Dia Tampan, kan?

49 3 1
                                    

"Jadi di rumah kamu ada Ustadz tampan?" Mata Intan yang sudah besar itu semakin besar mendengar cerita Arzu, apalagi temannya itu mengatakan Azam adalah pria yang tampan dan berkharisma.

"Iya, nggak tahu sampai kapan. Tapi aku nggak suka dia ada di rumah," ujar Arzu sembari mengunyah keripik yang tadi ia beli. "Soalnya Kak David jadi sering marah kalau aku pakai baju pendek, katanya nggak boleh pakai baju pendek di depan Ustad."

Saat ini dia ada di rumah Intan, seperti biasa, ia merasa tak pernah betah di rumahnya yang sepi. Di mana hanya ada pembantu dan satpam di sana, dan tentu saja kedua orang itu tidak akan menghabiskan waktu bersama Arzu.

"Tan?" Tiba-tiba Bu Ayu masuk ke kamar anak gadisnya itu. "Mama mau ke ke toko roti, kalian mau dibelikan apa?" tanyanya.

"Ak—"

"Belikan donat keju, blueberry, dan emm ...." Arzu melirik ke kanan kiri, sementara Intan hanya bisa meringis. Ia sendiri bahkan belum menyebutkan pesanannya pada sang Ibu, tapi Arzu justru nyerocos minta ini itu. "Oh, belikan yang matcha!" seru Arzu.

"Itu aja?" tanya Bu Ayu dengan santai.

"Iya, Ma, itu aja." Intan menjawab dengan pasrah.

Sebenarnya, Intan dan Ibunya sama sekali tidak keberatan dengan permintaan Arzu, bahkan mereka sudah menganggap Arzu sebagai bagian dari keluarga mereka. Selain itu, sudah tidak terhitung berapa kali Arzu membantu ekonomi mereka.

"Terima kasih, Tante," ucap Arzu. "Oh ya, motor yang aku dapat dari balapan itu, buat Tante aja."

"Astagfirullah, jadi kalian balapan lagi?" pekik Bu Ayu. "Bukannya motor itu titipan dari teman Intan?"Intan hanya bisa cengengesan sambil menggaruk kepalanya, ia terpaksa berbohong pada sang ibu agar tidak dimarahi. Tapi ia lupa memberi tahu Arzu hal itu.

"Ih, kata siapa itu titipan?" Arzu langsung menatap Intan dengan tajam. "Aku mendapatkan motor itu dengan mempertaruhkan nyawa lho."

"Sebaiknya kalian kembalikan saja motor itu, pasti itu tidak resmi, kan?" Bu Ayu langsung berkacak pinggang.

"Jangan, Tante, itu sudah menjadi hakku. Aku juga nggak mencuri, kan? Itu halal kok, Tante Ayu yang ayu."

Bu Ayu langsung mengelus dadanya melihat betapa ngeyel nya Arzu, meskipun ia berpikir ada benarnya ucapan Arzu.

"Tan, mana kuncinya?" Arzu menadahkan tangan, dan Intan langsung memberikan kunci motornya. "Ini buat Tante aja, biar nggak naik angkot terus."

"Tapi nggak ada suratnya, Ar, bagaimana kalau Tante ditangkap polisi?""Ya sudah, nanti kita jual yang ini, terus hasil penjualannya buat beli motor lagi, yang lebih murah."

"Ide bagus!" seru Intan girang.

Intan dan ibunya memang hidup sederhana, mereka hanya punya usaha laundry, rumah Intan juga kecil dan hanya ada dua kamar. Tapi Arzu merasa sangat nyaman ada di antara mereka, ia merasa punya Ibu dan saudara yang sesungguhnya.

"Terima kasih." Tiba-tiba Bu Ayu memeluk Arzu dengan lembut, membuat Arzu terkesiap. "Kami memang ingin membeli motor, tapi selalu ada keperluan yang membuat tabungan kami nggak pernah cukup."

Arzu membalas pelukan Bu Ayu, ia tersenyum dan memejamkan mata. "Rasanya begitu hangat," gumam Arzu.

Sementara itu, Pak Aji yang saat ini sedang meeting dengan teman sekaligus investornya justru tampak tak fokus. Pria paruh baya itu terus terbayang wajah Azam.

Tentu saja bukan karena dia tertarik secara khusus pada teman anaknya itu, tapi ia tertarik untuk menjadikannya menantu. Apalagi David sering bercerita tentang betapa sederhananya hidup Azam, betapa baiknya Azam pada orang-orang di sekitarnya.

Dijodohkan Dengan Ustaz TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang