Rencana Untuk Arzu

41 6 1
                                    

"Azam."

"Huh?" pekik Arzu saat mendengar sang Ayah menyebutkan nama itu.

"Iya, Papa mau kamu menikah sama Azam. Dia pria yang baik, yang sopan, penuh perhatian, dan yang pasti dia tampan, kan?" Pak Aji menatap Arzu penuh harap.Namun, yang Arzu katakan selanjutnya justru membuat dia hanya bisa tercengang.

"Dia memang tampan, Pa, tapi bukan berarti aku tertarik mau kawin sama dia," ujar Arzu dengan sangat serius.

"Coba dulu kamu pikirkan, Sayang," pinta Papa Aji. "Papa yakin kalian akan menjadi pasangan yang serasi."

"Nggak!" bantah Arzu tegas. "Dia tua, dan aku masih muda. Jadi, kami nggak serasi!"

"Jadi Kak Azam bohong ya sama kita semua?"

"Nggak bohong sama sekali, Hafsha," bantah Azam dengan cepat.

Saat ini, ia sudah berada di rumah di desanya. Dia disambut dengan hangat oleh Ibunya yang biasa dipanggil Ummi Umaroh, kedua adiknya, Zain dan Hafsha.Di sana juga ada Om dan Tante Azam, dan dua adik sepupunya yang juga masih remaja. Hasan dan Hanif.

"Loh, katanya ke Jakarta cuma mau menghadiri pernikahan temannya. Kok bisa, pulang-pulang bawa kabar melamar anak orang." Hafsha memicingkan matanya pada sang Kakak. "Kak Azam diam-diam punya pacar orang kota, ya? Hayo ngaku."

"Cantik nggak, Kak?" tanya Zain yang masih berusia 15 tahun itu. "Aku mau dong punya kakak ipar orang kota."

"Apa mereka kayak yang di TV-TV itu? Pasti cantik dan putih." Hasan menimpali.

"Terus kalau Kak Azam nikah sama orang kota, nanti tinggalnya di mana?" tanya Hanif penasaran.

Azam meringis mendengar tudingan-tudingan kejam adik-adiknya itu. Ia pun menatap ibunya dengan memelas, berharap mendapatkan pembelaan. Namun, yang ia dapatkan justru sebaliknya.

"Kenapa sih kamu itu nggak jujur aja kalau sudah punya wanita idaman di kota, Zam?"

"Astagfirullah, ya Allah. Ummi ...." Azam menatap sang Ibu dengan gemas.

Ia memang menceritakan tentang lamaran Pak Aji padanya, tapi tak ada satu pun dari keluarganya yang percaya bahwa ia memang dilamar. Mereka semua justru menuduh Azam ke Jakarta untuk melamar kekasihnya.

"Aku beneran nggak melamar anak orang, justru aku yang dilamar." Azam setengah merengek, apalagi baru sekarang seluruh keluarganya dengan kompak menuduhnya berbohong.

"Benar?" tanya sang Ibu, menatap Azam dengan serius.

"Iya, Ummi, aku nggak bohong," tegas Azam.

Semua orang saling memandang, dan tentu mereka masih meragukan keaslian dari cerita Azam.

"Ooh, aku jadi teringat dengan kisah Sayyidah Khadijah yang melamar Nabi," ujar Hafsha tiba-tiba. "Kalau memang Kak Azam yang dilamar, pasti wanita itu pemalu dan pendiam ya, Kak?"

Pemalu dan pendiam?

Azam banyak bertemu orang selama 30 tahun hidup di dunia, dan baginya, tidak ada yang lebih absurd dari Arzu.

"Dia ... bukan wanita pendiam," cicit Azam. "Dia sangat aktif, bukan gadis pemalu dan ...." Azam menggantungkan kata-katanya, teringat kembali saat Arzu pergi tengah malam tanpa rasa takut. "Dia juga gadis yang pemberani."

Semua orang kembali saling pandang saat mendengar cerita Azam, dan kini mereka sudah membayangkan gadis aktif dan pemberani versi mereka masing-masing.

Ada yang berpikir Arzu aktif dalam artian bekerja, bersosial, belajar, serta melakukan hal-hal kebaikan lainnya. Ada juga yang berpikir Arzu pemberani dalam artian tidak takut mengungkapkan hal yang salah, dan tidak takut mempertahankan apa yang menurutnya benar.

Dijodohkan Dengan Ustaz TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang