17. Forehead Kiss

117 11 15
                                    

“Dia merasa semua perempuan menyukai pacarnya. Hhh ... Menggelikan.”

“Apalagi soal Bahiyyih, bukankah menurutmu dia benar-benar keterlaluan?”

“Baguslah Jay memutuskannya.”

Tuk

EKHEMM! Wah! Sepertinya ada pembicaraan menarik. Boleh aku bergabung?”

Kehadiran Helen sukses menarik perhatian dua gadis yang tadinya sedang asik bergosip. Mina dan Jihan buru-buru mengatur ekspresi mereka menjadi biasa lagi, mencoba tetap terlihat santai seolah tak ada pembicaraan apapun tadi. Walau tak dapat dipungkiri mereka sebenarnya kaget.

Helen melangkah sedikit lebih dekat pada Mina dan Jihan sambil terkekeh. “Membicarakan orang lain menyenangkan, bukan? Kupikir aku tertarik dengan topik yang sedang kalian bahas.” Ujarnya.

“A–apa? Membicarakan apa maksudmu?” Jihan berusaha mengelak. Dia tertawa miring dan terlihat sekali ingin menghiraukan Helen.

Menanggapi hal tersebut, Helen tertawa senang. “Ah ... Tidak usah gugup begitu. Lagipula aku sudah merekamnya.” Dia membalas dengan nada santai lalu memutar video pembicaraan Mina dan Jihan dari handphone–nya.

Sontak Mina dan Jihan menoleh pada Helen. Terlukis raut panik di wajah keduanya. “Merekam apa maksud—”

Belum sempat Jihan bertanya, Helen sudah lebih dulu memotong ucapannya. “Tenang saja. Aku tidak akan membocorkan pembicaraan kalian pada Rachel, tapi dengan satu syarat.” Ekspresi Helen berubah tegas. “Bawakan aku ponsel Jo Yeo Reum dan Lim Rachel.”

+×+

Insiden semalam berhasil membuat si kambing hitam merasa frustasi. Jay mendadak jadi pendiam padahal hari ini teman-temannya datang berkunjung. Jake melirik sekilas sang kawan yang sejak tadi melamun sedangkan dia dan Sunghoon sibuk bermain billiard.

“Kau masih memikirkannya?” Celetuk Sunghoon usai dia mengamati Jake yang sedang melihat Jay termenung di sofa. “Kau jadi aneh setelah hari itu. Kau tertarik padanya?” Sunghoon memundurkan langkah lalu duduk pada meja tepat di belakang sembari menunggu giliran main.

Tak!

Jake bergeser sedikit ke arah lain usai berhasil memasukkan satu bola billiard. “Menurutku dia tertarik karena perempuan itu berani menantang. Iya, ‘kan, Jay?” Sahutnya.

“Aku menyukainya.”

Tiba-tiba saja Jay berkata demikian. Masih dengan ekspresi datar dan mata yang kosong, ucapannya barusan tentu disambut pandangan aneh dari Jake dan Sunghoon yang mendengar.

“Entahlah ... Aku hanya berpikir dia menarik. Membuatku ingin menggenggamnya lebih dekat.” Laki-laki itu tertawa sendiri.

Jake tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Jay jadi aneh dalam beberapa hari hanya karena Helen. “Oh–ohh? ... Kau bercanda, ‘kan? Tidak mung—” Dia pikir Jay hanya asal bicara dan tidak serius sama sekali akan ucapannya tadi, namun ketika yang bersangkutan melempar pandangan pada Jake, sorot matanya seolah telah menjawab.

“Kau serius? SUNGGUH?!” Jake masih tidak menyangka. Tak jauh di belakangnya, Sunghoon hanya diam sembari memperhatikan wajah Jay. Senyum kecil yang terukir di bibir laki-laki itu setelah Jake bertanya memastikan, terasa agak aneh di benak Sunghoon.

Jay menegakkan tubuhnya kemudian mengambil handphone di atas meja. “Rachel ... Dia sengaja menjadikanku pelaku agar Helen salah paham. Bagaimana kalau ... aku memberinya pelajaran?” Laki-laki itu tersenyum lebar sambil menatap layar handphone di genggaman tangan. Merasa begitu antusias, karena dia tidak ingin kesalahpahaman ini berlarut lebih lama. Jay—dia harus segera memberitahu Helen siapa pelaku pemukulan Anna sebenarnya.

~~~

Helen dan Hueningkai akhirnya pulang setelah puas membolos dan melaksanakan rencana. Untung Mina dan Jihan berhasil diancam sehingga mereka menyetujui untuk bekerja sama dengan Helen.

Lim Rachel memang memiliki kekuasaan yang cukup besar sebagai anak dari keluarga berada hingga dia berhasil mengontrol para siswi di SMA Myungsei. Termasuk Mina dan Jihan yang mau tidak mau harus tunduk jika tidak ingin kehidupan sekolah mereka hancur begitu pun reputasi keluarga mereka. Karena di jaman sekarang ini, uang bisa mengendalikan segalanya.

“Kau ingin minum cola juga?”

Pintu kulkas terbuka sejak beberapa menit lalu tapi Helen masih diam sembari mengamati isinya. Padahal tidak ada yang menarik, bahkan minuman yang tersedia hanya cola dan susu. Seolah ada banyak opsi yang sulit dipilih, dia termenung untuk beberapa saat.

Hueningkai melirik punggung Helen selama beberapa detik lalu kembali fokus mengoles selai pada roti. “Terserah.”

Helen mendecih. Ditolehkannya kepala ke arah si lawan bicara di belakang. “Terserah? Jawabanmu seperti perempuan.” Dia ambil botol cola dari dalam kulkas beserta gelas di sebelah wastafel.

Hueningkai teringat kalau dia memiliki buah semangka yang belum dipotong sejak seminggu lalu. Setelah menutup wadah selai dan menaruh roti panggang ke atas piring, dia berjalan menuju ke arah kulkas. Helen tampak sibuk memilih camilan yang ada di dalam kulkas, hingga dia tak menyadari keberadaan Hueningkai di belakang. Di saat Helen berbalik badan usai mengambil sebungkus coklat, Hueningkai justru hendak mengambil semangka.

“Huening! Kau ma—akk!”

Kepala Helen seperti baru saja membentur sesuatu namun entah kenapa rasanya sangat aneh. Kala hal tersebut terjadi dia tentu langsung memejamkan mata kaget, namun beberapa saat kemudian, ketika membuka mata, Helen sukses dibuat terbelalak. Bagaimana tidak terasa aneh, dahinya membentur bibir Hueningkai.

Bukannya segera menyingkir, tubuh Helen malah mendadak kaku. Mulutnya pun membisu, dengan kepala yang mendongak dan mata tertuju pada si laki-laki di hadapan. Saking dekatnya, jarak wajah mereka mungkin tak sampai pada angka sepuluh senti.

Hueningkai membalas tatapan diam Helen dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Tidak tahu bagaimana perasaannya setelah kejadian tadi. Karena perbandingan tinggi di antara mereka, makannya dahi Helen bisa tersentuh mulut Hueningkai. “Tidak sengaja. Aku ingin mengambil semangka itu.” Ujar Hueningkai berhasil menyadarkan lamunan Helen.

Yang bersangkutan pun menoleh ke arah yang dilihat oleh Hueningkai untuk memastikan. Setelah itu buru-buru menjauh sembari memegang coklat dengan kedua tangan yang tanpa sadar sedikit gusar. Hueningkai menyadari reaksi canggung Helen namun dia memilih untuk hirau.

“Kau mau juga? Kalau iya, aku akan potongkan.” Tawar Hueningkai sambil memegang semangka di satu tangan, sedangkan tangannya yang lain berusaha meraih pisau.

Helen mengedipkan mata berulang kali lalu berjalan menuju wastafel untuk mengambil botol cola dan gelas. “Yah ... Boleh.” Dia menjawab pelan.

Hawa di antara keduanya tiba-tiba jadi canggung. Ah, tidak! Sebenarnya yang menyebabkan adalah Helen. Dia seakan bungkam padahal Hueningkai tak berpikir lain-lain soal kejadian tadi.

Hueningkai meletakkan sepiring semangka yang sudah dia potong ke pada Helen. “Sama-sama.” Katanya menjawab ucapan terima kasih gadis itu sebelum yang bersangkutan mengucapkannya.

Helen memberikan segelas cola yang memang sudah dia siapkan untuk Hueningkai sambil menggigit bibir. “Terima kasih. Ah, ini ...” Dia mengambil piring yang di atasnya sudah tertata rapi semangka dengan potongan segitiga.

Hueningkai melihat Helen sekilas sembari mengambil gelas cola sebelum akhirnya pergi. Seperti biasa, laki-laki itu masih tak banyak bicara. Kadang Helen pun heran, apa yang membuat Hueningkai begitu enggan membuka mulut walau hanya membalas sepatah dua patah kata.

“Cho Helen, ada apa denganmu?” Helen tak tahan untuk tidak menggerutui diri sendiri. Merasa overthinking pasal ciuman dahi tidak disengaja antara dia dan Hueningkai, kini dadanya malah semakin berdetak kencang. “Apa-apaan ini? Kenapa aku gemetar begini?” Kesalnya.






































To be continue
ෆ Duality : The Revenge ෆ

Duality : The Revenge [Hueningkai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang