6. FRIENDSHIP

85 7 2
                                    

"Kamu gak apa-apa?"

Suara yang sangat dikenalinya. Perempuan berseragam lusuh itu mengangkat wajah, menatap sosok beriris hitam legam dengan poni tipis didepan. Sebelah tangan yang tertutup lengan seragam olahraga berwarna biru malam terulur, menyuruh untuk segera bangkit.

Ya, si malang itu sedang terduduk lesu diatas rerumputan dekat gedung belakang sekolah. Dari awal pelajaran, sampai jam istirahat pertama masih disana. Tidak terlalu berniat untuk ke kelas dan dipermalukan lagi.

Elin Brigitha hanya diam. Tapi karena yang menjemputnya disini adalah Nana jadi terpaksa atau tidak, sambutan tangan itu ia terima.

Jelas, perempuan berwajah imut itu bahkan sudah dianggap sebagai saudara.

"Aku bawain baju ganti dari loker. Sementara pakai ini aja, samaan dulu." Tote bag cokelat diberikan langsung ke tangan Elin. Isinya seragam olahraga Esteria. Sengaja mereka tinggal untuk berjaga-jaga.

Perlahan, senyum si eksotis mencuat. Tatapannya menghangat. "Makasih, Na." Entah dulu atau sekarang, Nana masih dan akan selalu berusaha menolongnya ketika semua orang di dunia menjatuhkan harga diri seorang Elin Brigitha.

Nana adalah teman terbaik Elin dari bangku sekolah dasar. Walau dulu mereka hanya kebetulan satu kelas, tapi ketika Elin membutuhkan bantuan. Dengan sigap Nana lah yang akan membantunya.

"Na? Lo kenapa?" Nafas terengah-engah, Elin menyorot kaget sekaligus khawatir kearah sosok yabg tengah terduduk lesu di taman dekat perumahannya. "Hei, kok diem? Baju seragam lo kenapa jadi kotor?"

Mengusap rok biru selutut yang penuh debu, Nana mengangkat pandangan. Tersenyum penuh luka. "Biasalah, anak-anak kelas kumat lagi. Tadi siang, Marcella dan geng nya gak ngebiarin aku pulang cepat-cepat. "

Muka Elin berubah serius. "Lo kok masih aja sih ngebiarin mereka semena-mena? Padahal kan lo bisa balas-"

"Ini keputusan ku. Gak semudah itu untuk ngelakuin apa yang kamu maksud." Nana menatap lurus ke depan tanpa berkedip. Tangisannya telah lama mereda. "Meskipun mereka udah kelewat batas, bahkan berani ngerusak penggaris ku sama coret-coret meja ku. Tapi 'permainan' ini ga akan berakhir sampai sini. Engga, sebelum aku lulus SMP."

Helaan nafas terdengar. Elin kadang-kadang memang tidak ingat bahwa temannya ini sedikit aneh. "Gue gak paham. Sebenarnya apa sih tujuan lo kayak gini, Na? Gue ngomong kayak gini bukan apa-apa, cuman khawatir aja sama lo."

Ya, sahabat satu-satunya Elin yang hobi menonton anime itu raganya dekat tapi hatinya seolah terasa jauh dan tak bisa dibaca.

Tak diduga, Nana malah tersenyum sendiri. Sebuah guratan yang menyimpan banyak makna. "Apa ya? Mungkin buat ngelatih sampai mana batas kesabaran aku?" Gadis berambut hitam berdiri. Desiran angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. "Yah, tapi kita mesti saling jaga juga sih. Kalo ada yang menggangu kamu, jangan sungkan buat cerita."

"Lo juga Na. Walaupun semisal gak bisa nolong, seenggaknya gue bakalan jadi pendengar yang baik. Ga akan pernah nge-judge lo seenak jidat." Janji si gadis eksotis sepenuh hati. Janji yang selalu ia tepati.

Berbalik, Nana kembali ceria. "Oke sip! Kita harus semangat!"

"Harus." Jempol Elin mengacung ke depan. "Eh, tapi kan kita udah kelas sembilan. Lo mau lanjut kemana nanti? Kalo gue sih, mungkin SMK Esteria. Itu sekolah impian gue." Mereka sudah hampir lulus sekolah di bangku menengah pertama, jadi mulai memikirkan masa depan.

Entah hanya perasaan atau memang benar, sudut bibir Nana berkedut seperti hendak menyeringai. "SMK Esteria, ya? Kita sama-sama ya. Mungkin nanti disana aku bisa dapat permainan yang lebih bagus dan bakal bongkar semuanya."

Jujur saja, Elin merasa tidak nyaman dengan perkataan Nana barusan. Namun juga sangat penasaran, mengenai hal yang akan terjadi.

"Mikirin apa?"

Tersentak kaget, seolah baru saja ditarik dari alam bawah sadar menuju kenyataan. Elin menoleh kaku kearah Nana yang duduk disampingnya.

Mereka sedang di Cafe Es krim sehabis pulang sekolah. Karena hari ini mood tengah hancur jadi sang sahabat berinisiatif untuk mentraktir.

"Enggak. Cuman bengong bentar," ujar Elin sembari mengalihkan pandangan.

Cafe di bilangan Jakarta pusat ini cukup aesthetic juga dengan design modern berwarna dominan pink dan putih. Di bagian dalam terdapat banyak kata-kata puitis berbahasa Inggris dan bingkai-bingkai foto. Kursi dan meja juga bergaya ala Eropa.

"Oh aku kirain kenapa gitu." Nana manggut-manggut maklum, sedetik ia menyuap lagi Es krim vanilla toping strawberry. "Btw, kali ini siapa lagi orangnya?"

"M-maksud lo apa?"

"Siapa orang yang bikin lutut kamu sampai luka kayak gitu?" Kali ini Nana si gadis berkuncir kuda memasang raut serius.

Celaka Elin lupa untuk menutupi lukanya yang telah di bersihkan.

"I-ini mah biasa. Cuman di dorong dikit kok sama Angel." Gugup. Elin menggaruk kepala belakang tak gatal. Keringat dingin perlahan membasahi pelipis. "Tenang aja, kali ini gue bela diri juga. Adu mulut sih, belum adu jotos."

"Cuman kamu bilang?! Itu sampai biru dan pasti berdarah kan?! Lain kali tampar aja muka songong nya itu!" Sudah diduga, Nana pasti tidak akan menerima bahwa Elin di bully lagi.

"Iya-iya sebisa mungkin gue bakal ngelawan kok. Janji."

Begitulah mereka, saling mengkhawatirkan satu sama lainnya. Dan berjanji selalu bersama hingga akhir.

***

Tertanda,

Author Evanaa88.

APATHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang