementara Rama yang kini menyusup masuk ke dalam kelas orang lain, duduk berdampingan dengan bangku menghadap arah belakang.

Terus membicarakan hal-hal tidak penting, masih mengharapkan respon Nana Fransisca yang terlampau datar.

"Tau ga? Persamaannya elo sama bulan, Na?" Rama tersenyum percaya diri, dia mulai mengeluarkan jurus menggombal.

Nana mengangkat wajah, guratan pensil 2B nya terhenti.  Dahi berkerut. "Apaan?"

"Sama-sama indah, bersinar buat dipandangi." Pria blasteran berambut cokelat itu terkekeh, menopang dagu merasa keren. "Tapi sayangnya, bulan itu belum gue miliki sekarang. Tapi nanti."

Nana mendengus, tidak paham sama sekali dengan pemikiran Rama. "Ada yang ga bisa dimiliki atau dilakukan, dunia ga berputar di kamu. Dan ingat, kamu ga terlalu spesial juga buat dapatin semua hal." Dia tahu itu memang kejam, namun seperti biasa gadis asli Indonesia itu tidak peduli dengan ucapannya.

Bukan tersinggung, Rama malah tertawa pelan. Matanya kehilangan sinar beberapa saat. "Dari awal, nyaris semua hal-hal luar biasa yang lo maksud itu bukan punya gue."

Tatapan Rama menilik punggung Eric, sorotnya menjadi campur aduk. Ada kemarahan, sedih, dan keputusasaan.

Nana menangkap itu dengan jelas. Pada dua detik pertama, matanya melebar tertarik.

Si gadis penyuka animasi Jepang mendengus. "Di hadapan dunia, kamu emang cuman figuran. Bisa apa kalo lawan tokoh utama?"

Rama semakin terbahak, perkataan Nana memang dari awal menohok. "Emang, gue sering kalah." Remaja itu maju memperpendek jaraknya. Hanya ada satu hal yang mutlak bagi Rama, "Tapi prinsip gue dari awal ga pernah berubah. Semua cewek cantik dan menarik di mata gue, harus jadi milik gue. Cepat atau lambat, dan dengan cara apapun."

Tipe pemuda seperti Rama yang paling membuat Nana jengkel. Seorang pemain wanita yang hanya mengganggu hari-harinya. Terus melontarkan kalimat tidak berguna, bergurau, dan mengikuti kemanapun ia melangkah.

"Lo itu cuman kurang kerjaan, kan? Nana paling ga suka cowok playboy tau!" Elin menghembuskan nafas gusar, sedikit risih dengan Rama. Si eksotis itu mengangkat telunjuknya. "Kami udah temenan dari SD dan gue ga pernah liat Nana  suka sama model cowok macam lo. Jangankan playboy, cowok baik-baik aja ditolak."

APATHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang