Mulai Khawatir

42 3 1
                                    

"Tuh, dia tampan, kan?"

"Eh?"

Intan langsung melotot mendengar apa yang dikatakan Arzu, meski memang benar ia datang ke rumah Arzu karena penasaran dengan Ustadz tampan yang Arzu maksud.

Sementara Azam hanya bisa menaikkan ujung alisnya.

"Siapa yang tampan?" tanya Azam kemudian.

"Om lah," sahut Arzu tanpa ragu. "Masa aku sama intan."

"Oh." Hanya itu yang bisa Azam katakan.

"Iya, Intan datang ke sini karena mau melihat Om," celetuk Arzu lagi yang membuat Azam melotot, begitu juga dengan Intan. Wajah gadis itu langsung merah padam, tentu ia merasa malu atas apa yang Arzu katakan secara blak-blakan pada Azam.

"Oh?"

Azam sungguh tak mampu berkata-kata, hanya Oh itu yang keluar dari bibirnya lagi dan lagi. Bahkan, otaknya seperti berhenti bekerja saat ini.

"Ayo ke kamar!" Intan yang tak sanggup menahan malu, langsung menarik paksa Arzu ke kamarnya.

"Loh, tunggu!" seru Arzu. "Nggak mau ngobrol dulu sama Om Ustadz?"

Om Ustadz?

Alih-alih tersinggung, Azam justru hampir tergelak mendengar nama panggilan Arzu itu.

"Nggak, aku udah liat wajahnya," kata Intan, ia kembali menarik Arzu masuk ke kamarnya. "Ish, Arzu! Kamu benar-benar malu-maluin." Intan menggerutu sembari melempar tubuhnya ke ranjang empuk Arzu.

Namun, Arzu tak menggubris gerutuan temannya, ia justru kembali keluar kamar sembari membawa kresek yang sejak tadi dia bawa.

"Om?" panggil Arzu pada Azam yang hendak masuk ke kamarnya.

"Iya?" Azam menatap gadis yang kini berlari kecil menghampirinya.Arzu merogoh sesuatu dari kreseknya itu. "Nah, ini buat Om!" Arzu menyerahkan satu donat pada Azam.

"Nggak usah, Arzu," tolak Azam dengan halus. "Kamu makan saja sama temanmu itu."

"Aku punya tiga donat, Om, jadi buat Om aja satu."Azam menatap donat di tangan gadis itu, kemudian mengambilnya dengan ragu. Bukannya Azam tidak mau menerima pemberian Arzu, tapi sikap dan kata-kata gadis itu membuat otaknya bekerja lebih lambat.

"Selamat menikmati, Om!" seru Arzu dengan ceria, setelah itu ia kembali ke kamarnya.

Azam hanya berdiam diri sembari menatap donat itu. "Bagaimana bisa David punya adik macam begitu?"

Kini Azam mulai-mulai senyum sendiri, dan ia pun menikmati donat itu yang terasa sangat enak.

Entah donatnya yang enak, atau karena Arzu yang memberikannya maka donat itu terasa enak?Intan pulang saat hari sudah malam karena ia tak mau ibunya khawatir, hari ini David juga pulang lebih cepat karena ada Azam di rumahnya. Sementara sang Ayah, seperti biasa, dia pulang cukup larut.

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, Arzu masih terjaga. Ia berbaring di tengah ranjang, menatap langit-langit kamarnya dengan nanar. Ingatan akan pertengkaran ayah dan ibunya kembali menari dalam benaknya.

Ia masih ingat dengan jelas bagaimana mereka bertengkar hebat karena orang ketiga, yang kemudian berakhir dengan perceraian.

Saat itu, usia Arzu masih 14 tahun. Dan itu tepat di hari ulang tahunnya, juga tepat di hari ia menerima penghargaan sebagai siswi teladan di sekolahnya. Di hari semua orang tua siswa dan siswi berkumpul di sekolah, menemani anak-anak mereka. Akan tetapi, Arzu hanya ditemani 

Intan dan Ibunya. Dua orang yang sama sekali tidak punya hubunngan kekeluargaan dengannya. Sedangkan David saat itu sedang kuliah di Singapore.

"Ck, takdir yang benar-benar menyebalkan." Tiba-tiba Arzu melempar gulingnya dengan kesal.

Dijodohkan Dengan Ustaz TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang