PART 32

1.7K 272 23
                                    

"O-Okta... "

Mahesa sadar dia ada di mana. Ingin mengangkat tangannya untuk menyentuh Okta yang tengah berdiri di samping ranjang, dia butuh genggamannya. Tapi, semuanya, bahkan kelopak matanya terasa sangat berat. Matanya kemudian kembali tertutup, dengan tangan yang tidak sempat terangkat.

-

Yang terlihat saat matanya terbuka adalah sosok Mama Yuni.

Mata sayu Mahesa lalu mengedar ke sekeliling.

"Okta mana?" tanyanya.

Yuni mengusap rambutnya, membuat Mahesa seketika tersadar, sosok Okta yang tadi dia lihat pasti hanya sekadar bayangan dari keadaan antara sadar dan tidak sadar-nya.

"Nanti kalo kamu udah baikan Mama teleponin Okta, ya."

Mahesa menatap Yuni.

"Ca, nanti lagi kalo ada mimisan kasih tahu Mama, jangan malah dibawa tidur kayak gitu. Kamu sengaja, kan, dialasin selimut? Bukan mimisan pas tidur. Jangan kayak gitu, Ca, telepon Mama kalo kamu gak sanggup buat jalan ke kamar mandi. Tadi Mama panik banget lho, Papa Dika juga."

"Shahyan sama Fazan sama siapa?" tanya Mahesa, teringat kedua adik kecilnya itu. Kalau sampai mereka ditinggal karena dirinya, Mahesa akan merasa sangat bersalah karena telah menjadi kakak yang merepotkan.

"Mama baru ke sini. Tadi pagi kamu dibawa sama Papa Dika. Sekarang giliran Papa Dika yang pulang, udah ada Sus Ima juga di rumah," jelas Yuni.

Cukup melegakan kalau begitu ceritanya.

Mahesa merasakan tiupan yang membuat hidungnya geli. Dia menyentuh nasal kanul. Dorongan oksigen yang disalurkan dari alat itu selalu terasa aneh--tidak nyaman.

Yuni memegang tangan Mahesa yang akan melepaskan selang oksigennya secara mandiri. Yuni menurunkan tangan itu dan menggenggamnya.

"Ca, inget apa kata Mama, Okta pergi jangan dijadiin pikiran."

"Eca nggak--"

"Mama sering mergokin kamu bengong. Mata kamu itu gak akan bisa bohong, Ca. Orang lain bisa kamu bohongin, tapi Mama nggak. Makanya, Mama bebasin kamu maen, tadinya supaya kamu kehibur, tapi kamu sekali dibebasin malah bablas."

Yuni memegang sebelah tangan Mahesa itu dengan kedua tangannya. Bola matanya berpendar memandangi setiap bagian dari wajah Mahesa.

"Jelek banget bibirnya sampe putih gitu," kata Yuni saat pandangan matanya berhenti di bibir pucat Mahesa yang sekarang lumayan ada warna walaupun samar, terlihat lebih baik dibandingkan tadi pagi yang sangat pucat ditambah hiasan bercak darah yang mengering.

"Tangan kamu juga ngecilin deh, Ca, masa gedenya kalah sama adeknya. Semenjak ditinggal Okta, Mama perhatiin makan kamu jadi jelek."

Mahesa hanya menatap mamanya, terlalu lelah untuk menyahut.

"Fazan nungguin, kamu kemarin janjiin main bareng."

"Mau pulang, Ma."

"Iya, nanti, kalo kamunya udah segeran."

Tangan Mahesa yang Yuni usap-usap, hendak dia kecup, tapi Mahesa menarik pelan tangannya.

"Lipstick Mama nanti nempel," protesnya dengan suara yang masih terdengar sangat lemah.

Yuni mendecak pelan. "Mama lagi gak pake lisptick, ini cuma lipbalm. Sensitif banget kamu itu. Awas aja nanti kalo lagi pake lipstik, Mama ciumnya di pipi!"

Mahesa memajukan bibir sembari pelan-pelan menyembunyikan tangannya ke dalam selimut.

-
-

"Fajri."

A. C. E (OnGoing) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang