"Tunggu, Arzu!" teriak David saat Arzu menghentikan taksi, tapi gadis itu tak mengindahkan teriakan sang Kakak.
Arzu masuk ke taksi, dan air mata yang sejak tadi dia tahan kini langsung tumpah deras. Gadis itu menangis, dan ia tampak begitu rapuh.
Seseorang yang melihat Arzu menangis sekarang mungkin tidak akan percaya bahwa dia adalah Arzu yang sama, yang begitu nakal, iseng, dan ceria.Arzu juga sangat merindukan ibunya, dia juga ingin digandeng oleh sang Ibu seperti dulu. Ia juga ingin dipeluk, dicium, dan ditanya ingin apa, seperti yang selalu ibunya lakukan dulu.
Namun, luka karena ditinggalkan menusuk begitu dalam di hati Arzu. Apalagi hanya berselang empat bulan setelah ibu dan ayahnya bercerai, ibunya langsung menikah dengan pria yang menjadi selingkuhannya.
Padahal, saat itu Arzu masih menunggu sang Ibu pulang dan menemuinya.Arzu tidak masalah jika ibunya tidak tinggal bersama mereka lagi, yang dia inginkan hanya bertemu ibunya, dan tetap mendapatkan kasih sayang seperti dulu.
Akan tetapi, harapan Arzu hanya tinggal harapan.
Ibunya justru pergi berbulan madu. Selama beberapa bulan, ibunya tak menemui atau menghubungi Arzu. Akhirnya, Arzu memutuskan ia tak ingin berhubungan lagi dengan wanita yang sudah melahirkannya itu.
Luka Arzu yang begitu dalam, seperti semakin diperdalam, bahkan diperlebar dengan tindakan ibunya tak menemui Arzu setelah bercerai.
Mengingat masa lalu itu membuat Arzu menjerit kesal sekaligus sedih, ia melepaskan tangisnya, hingga membuat sopir taksi bingung sekaligus merasa kasihan.
"Ini, Non!" Sopir itu memberikan tissue pada Arzu untuk menghapus air matanya. Tapi Arzu tak menanggapi, ia hanya menunduk dan tak bisa berhenti terisak, hingga pundak gadis itu bergetar.
Sementara itu, Azam menatap kasihan pada Mama Irene, hatinya seperti ikut merasakan sakit, apalagi saat ia melihat wajah polos anak kecil yang di gendong Mama Irene.
"Nama kamu siapa, Sayang?" tanya Azam sembari menyeka air mata adik Arzu itu.
"Syaila, Om," jawabnya.
"Syaira." Mama Irene meralat meralat jawaban putrinya sambil tersenyum, padahal air mata masih membasahi pipi wanita paruh baya itu. "Dia masih belum bisa bilang R."
"Oh, nama yang cantik," kata Azam. "Secantik orangnya."Syaira langsung tersenyum, dan itu membuat Mama Irene merasa senang. "Oh ya, namaku Azam, aku calon suaminya Kakak Arzu."Azam menyentuh kepala Syaira, tak bisa ia bayangkan bagaimana perasaannya dibentak seperti tadi oleh Arzu.
Mama Irene mengangguk mengerti, bahkan kini ia terlihat bahagia karena bisa berkenalan dengan calon suami Arzu. Ia juga bisa melihat bahwa Azam adalah pria yang baik.
"Ayo, Zam!" seru Papa Aji.
"Tunggu, Mas!" cegah Mama Irene. Ia mengeluarkan sebuah kotak hadiah dari dalam tasnya.
"Tolong berikan ini pada Arzu, ya." Ia meminta dengan memelas, berharap mantan suaminya itu mau membantu.
"Dia nggak akan mau," ujar Papa Aji yang langsung membuat senyum Mama Irene lenyap.
"Biar aku yang akan coba berikan nanti." Azam mengambil kotak hadiah, kemudian ia menitipkannya di tas Ummi Umaroh.
"Terima kasih, Zam," ucap Mama Irene penuh haru. "Tante titip Arzu, ya. Semoga kalian juga bahagia, Tante akan selalu mendoakan kalian."
"Terima kasih, Tante," sahut Azam.
Mereka pun pergi dari sana, dan Ummi masih masih menyempatkan diri menepuk pundak Mama Irene serta melempar senyum hangat pada calon besannya itu, seolah itu adalah salam perkenalan.
Hal itu membuat Mama Irene semakin bahagia, meskipun tidak dapat menutupi kesedihannya karena ditolak oleh Arzu lagi dan lagi.
"Arzu di mana, Vid?" tanya Papa Aji yang melihat David hanya sendirian di parkiran.
"Arzu pergi naik taksi, Pa," jawab David. "Dia butuh waktu sendiri, jadi aku rasa batalkan dulu rencana hari ini."
"Itu lebih baik," kata Azam.Meraka pun kembali pulang, dan kali ini tak ada satu pun yang bersuara. Semua orang sibuk dengan pikiran dan perasaannya masing-masing.David juga terlihat masih memendam kekecewaan pada ibunya, tapi ia tak membenci sebesar Arzu membenci. David mengerti, masalah orang tua memang terkadang membuat anak menjadi korban. Tapi David juga tahu, orang tua tetaplah orang tua, yang memiliki banyak jasa dalam hidup mereka.
"Kira-kira ke mana Arzu pergi?" tanya Azam kemudian setelah sekian lama ia diam.
"Mungkin pulang ke rumah, atau ke rumah Intan," jawab Papa Aji.Azam terdiam sejenak, ia teringat saat Arzu mengatakan tidak bisa tidur, gadis itu juga pergi ke rumah Intan. Lalu, saat Arzu merasa sedih seperti sekarang, dia juga pergi ke rumah Intan. Dari sini Azam mengerti, yang Arzu butuhkan adalah teman curhat.
"Turunkan aku di sini, David!" seru Azam.
Intan menyerahkan tissue pada Arzu sambil meringis, dan gadis itu sudah hampir menghabiskan satu bungkus tissue sejak tadi.
"Aku tuh benci banget sama dia, Tan!" ucap Arzu di tengah isak tangisnya. "Kenapa sih salah satu dari kami tuh nggak mati aja, biar nggak usah ketemu lagi."
"Nggak boleh begitu," tegur Intan. "Kalau kamu mati, nanti aku temanan sama siapa dong. Terus, kalau ibu kamu yang mati, siapa yang jaga Syaira? Kan kasihan kalau dia tinggal ibunya."
"Loh, dia ninggalin aku dan Kak David tanpa rasa kasihan," sungut Arzu, yang bahkan menyebut ibunya dengan kata dia saja.
Intan tak bisa lagi berkata-kata karena apa yang Arzu katakan memang benar.Tiba-tiba Bu Ayu datang, dan wanita itu tampak kasihan melihat Arzu yang tidak berhenti menangis sejak tadi.
"Arzu?" panggilnya. "Ada calon suami kamu di depan, Sayang."
Arzu mengernyit bingung mendengar apa yang dikatakan oleh Tante Ayu. "Calon suami siapa?" tanyanya dengan dahi yang berkerut.
"Ya calon suami kamu - Azam," jawab Tante Ayu yang langsung membuat Arzu menepuk jidatnya sendiri.
"Aku lupa kalau punya calon suami," ujar Arzu. Intan dan Tante Ayu yang tadi sedih melihat Arzu sedih, kini seketika mereka tertawa geli. Bisa-bisanya Arzu lupa bahwa ia sebentar lagi akan menikah, pikir kedua orang itu.
"Ya sudah, temui dulu gih!" seru Tante Ayu kemudian. Namun, bukannya keluar dari kamar Intan, Arzu justru naik ke atas ranjang dan menyembunyikan diri di bawah selimut.
"Nggak mau, Tante, bilang aja aku nggak ada di sini!"
Arzu berkata dengan suara lantang dan itu terdengar sampai ke ruang tamu, di mana Azam duduk dengan gelisah menunggu sang calon istri.Rumah Intan sangat kecil, jadi sudah pasti dia mendengar suara dari kamar Intan.Tanpa pikir panjang, Azam langsung menyusul ke kamar Intan.
"Arzu?" panggil Azam dengan lembut, tapi ia masih berdiri di ambang pintu.
"Apa?" sahut Arzu dengan sangat ketus.
"Calon suami kamu mau bicara," ujar Azam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijodohkan Dengan Ustaz Tampan
Romance"Kau tampan, tapi tidak cukup membuatku tertarik untuk menikah denganmu."-- Arzu Nabilla. "Kau cantik, energik, manis, dan aku sangat tertarik untuk menikahimu." --Azam Miftah. _ Kehidupan Arzu Nabilla (19) yang penuh kebebasan harus berubah ketika...