"Pucet lo, Ca, sakit?"
Mahesa menggeleng.
"Adek gue yang sakit, gue jadi gak bisa tidur. Nangis semaleman dia," sahutnya.
Kalvin tertawa.
"Mampus, apa gue bilang punya adek gak seindah itu, Ca," serunya.
Mahesa mendelik pada Kalvin yang hari ini ada bersama mereka karena besok adalah hari pertandingannya di babak semifinal, jadi latihan diliburkan agar para pemain bisa istirahat.
"Ca, gimana, lo dapet alasan yang jelas gak dari abang lo soal mutusin Rania?"
Vero bertanya soal itu, mengenyahkan keinginannya untuk ribut dengan Kalvin yang memang menyebalkan. Sebagai teman Rania--gak temen-temen banget sih--Vero sangat penasaran dengan alasan abangnya Mahesa, kenapa bisa sampai se-brengsek itu memutuskan perempuan sebaik Rania begitu saja.
"Dia cuma bilang, kalo jodoh nanti ketemu lagi," ungkap Mahesa, itu lah kalimat pendek yang diucap Okta setelah Mahesa memakinya panjang lebar.
"Dahlah, lagian, Bang Okta sama Rania tuh gak cocok menurut gue, Rania-nya kemudaan buat Bang Okta," Kalvin ikut nimbrung.
"Lah, usia itu cuma angka, Kal," sela Vero.
"Iya, tapi masalahnya Rania itu masih sekolah dan masih panjang banget perjalanannya sampe lulus kuliah. Gue terawang, hubungan mereka bakal banyak banget rintangannya kalo masih terus dipaksain bareng, ujung-ujungnya juga Bang Okta tar milih sama yang lebih dewasa," terang Kalvin.
"Sok cenayang banget lu."
"Udah banyak contohnya. Lo mah gitu doang gak kepikiran, cewek-cewek bocil kayak lo nih yang selalu gampang jadi korbannya."
"Itu namanya lo berburuk sangka sama hubungan orang. Gak semua cowok se-brengsek elo."
"Lah, kok, jadi gue yang brengsek."
Obrolan mereka membuat kepala Mahesa yang sudah pening jadi makin pening.
Saat merasakan ada sesuatu yang mendorong di dalam rongga hidungnya, Mahesa segera beranjak sembari menutupi hidung dengan lengan jaket.
.
Tidak sampai 10 menit, Mahesa kembali ke meja kantin. Dia tidak lagi memakai jaket. Seragam pendeknya memperlihatkan lebam-lebam di tangan putih pucatnya.
Vero melepaskan sweater yang dia pakai lalu melemparkan ke arah Mahesa.
"Eh, apa lo ngasih pinjem sweater ke temen gue? Gak usah pake yang itu, Ca, ada jaket gue di kelas," kata Kalvin.
Vero menghela napas, lelah dengan kesewotan sepupunya yang kekanak-kanakan.
"Orang-orang pada liriknya sekarang. Pake aja, Ca, gak akan kenapa-napa ini. Sewotan emang nih orang, resek," ucap Vero seraya melirik runcing Kalvin dengan ujung matanya.
Mahesa memakai sweater oversize Vero yang berwarna navy itu. Jaket miliknya yang berwarna putih tidak dia pakai lagi karena ujung tangannya terkena darah.
"Gak apa-apa lo, Ca?"
Kalvin memandang Mahesa dengan pandangan khawatir.
Mahesa menggeleng.
"Mau gue bikinin surat izin biar pulang aja?"
"Kita belom ada yang beli jajan."
Mahesa tidak menyahut tawaran Kalvin, dia melirik meja yang masih kosong. Ya, belum ada sebotol air pun di atas sana karena beberapa menit yang lalu booth-booth penjual makanan penuh dan ketiganya sedang malas berbaur.
KAMU SEDANG MEMBACA
A. C. E (OnGoing)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Layaknya api lilin yang rentan mati terembus angin.