Menerima Syarat Itu

47 8 1
                                    


"Syarat kedua, aku nggak mau tinggal sama mertua!"

"APA?" semua orang memekik secara bersamaan. Bahkan, Azam langsung menelan ludahnya dengan kasar karena apa yang Arzu minta itu sama saja seperti memberi pilihan untuk memilih antara istri dan ibu.

"Arzu?" lirih Papa Aji yang sudah tidak mengerti lagi dengan isi kepala Arzu. "Kenapa begitu?"

"Kata orang, tinggal sama Ibu mertua itu nggak enak," celetuk Arzu dengan jujur. "Dan aku mau hidup tenang, yang enak, nyaman."

Calon ibu mertuanya itu hanya bisa melongo, otaknya tiba-tiba blank. Azam pun tak bisa berkata-kata, apalagi ia tidak pernah berpikir akan tinggal berpisah dari ibunya setelah menikah. Bahkan, Azam ingin tetap tinggal bersama sang Ibu karena dia anak pertama, menggantikan posisi sang ayah menjaga keluarganya.


"Maafin kata-kata Arzu," ucap Papa Aji dengan cepat, apalagi ia menyadari raut wajah ketiga tamunya sangat berbeda. "Arzu, cabut syarat itu!" bisiknya pada Arzu.

"Nggak mau," tolak Arzu dengan cepat. "Yang akan menikah 'kan aku, yang akan menjalani rumah tangga itu nanti juga aku. Jadi ya terserah aku, kan?"

"Nggak begini, Sayang." Papa Aji mendesis tertahan, tapi Arzu tetap memegang keputusannya.

"Nggak apa-apa," seru Ummi Umaroh akhirnya.

"Ummi?" Azam menatap sang Ibu dengan cemas, tapi Ummi Umaroh langsung melempar senyum yang seolah meminta Azam tenang.

"Tante juga anak perempuan dan menantu perempuan, Arzu, jadi Tante mengerti apa yang kamu takutkan. Dan jujur saja, dulu Tante tinggal bersama keluarga ayah Azam dan itu memang nggak enak." Ummi Umaroh terkekeh di akhir kalimat. "Jadi syarat itu kami penuhi."

Arzu langsung tersenyum lebar, sementara ayah dan kakaknya menghela napas lega. Namun, di detik selanjutnya mereka kembali tegang karena masih ada satu syarat lagi. Dan tidak ada yang bisa menebak apa yang ada dalam otak cantik Arzu.

Azam, Ummi dan Om-nya juga gugup menunggu syarat Arzu berikutnya.Kini mereka semua seperti sedang menunggu keputusan hakim dalam sebuah persidangan yang menegangkan.

"Lalu apa syarat ketiga, Arzu?" tanya Ummi Umaroh. Ia menarik napas, berusaha menenangkan dadanya yang berdebar.

"Syarat yang ketiga, Om harus menjadi yang suami yang baik. Yang memenuhi semua kebutuhanku, dan di rumah harus ada Bibi karena aku nggak mau masak, aku juga nggak mau bersih-bersih rumah. Nanti aku akan mengurus Om aja, kalau sudah punya anak, aku akan mengurus Om dan anak kita."

Semua orang kembali menganga, bahkan ayah dan Kakak Arzu hanya bisa menahan ludah.

Om Malik meringis mendengar syarat itu, Ummi Umaroh mematung, dan Azam hanya bisa garuk-garuk kepala.

"Om sanggup 'kan bayar Bibi buat masak dan membersihkan rumah?" tanya Arzu. "Kalau Om nggak sanggup, nggak apa-apa, biar Papa yang bayar ART. Yang penting aku nggak perlu melakukan pekerjaan apapun."

"Arzu, tidak boleh begitu," tegur sang Ayah dengan tegas. Ia tahu apa yang Arzu katakan dapat melukai harga diri Azam dan keluarganya.

"Aku cuma kasih opsi," sahut Arzu dengan santai. "Apalagi nanti kita akan tinggal di desa, nggak akan ada pembantu 'kan di sana? Sementara aku nggak bisa masak apalagi membersihkan rumah."

"Bagaimana, Zam?" tanya Ummi Umaroh.Azam hanya meringis, dan ia masih menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kalau Ummi sih setuju, Zam," kata Ummi Umaroh yang kini justru tersenyum lebar.

"Ingat, kamu menikahi wanita itu untuk dijadikan istri, bukan pembantu. Memasak dan membersihkan rumah juga bukan kewajiban wanita loh." Ummi Umaroh berkata sembari mengulum senyum, dan ia terlihat mendukung permintaan Arzu kali ini.

"Memasak dan mengurus rumah itu juga bukan kodrat seorang istri, kodrat istri itu cuma mengandung dan melahirkan. Menyusui aja nggak wajib menurut Imam Syafi'i, kecuali saat baru saja melahirkan." Lanjutnya.

Azam yang tahu tentang hukum itu tentu saja hanya bisa cengengesan. Om Malik justru terkekeh karena suadara perempuannya ini justru mendukung calon menentu perempuannya, sementara Papa Aji dan David hanya bisa menahan senyum. Ilmu agama mereka memang tidak sedalam orang-orang seperti Azam, tapi mereka pernah mendengar hukum itu.

Sementara Arzu yang sebenarnya tidak tahu hukum seperti itu hanya bisa senyum-senyum, yang dia butuhkan saat ini hanyalah dukungan atas keputusannya.

"Bagaimana, Om? Bisa menerima ketiga syarat yang aku ajukan?" tanya Arzu yang menatap Azam dengan sangat tajam dan dalam."Inysaallah, Arzu. Aku menerima ketiga syaratmu."

******

"Menurut Om syarat itu cukup konyol." Om Malik menghela napas panjang untuk yang ke sekian kalinya, ia sungguh tidak mengerti bagaimana bisa Azam jatuh pada pesona seorang gadis bar-bar seperti Arzu. Padahal, keponakannya itu adalah impian setiap wanita dan dia bisa memilih wanita mana pun yang baik budi pekertinya dan cantik wajahnya.

"Itu memang terdengar konyol karena selama ini kita belum menemukan wanita mengajukan syarat seperti itu." Ummi Umaroh menanggapinya dengan santai.

Baginya, permintaan Arzu bukanlah hal yang berat apalagi tidak mungkin bisa dikabulkan. "Aku percaya Azam akan menjadi suami dan imam yang baik sesuai ajaran syariat islam. Syarat yang Arzu ajukan tidak menyalahi aturan agama kita."

"Aku paham, Mbak!" sergah Om Malik. "Tapi nggak mau hamil sampai usianya 23 tahun? Yang benar aja, artinya Azam baru akan memiliki anak saat usianya 34 tahun nanti." Om Malik mendengus kesal.

Awalnya ia pikir apa yang Arzu minta memang tidak berat, tapi setelah dipikir kembali mengenai syarat tidak mau hamil sampai usia yang sudah gadis itu tentukan membuat Om malik keberatan. Azam adalah laki-laki pertama di keluarga besarnya, mereka semua menanti keturuanan dari Azam.

"Menjadi ibu itu nggak mudah, Malik!" seru Ummi Umaroh. "Kepercayaan Arzu terhadap seorang Ibu sudah ternoda dan mungkin itu yang menyebabkan dia tidak mau jadi Ibu sebelum waktu yang tepat. Dia juga sudah menjelaskan alasannya, kan?"

Om Malik hanya mengangguk pasrah meskipun hatinya masih terasa berat untuk menerima semua itu.

Sementara di sisi lain, Arzu memperhatikan Azam yang kini berbincang dengan David dan juga Papa Aji di teras samping rumah. Dada Arzu kembali berdebar, bahkan ia merasa seperti ada yang akan meledak di dalam jantungnya apalagi setelah ia mengingat kata-kata Azam yang akan memandangi wajahnya seperti memandangi bulan dan bintang setelah menikah nanti.

"Ufff, dari mana dia mencontek kata-kata manis seperti itu?" gumam Arzu sambil memegang dadanya. "Aku jadi berdebar, apa artinya aku jatuh cinta?"Arzu meringis membayangkan dia jatuh cinta pada pria yang sebelas tahun lebih tua darinya itu. 


"Dari sekian banyak teman Kak David, kenapa harus Om ustadz itu sih yang dijodohkan sama aku?" 

Dijodohkan Dengan Ustaz TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang