Luka Yang Tersimpan

42 6 4
                                    

Syarat dan ketentuan yang Arzu inginkan telah disepakati oleh Azam dan keluarganya, itu membuat Papa Aji dan David merasa sangat bahagia. Meskipun awalnya David menentang perjodohan itu karena kasihan pada Azam karena ia merasa pria itu berhak mendapatkan wanita yang penuh baik, tapi kini ia merasa Azam dan adiknya memang cocok.Mereka seperti air dan api, dan itu benar-benar serasi.

Tak ingin membuang waktu, mereka langsung mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA karena Azam ingin menikahi Arzu secepatnya, apalagi Arzu mengatakan dia tidak perlu pesta.

Kabar itu juga sudah sampai pada Intan dan Ibunya, tentu saja kedua orang itu sangat bahagia bahkan mengucapkan selamat, padahal Arzu sudah mengatakan dia terpaksa mau menikahi Om Ustadz itu demi ayahnya.

"Jadi kalian benar-benar cuma mau akad begitu?" tanya David untuk memastikan sekali lagi keinginan dari kedua mempelai itu.

"Iya," jawab Arzu santai.

Saat ini, Papa Aji membawa mereka semua ke restaurant mewah di Jakarta untuk makan siang. Setelah ini mereka juga akan pergi mencari cincin pernikahan, dan juga gaun yang akan Arzu pakai saat ijab qobul nanti.

"Padahal kamu itu adik kesayangan Kakak lho, Ar, Kakak pengen pernikahan kamu itu mewah, berkesan, dan menjadi kenang-kenangan yang sangat indah. Tapi kok kamu malah mau akad aja sih? Tabungan Kakak sudah cukup kok untuk menggelar pesta."David setengah menggerutu, apalagi selama ini dia menyimpan tabungan khusus untuk biaya pernikahan Arzu. Semua itu ia lakukan sebagai bentuk kasih sayang pada sang adik.

"Kami juga ingin ada pesta dan merayakan kebahagiaan ini bersama keluarga besar kami," kata Ummi Umaroh. "Tapi untuk sekarang, yang penting mereka sah dulu sebagai suami istri. Biar kami bisa segera membawa Arzu pulang."

"Kira-kira aku akan betah nggak ya di sana? Aku nggak pernah ke desa, apalagi tinggal di desa," celetuk Arzu yang lagi-lagi membuat suasana berubah.

"Arzu?" Sang Ayah hanya bisa menatap Arzu memelas, berharap putrinya itu menjaga sikap, apalagi ia dan David sudah berkali-kali sudah mengingatkan agar Arzu tidak selalu asal bicara.

"Insyaallah, nanti kamu betah di sana," ujar calon Ibu mertuanya itu dengan yakin.

"Di sana juga banyak anak-anak seusia kamu, Arzu," sambung Om Malik. "Kamu akan punya banyak teman di sana."

"Di sana pasti nggak ada mall, kan? Apa cuma sawah aja? Kalau nanti aku bosan di rumah, terus aku pengen belanja, aku harus pergi ke mana dong?"

"Arzu, jaga bicaramu!" tegur David.

"Nggak apa-apa, Vid," kekeh Azam. "Aku senang dengan dia yang jujur begini."

"Aku juga," Ummi Umaroh menimpali sambil tertawa kecil.

"Biasanya calon menantu itu akan berusaha mengambil hati calon mertuanya sebelum pernikahan dengan berbagai cara, tapi Arzu tidak melakukan itu dan itu membuat kami senang. 


Sejak awal, dia sudah menjadi dirinya sendiri. Jika sejak awal dia menunjukkan sikap yang bukan dirinya, kami pasti akan shock kalau nanti dia berubah. "

"Tante orangnya baik dan pengertian, ya," kata Arzu sambil tersenyum manis. "Aku suka deh sama Tante," imbuhnya yang seketika membuat semua orang tertawa kecil.

Sementara Azam hanya bisa menghela napas berat.

Yang calon suami Arzu itu adalah dirinya, tapi yang mendapatkan kata suka dari Arzu justru ibunya. Azam merasa itu sedikit tidak biasa.

Setelah selesai makan, mereka pun keluar dari restoran. Arzu bergandengan tangan dengan manja pada sang Ayah, sementara David masih sedikit mengobrol dengan Azam tentang urusan pekerjaan masing-masing.

Hingga tiba-tiba langkah Arzu terhenti, membuat ayahnya juga berhenti.

"Ada ap—" Papa Aji tak melanjutkan pertanyaannya saat melihat siapa yang berdiri di hadapan mereka.

Seketika raut wajah Arzu berubah, begitu juga dengan David. Tapi beda halnya dengan Papa Aji yang menampilkan wajah datar.

Di depan mereka, wanita yang merupakan ibunya Arzu berdiri sembari menggandeng putri kecilnya yang langsung tersenyum lebar pada Arzu.

"Kakak Alzu juga makan di sini?" tanya gadis berusia 4 tahun itu. Namun, Arzu tak mengindahkan pertanyaannya, bahkan ia melemparkan tatapan sinisnya.Arzu langsung menarik sang Ayah agar segera pergi dari sana.Azam, Ummi dan Om-nya bisa langsung menebak siapa wanita itu.

"Arzu, tunggu sebentar!" seru ibunya Arzu yang berusaha menarik tangan putrinya itu, tapi Arzu langsung menepis dengan kasar.

"Mama ingin bicara sama kamu sebentar aja, Sayang," pinta sang Ibu dengan tatapan sendu, seolah ia sangat berharap bisa berbicara dengan Arzu.

"Aku sibuk," jawab Arzu ketus yang membuat Azam terkejut, begitu juga dengan ibu dan pamannya.

"Lain kali aja, Ren!" seru Papa Aji dengan tenang. "Saat ini kami sibuk."Seketika air mata Mama Irene jatuh, padahal ia sengaja mengikuti Arzu hanya demi berbicara dengan putrinya itu. Putri yang tidak pernah mau berbicara apalagi bertemu dengannya sejak ia dan Papa Aji bercerai.

"Iya," jawab Mama Irene pasrah sembari menyeka air matanya. Ia pun membawa putri kecilnya itu melangkah ke samping, memberi jalan pada Arzu dan yang lainnya.

Akan tetapi tiba-tiba Arzu berkata, "Nggak ada lain kali."Arzu menatap mamanya itu dengan tajam. "Sudah aku bilang, jangan pernah muncul di hadapanku, apalagi membawa hasil selingkuhanmu itu."

"Arzu!" tegur Papa Aji dengan tegas.

"Mama cuma mau ngasih kamu hadiah kok, Sayang," kata Mama Irene yang tetap menyunggingkan senyum, meski hatinya perih karena begitu dibenci oleh anak kandungnya sendiri.

"Mama dengar kamu mau menikah, jadi Mama mau ngasih kamu hadiah. Tadi Mama sudah ke rumah, tapi kata Bibi, kamu sudah pergi."

Arzu langsung tersenyum sinis, membuat hati ibunya semakin teriris pedih, tapi ia mencoba menahan.

"Kamu mau kasih hadiah, ya?" tanya Arzu sembari tersenyum miring.

Kamu, panggilan itu sangat menyakiti hati seorang Ibu, dan Arzu selalu menunjukkan bahwa dia sudah enggan memanggilnya Mama.

"Iya," jawab Mama Irene dengan cepat. "Kamu mau hadiah apa, Sayang?" Ia menatap putrinya dengan penuh kerinduan.

"Jangan pernah muncul di hadapanku lagi meskipun di hari kematianku, apalagi di hari pernikahanku. Itu adalah hadiah yang aku mau. Bisa kamu berikan?"

DEG

Air mata Mama Irene kembali tumpah, bibirnya bergetar, hatinya seperti dicabik-cabik.Azam pun hanya termangu, tak menyangka Arzu akan mengucapkan kata-kata yang pasti sangat melukai hati seorang Ibu. Begitu juga dengan Ummi Umaroh, apalagi dia juga seorang Ibu, tentu dia tahu perasaan calon besannya itu.

Sementara David tampak biasa saja, beda halnya dengan Papa Aji yang tampak tak menyukai kata-kata Arzu.

"Jangan begitu, Nak," bisik Papa Aji dengan lembut, tapi Arzu seolah tak mendengarnya.

"Terima kasih, aku terima hadiahmu," ujar Arzu kemudian padahal ibunya hanya menangis dan tak bersuara.

Arzu hendak pergi dari sana, tapi gadis kecil itu menarik tangan Arzu."Kakak Alzu mau ke mana?" tanyanya.

"Jangan menyentuhku!" bentak Arzu sembari menepis tangan adik seibunya itu dengan sangat kasar, membuat sang adik tersentak dan pada akhirnya menangis. Namun, Arzu tidak terlihat merasa bersalah atau menyesali perbuatannya.

Kini Arzu melangkah cepat, diikuti oleh David yang juga terlihat enggan bertemu dengan ibunya."Jangan menangis, Sayang," kata Mama Irene yang langsung memeluk putrinya itu. "Kakak Arzu hanya bercanda kok."

"Maafin tingkah Arzu," ucap Papa Aji. "Dia masih memendam luka lama, jadi tolong maklumi."

Dijodohkan Dengan Ustaz TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang