Dijodohkan Dengan Ustaz Tampan

Menenangkan Sang Calon

"Arzu?" panggil Azam dengan lembut, tapi ia masih berdiri di ambang pintu.

"Apa?" sahut Arzu dengan sangat ketus.

"Calon suami kamu mau bicara," ujar Azam.

"Nggak mau, bilang aja nggak ada di sini."Azam hampir tergelak mendengar jawaban Arzu, apalagi ini menunjukkan gadis itu tidak sadar dengan siapa dirinya berbicara. Azam sungguh tak habis pikir apa yang ada dalam benak gadis itu sekarang, sampai dia tidak menyadari kehadiran dirinya.

Sementara Intan dan Tante Ayu hanya bisa menahan senyum geli melihat kekonyolan Arzu.

"Calon suami kamu sudah tahu kamu di sini," kata Azam dengan santai.Arzu yang berada di bawah selimut seketika mengerutkan dahi, ia pun menurunkan selimut yang menutupi kepalanya.

Kemudian Arzu mengintip ke arah suara yang berbicara dengannya, dan seketika ia hanya bisa melongo melihat Azam yang kini bersandar di daun pintu.

Pria itu melipat kedua tangannya di dada, dan entah setan mana yang merasuki mata Arzu, tapi dia melihat Azam sangat seksi sekarang. Apalagi Azam hanya memakai kaos hitam polos, dan jeans hitam pula. Penampilannya tidak seperti Ustadz yang ia bayangkan.

"Dia beneran Om Ustadz nggak sih? Kok seksi begitu?" batin Arzu bertanya-tanya dengan bingung. "Seharusnya Ustaz itu 'kan kalem." batin Arzu.

"Bagaimana, Arzu? Apa sekarang kamu ada di sini atau nggak?" tanya Azam dengan tajam. meskipun raut wajahnya masih terlihat tenang, tapi jelas tidak dengan sorot matanya.

"Ada, Om," jawab Arzu dengan polosnya, sambil menyibak selimut. Hal itu membuat Azam terkekeh.

"Mau pulang? Papa kamu khawatir." Azam berharap Arzu menerima ajakannya untuk pulang, meskipun sebenarnya ia tidak melihat Papa Aji benar-benar khawatir pada Arzu.Arzu langsung menggeleng, bahkan raut wajahnya kini sudah berubah mendung. Gadis itu terlihat marah, tapi juga sedih. Membuat Azam merasa kasihan.

"Kenapa?" Azam bertanya dengan kening yang berkerut.

"Kalau aku pulang, pasti nanti Papa akan bilang gini sama aku Nggak boleh gitu Arzu sama mama kamu. Harus sopan, Arzu. Papa ngerti kamu sedih, tapi jangan begitu' . Dan bla bla bla ...."Arzu menirukan ucapan ayahnya yang pasti akan menceramahinya nanti, dan Arzu sangat benci dengan nasihat itu karena ia tahu, Ayah dan kakaknya juga kecewa pada Mama Irene. Lalu, kenapa hanya dirinya yang dipaksa memaafkan sang Ibu?

"Papa kamu nggak salah, setiap anak memang nggak boleh berkata kasar sama orang tuanya, Arzu," ucap Azam yang mencoba memberi pengertian pada Arzu.

"Ck, kamu ngapain sih nasihati aku?" bentak Arzu kesal yang langsung membuat Azam terhenyak. "Mending kamu nasehatin aja wanita itu, biar jadi Ibu yang baik. Bukannya cuma datang minta maaf, datangnya juga cuma setelah suaminya mati."Azam kembali terhenyak.

Suaminya mati?

Suami siapa, Pikir Azam.

"Aku rasa Arzu butuh waktu sendiri, Zam," ujar Tante Ayu. "Tolong maklumi dia, ya."

"Oh, suruh wanita itu belajar jadi Ibu yang baik seperti ibunya Intan," seru Arzu tiba-tiba. "Tante Ayu itu sayang sama aku, peduli, perhatian. Sedangkan dia cuma sibuk sama suami barunya, habis suami barunya mati, dia sibuk ngurus anaknya sendiri."

Sekarang Azam mengerti, suaminya mati yang dimaksud Arzu adalah suami kedua ibunya.

"Mungkin karma kali, ya. Makanya suaminya cepat mati," gerutu Arzu lagi, seolah ia masih ingin melampiaskan rasa kesalnya pada sang Ibu.

Azam pun memberi isyarat pada Tante Ayu dan Intan agar pergi dari kamar, kedua wanita itu pun menuruti keinginan Azam. Dan sekarang, di kamar itu tinggal Arzu yang masih ada di bawah selimut, sementara Azam masih tetap di tempatnya semula.

"Mama kamu mau minta maaf, Arzu," kata Azam dengan lembut.

"TERLAMBAT!" bentak Arzu dan bersamaan dengan itu air matanya kembali tumpah. "Dulu aku nungguin dia berbulan-bulan." Arzu menyeka air matanya.

"Setiap hari aku duduk di pintu sambil terus menatap pintu gerbang, aku nungguin dia datang. Apalagi papa sibuk terus di kantor, Kak David nggak pulang-pulang. Tapi dia nggak datang, nggak pernah datang walaupun cuma sekali."

Tangis Arzu semakin pecah, tapi dia mencoba menahannya."Aku juga sampai bawa telfon rumah ke kamar, aku pikir dia akan menghubungi aku dan nanyain kabar. Tapi dia juga nggak menghubungi aku sama sekali, ternyata dia sibuk ngurus pernikahan sama selingkuhannya, setelah itu mereka pergi bulan madu. Padahal, kami ... masih sakit. Tapi dia berpesta. "

Arzu berkata dengan suara lirih di akhir kalimat, bibir wanita itu bergetar dan isak tangis terdengar semakin keras.

Azam tak bisa berkata-kata, ia tidak tahu kejadiannya ternyata sangat menyedihkan seperti ini. Sekarang ia bisa memahami kenapa luka Arzu begitu dalam dan besar.Bahkan, Azam tidak bisa membayangkan bagaimana jika itu terjadi padanya, atau adik-adiknya.

"Aku benci sama dia, pokonya aku benci!" desis Arzu. "Aku nggak mau ketemu dia lagi, aku mau melihat wajahnya."

Azam tak mencegah Arzu mengatakan apapun, ia juga tak berusaha menghentikan tangis Arzu. Ia memberikan Arzu kesempatan dan waktu untuk meluapkan rasa sakit dalam hatinya.

"Dia benar-benar jahat!"

"Dia ibu terburuk yang ada di dunia."

"Aku nggak mau punya Ibu seperti itu."

"Aku nggak mau melihat wajah dia lagi, sampai mati pun aku nggak mau!"

"Dia benar-benar nggak punya perasaan!"

Ocehan Arzu masih terus berlanjut, dan Azam masih setia mendengarkan.Kali ini, ia tidak mau menasehati Arzu karena bukan itu yang Arzu butuhkan. Nasehat itu yang ada akan Arzu anggap sebagai perlawanan atau tekanan pada dirinya yang sudah tertekan, dan itu akan membuat Arzu semakin melawan.

Hingga setelah beberapa menit berlalu, Arzu sudah berhenti mengoceh. Isak tangisnya pun sudah mulai berkurang dan Azam masih tetap setia memperhatikan gadis itu.

"Sudah selesai?" tanya Azam kemudian sembari mendekati Arzu, ia mengambil kotak tissue dari atas meja kemudian memberikannya pada Arzu.Arzu mengambil beberapa tissue untuk menghapus air mata dan ingusnya.

"Sudah," kata Arzu kemudian dengan lirih yang membuat Azam mengulum senyum.

"Masih ada yang ingin kamu katakan?" tanya Azam lagi.

Arzu menggeleng, baru kali ini tidak ada yang menghentikannya mengeluarkan semua kata-kata kebencian itu, hingga Arzu sudah tidak punya kata-kata seperti itu lagi untuk dikeluarkan. Dan entah kenapa, kini Arzu justru merasakan sedikit ketenangan dalam hatinya. Seperti ada beban yang berkurang.

"Bagus, kalau begitu ayo kita pulang dan aku janji papa kamu nggak mengatakan apapun."Arzu menatap Azam dengan ragu, apalagi ia menganggap Azam tidak mengerti apapun tentang hidup yang ia jalani selama ini dengan keluarganya.

"Ayo, Arzu!" ajak Azam sekali lagi. "Aku janji nggak akan ada yang membahas soal tadi sama kamu."

"Om yakin?" tanya Arzu ingin memastikan.

"Iya."

"Okay, aku percaya sama Om Ustadz!"