Saat Okta menarik tangannya, Mahesa terbangun, padahal dia terlihat sudah tertidur lelap.Okta tersenyum, masih sama seperti biasanya ternyata.
Okta menggenggam tangannya lagi, kelopak mata Mahesa perlahan kembali menurun, dan tangannya kembali membalas genggaman Okta. Entah jika sedang seperti ini dia dalam keadaan sadar atau mengigau. Kalau sudah begini, Okta harus menunggu sampai tangan Mahesa terlepas sendiri, jika tidak ingin membuat Mahesa terbangun lagi.
-
-Sudah dua hari Mama Yuni tidak di rumah, katanya mereka akan pulang lusa, tadinya pasangan pengantin baru itu akan menikmati waktu berdua dengan sedikit lebih lama--minimal lima hari atau satu minggu, tapi ternyata Yuni tidak bisa jauh dari Mahesa lebih dari tiga hari.
Saudaranya yang tersisa di rumah hanya mamanya Okta dan ketiga adiknya. Mahesa merasa sedikit canggung dengan Mama Okta, selain karena mereka memang jarang bertemu, juga karena obrolannya dengan Okta, yang tidak sengaja Mahesa dengar, entah kenapa itu membuatnya jadi merasa canggung setiap kali berhadapan dengan Salma--Mama Okta. Mahesa merasa tidak enak hati sudah menjadi orang yang memperberat langkah Okta--putranya Salma.
"Ikut berangkat bareng Okta, Sa?"
Mahesa yang sedang mengunyah sarapan, mengangguk.
"Belom dikasih izin bawa kendaraan sendiri?"
Mahesa menggeleng.
Mama Okta menghela napas.
"Bahaya, Ma, kalo Mahesa bawa kendaraan sendiri, dia juga belom bisa," Okta bersuara.
"Ya, kamu ajarin dong, Ta, biar bisa. Lagian, Yuni juga gak berubah-berubah masih aja segala dibatesin. Anaknya, kan, gak akan jadi anak kecil terus, cowok lagi. Nanti Tante bantu ngomong, Sa, ke Mama kamu. Kalo gak boleh motor, ya, mobil. Minimal kamu harus bisa salah satunya. Udah usia 17 ini, kalo udah lancar, langsung bisa bikin SIM," kata Salma.
"Mama Yuni banyak khawatirnya karena emang bahaya, Ma, buat Mahesa," Okta kembali menimpali.
"Yang penting hati-hati, apa bahayanya? Mahesa gak akan terus-terusan jadi anak rumahan, dia juga harus bisa bersosialisasi, gaul sama anak-anak sebayanya, apalagi bentar lagi udah mau jadi anak kuliahan, apa kata temen-temennya kalo cowok di usia segitu gak bisa apa-apa."
Mahesa hanya diam dan mendengarkan, tidak merasa tersindir sedikit pun, malah setuju dengan ucapan Mama Okta. Benar, kan, apa yang ada di benaknya, Mama Yuni memang terlalu membatasi. Dari Sekolah Dasar Mahesa sering kali jadi bahan olokan karena dianggap kayak anak perempuan yang kerjaannya cuma mendekam di kelas, tidak pernah ke lapangan dan pulang sekolah selalu dijemput menggunakan mobil.
"Mama gak akan paham perasaan Mama Yuni karena Mama gak ada di posisinya," tegas Okta.
"Yang Mama omongin itu Mahesa, Ta, bukan perasaan Yuni. Kalo ngomongin perasaan, ya, Mama juga seorang Ibu, punya perasaan yang sama. Tapi justru kalo Mama terlalu peduliin perasaan Mama, ngebatesin anak karena takut ini takut itu, awalnya emang itu keliatan gambaran kasih sayang seorang ibu, tapi pas anaknya udah tumbuh udah gede dan jadi banyak takutnya terus jadinya diolok-olokin temen-temennya karena penakut, kalo udah gitu, segala pembatesan yang menggambarkan kasih sayang itu pada akhirnya bakal nyakitin perasaan anak juga."
Okta mendengarkan penuturan mamanya dengan tatapan lurus dan ada kilatan kaca di matanya.
"Seorang ibu yang terlalu ngebebasin kayak Mama juga nyakitin hati anak. Mama ngelepas Okta di waktu Okta masih butuh Mama, untung aja ada Mama Yuni yang punya segala batasan yang bikin Okta ngerasa disayang," ungkap Okta.
KAMU SEDANG MEMBACA
A. C. E (OnGoing)
Novela Juvenil**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Layaknya api lilin yang rentan mati terembus angin.