15. Harus Makan

50 11 3
                                    

Setelah diperiksa secara keseluruhan oleh dokter yang menangani, Anna dikonfirmasi mengalami keracunan dan luka pukul yang untungnya tidak terlalu parah di bagian wajah. Meski meninggalkan bekas memar namun tidak separah itu.

Helen sejak tadi terus menunggu di sebelah ranjang Anna sambil menggenggam erat tangan sang adik. Hueningkai sedikit tersentuh melihat pemandangan itu, dia mendadak jadi tidak tega memanfaatkan Helen. “Dokter bilang adikmu bisa langsung pulang.” Ujar Hueningkai yang baru saja mengurusi administrasi pengobatan Anna. “Helen?” Panggilnya pada si pemilik nama karena Helen tak kunjung memberikan respon.

“Seharusnya aku menghabisi mereka ...” Gumam Helen dengan kedua mata menatap kosong ke arah wajah Anna yang sedang tidur pulas. “Aku seharusnya tidak melepaskan mereka semua saat itu.” Sambungnya masih dengan suara lirih.

Hueningkai memalingkan wajahnya sejenak sambil menghela napas kasar. “Kau sudah makan?” Dia memilih untuk tidak menanggapi perkataan Helen barusan karena dirasa hanya akan membuat pikiran gadis itu semakin kacau. Hueningkai tahu pelaku yang sudah membuat Anna seperti ini musti dibalas, namun caranya juga harus tepat.

“Jika belum aku akan memesankan makanan untukmu. Kau bisa memakannya setelah kita sampai rumah.” Hueningkai terlihat sibuk dengan handphone di tangannya.

“Kak ...” Anna terbangun. Usai dibiarkan istirahat sebentar, akhirnya dia membuka mata kembali. Helen secara sigap menyingkirkan anakan rambut di wajah Anna lalu membantu adiknya bergerak mendudukkan tubuh. “Kak, ayo, kita pulang saja! Aku ingin tidur di rumah.” Pinta Anna dibalas anggukan sigap dari Helen.

“Baik. Mari kita pulang sekarang!” Katanya kemudian memapah Anna menuruni ranjang pasien sampai ke depan gedung rumah sakit.

Hueningkai membantu menghentikan taksi yang lewat untuk dinaiki Helen dan Anna karena tidak bisa membawa dua orang sekaligus dengan hanya menggunakan motor. Terlebih angin malam juga tidak terlalu bagus untuk Anna.

+×+

Ceklek

Pintu kamar Anna kini telah ditutup, Helen keluar dengan seribu penyesalan dalam dirinya. Di depan kamar sang adik, dia berjongkok lesu. Tanpa sadar Helen pun menangis lagi. Sekuat tenaga dia tahan agar tak bersuara atau hal itu akan mengganggu waktu tidur Anna.

“Sudah puas menangis?”

Helen sontak mendongak. Mendengar suara seseorang memergokinya dalam keadaan begini jujur saja membuatnya benar-benar malu. Walau begitu, kenyataannya Helen tetap tak bisa menutupi sama sekali. Masa bodoh Hueningkai akan menertawakannya atau bagaimana. Namun Anna adalah saudara kandung satu-satunya Helen, dia tak akan sanggup melihat Anna terluka apalagi seperti sekarang.

“Makanan pesan antar sudah datang. Sebaiknya kau makan dulu.” Hueningkai memasukkan handphone–nya ke dalam saku celana. Helen menggeleng pelan lalu berdiri sembari menghapus air matanya.

“Kau saja yang makan. Aku sedang tidak nafsu.” Tolaknya hendak pergi tapi berhasil ditahan oleh Hueningkai.

“Kau harus makan.”

“Aku tidak nafsu. Untukmu saja.”

“Bukankah kau ingin menjaga Anna? Bagaimana kau bisa menjaga adikmu jika kau sakit nanti?” Hueningkai berusaha membujuk agar Helen mau mengisi perutnya. Karena dia tahu, sejak pulang sekolah sampai tengah malam gadis itu akan bekerja, entah apakah sempat makan malam atau tidak.

“Aku tidak nafsu ...” Helen masih pada rasa bersalahnya, oleh karena itu dia jadi tidak bersemangat melakukan apa-apa.

Mendengar jawaban Helen, Hueningkai pun mendecak pelan. Sial! Kalau kondisi Helen semakin drop, proses pengambilan bukti pembulian Bahiyyih akan membutuhkan lebih banyak waktu. Dia tidak bisa membiarkannya.

“Kau ingin aku membopongmu ke ruang makan, atau kusuapi di sini?” Ancam Hueningkai sukses mengundang ekspresi kaget dari si lawan bicara. Tentu saja ucapannya tadi tidak sungguh-sungguh. Itu hanya gertakan saja.

Mata Helen mengedip berulang kali karena ucapan Hueningkai. Di satu sisi dia bingung, di sisi lain dia tidak menginginkan satu pun dari dua opsi tersebut. “A–apa?” Tanyanya terbata.

“Aku tahu kau belum makan malam. Kau pikir siapa yang akan kesulitan jika kau dan Anna sakit bersamaan? Ya, Aku. Aku tidak ingin disibukkan dengan mengurusi kalian berdua,” balas Hueningkai berhasil membuat Helen jadi merasa tidak enak. “Jika kau masih punya rasa sungkan, sebaiknya isi perutmu sebelum tidur.” Sambung laki-laki itu kemudian pergi ke ruang makan meninggalkan Helen yang masih tertegun di depan kamar Anna.

Setelah memikirkan baik-baik ucapan Hueningkai, sepertinya dia benar. Berhubung Helen masih diijinkan tinggal di rumahnya, sudah patut Helen menurut dan tidak menambah beban lagi bagi si pemilik rumah, bukan?

Helen berjalan pelan menuju dapur dan mendapati banyak makanan sudah tersedia di atas meja makan. Hueningkai melirik kedatangan Helen sambil menyantap pizza di tangannya. Helen duduk perlahan pada salah satu kursi dengan pandangan tak lepas dari Hueningkai di hadapan. Karena tatapan laki-laki itu yang terus tertuju padanya, membuat Helen jadi merasa sedikit kikuk.

“Selamat makan ...” Helen berkata namun suaranya sangat pelan. Seolah dia ragu tapi terpaksa harus melakukannya.

Pandangan Hueningkai tak lepas sama sekali dari Helen yang kini tampak mengambil satu persatu makanan yang hendak dimakan. Bukan apa-apa, dia hanya bermaksud memastikan kalau Helen benar-benar makan.

~~~

Ceklek

Orang yang tengah duduk merenung di atas kasur menoleh usai mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Helen adalah si pelaku, dia tersenyum kecil sebelum berjalan masuk ke kamar Anna dan duduk di pinggir ranjangnya.

“Kau sudah bangun ... Mau sarapan sekarang?” Tanya Helen bersamaan dengan mata yang sayu dan sedih menatap Anna.

Menanggapi pertanyaan itu, Anna menggeleng pelan, “Aku bisa makan sendiri nanti. Kakak berangkat sekolah saja.” Balasnya.

“Aku ingin menemanimu di sini.”

“Tidak. Aku akan baik-baik saja di sini. Kakak harus tetap berangkat sekolah.”

“Tapi Anna—”

“Kak ... Tidak usah khawatir. Mereka tidak akan tahu kita tinggal di sini.”

Perkataan Helen tercekat karena Anna memintanya tetap berangkat sekolah bagaimanapun keadaan gadis itu. Di waktu bersamaan dia melihat Hueningkai yang datang untuk meniliki kondisi Anna pagi ini.

“Kau sudah merasa baikan?” Hueningkai menyandarkan tubuhnya di pintu kamar. Anna mengangguk pelan lalu menyentuh tangan Helen agar sang kakak cepat-cepat berangkat ke sekolah. Meski sedikit ragu tapi Helen akhirnya menuruti. Dia melangkah keluar dari kamar Anna sambil sesekali menoleh lagi ke arah adiknya seperti enggan jika harus pergi.

Kepala Anna melongok ke luar kamarnya, mencoba memastikan kalau Helen sudah benar-benar tidak ada di sekitar. “Kak Kai, tolong bantu aku jaga kak Helen. Pastikan dia baik-baik saja saat pergi ke sekolah.” Pinta Anna, berharap Hueningkai mau membantunya menjaga Helen.

Yang dimintai bantuan tampak hanya diam menanggapi perkataan Anna. Dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku, Hueningkai menunduk setelah menghela napas panjang. “Sarapan ada di dalam kulkas.” Balasnya tidak menjawab permintaan Anna. Entah dia menolak atau menyetujuinya, Hueningkai malah langsung pergi begitu saja.

























To be continue
ෆ Duality : The Revenge

Duality : The Revenge [Hueningkai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang