“AYO! AYO!!”
“Hajar dia! Hajar!!”
“Pukul dia Huening!”
“Seonhoo, semangat!!!”
Buagh!
Bugh!
Seperti biasa, ketika hari libur rutinitas Hueningkai yaitu bertarung di atas ring. Berkeringat dan saling memukul untuk mendapatkan uang. Sebenarnya bukan berarti Hueningkai kekurangan uang, melainkan tinju adalah hobi yang sudah lama dia tekuni.
“Argghhh! Aku menyerah! Aku menyerah!”
Dug! Dug! Dug! Dug!
Saat si lawan akhirnya berkata ‘menyerah’, secara otomatis Hueningkai pun menang. Wasit berusaha menghentikan pertarungan mereka diikuti suara pluit panjang tanda pertandingan telah berakhir. Hueningkai mencoba mengatur napas sambil perlahan berdiri usai wasit mengangkat salah satu tangannya. Di waktu tersebut pula seluruh penonton jadi berteriak keras. Mereka yang mendukung Hueningkai sudah pasti girang dan bangga.
.
.
.Jay memasuki markas pertandingan tinju favorit Hueningkai bersama dua temannya, Sunghoon dan Jake. Setelah mencaritahu pasal laki-laki itu, sudah lama dia tertarik untuk duel satu lawan satu.
Bibir Jay tampak menarik senyum miring ketika mengamati sekeliling markas tinju yang dipenuhi banyak pria dan beberapa wanita. Kedua matanya mencari ke sana ke mari keberadaan Hueningkai di antara banyak manusia di tempat itu. Sampai akhirnya Jay melihat si objek tengah beristirahat di dekat ring tinju sambil meneguk sebotol air.
Jay berjalan pelan menghampiri Hueningkai sedangkan Jake dan Sunghoon menunggu tak jauh dari posisinya. Mereka berusaha berbaur dengan sekitar namun tetap sambil mengawasi.
Ekspresi Hueningkai lantas berubah setelah mendapati kedatangan Jay dengan senyum di sudut bibir laki-laki itu. “Bertarung lalu menang, aku salut denganmu.” Jay menolehkan wajahnya. Dia berbicara sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Kau masih SMA tapi sudah bisa memenangkan pertandingan seperti ini.” Sambung Jay.
Hueningkai masih enggan menjawab meski tahu pelaku pembulian adiknya ada di depan mata. Jay mendatanginya lebih dulu, hal ini sudah dapat memastikan bahwa identitas Hueningkai mungkin saja telah diketahui atau malah sudah diketahui oleh yang bersangkutan.
“Kau mengenalku?” Hueningkai menyampirkan handuk kecil di tangannya ke pundak. Walau kemungkinan besar Jay sudah tahu siapa dirinya, namun Hueningkai tetap harus berpura-pura tidak tahu.
Jay terkekeh menanggapi pertanyaan Hueningkai. “Ahh ... Ini sangat lucu.” Gumamnya. “Langsung ke intinya saja, aku ingin melawanmu.” Jelasnya dibalas tatapan bingung dari Hueningkai.
“Tapi ada perjanjian di balik pertandingan kita,” Jay melangkahkan kakinya maju sedikit lebih dekat pada Hueningkai. “Kalau aku menang, kau jauhi Cho Helen. Bagaimana?”
Sontak Hueningkai semakin dibuat heran karena permintaan Jay yang siapa sangka melibatkan Helen dalam perjanjian tanding mereka. “Kenapa kau ingin aku menjauhinya?” Tanya Hueningkai.
“Yahh ... Aku hanya tidak suka kau ada di dekatnya.”
“Jika aku menolak?”
“Menolak? Jangan bilang kau menyukainya? Hahahah ... Sial. Ini jadi semakin menarik?”
Hueningkai mungkin tidak pernah berpikiran untuk menyukai Helen, namun dia tidak bisa membiarkan Jay terus berada di dekat gadis itu. “Suka atau tidak bukan urusanmu. Lagi pula aku tidak mau duel dengan perjanjian konyol seperti itu.” Sanggah Hueningkai.
Jay sukses dibuat tertawa terbahak-bahak karena jawabannya. “Kau sombong juga ternyata, atau takut?” Sarkasnya berusaha membuat Hueningkai terpancing emosi lalu mengiyakan.
“HUENING!”
Saat keduanya masih saling diam, terdengar panggilan dari Yoshi dari depan ruang ganti. Laki-laki itu melambaikan tangan meminta Hueningkai untuk segera datang seperti ada sesuatu yang penting. Hueningkai menoleh sekilas pada Yoshi kemudian kembali menatap Jay. “Bukan takut, hanya saja memang tidak minat.” Tegasnya. Usai menjawab begitu, dia pergi begitu saja.
Jay tersenyum miring. Kini dia merasa seolah diabaikan dan diremehkan. Walau di dalam benak Jay sebenarnya emosi, namun pada penolakan Hueningkai justru membuatnya semakin tertarik. Dipandangnya punggung si objek dengan fokus sebelum menghampiri Jake dan Sunghoon yang sejak tadi mengawasi dari jauh.
“Ayo, pergi!” Ajaknya.
+×+
“Terima kasih.”
“Iya ...”
Senyum di bibir Helen perlahan hilang seiring keluarnya pelanggan yang baru saja berbelanja. Hari ini dia kebagian shift pagi sampai sore, tentu karena sedang akhir pekan. Sambil menata beberapa barang di belakang meja kasir, suara pintu supermarket terdengar terbuka. Buru-buru Helen berbalik badan untuk sekadar memberi salam pada pelanggan karena hal itu termasuk dalam etika kerja.
“Selamat dat—” Ucapan Helen tersendat kala melihat pelanggan yang barusan masuk.
Seorang laki-laki baru saja meletakkan permen mentos di meja kasir. “Kenapa kau selalu bekerja?” Tanya si lelaki.
Helen hanya menghela napas lalu mengambil barcode scanner. “Totalnya 600.” Dia menghiraukan yang bersangkutan.
“Helen, jangan lupa bereskan kardus-kardus di belakang setelah selesai bekerja. Sebentar lagi sudah jam tiga sore.”
“Baiklah.”
Sunghoon terdiam sejenak. Pandangannya menatap fokus ke arah pria yang barusan memanggil Helen dan kembali pada gadis di hadapannya lagi.
“Kau tidak akan membayar?” Tegur Helen usai Sunghoon tak segera menyerahkan uang untuk membayar belanjaannya.
Dapat Sunghoon rasakan aura mata yang tak mengenakan dari Helen setelah tahu siapa dia sebenarnya. “Kami tidak tahu soal apa yang terjadi pada Anna,” tiba-tiba Sunghoon berkata demikian entah apa motifnya.
Berhasil membuat Helen seketika tersenyum kecut. “Mana ada maling yang mengaku.”
“Tapi aku bukan maling.” Sunghoon tetap mengelak.
“Itu hanya ibarat. Ck, sebenarnya kau mau bayar tidak? Kalau tidak, pergi dari hadapanku! Kau sangat mengganggu pemandangan.” Usir Helen.
“Kau menuduh kami yang melakukan pemukulan pada adikmu, menurutmu aku akan terima?” Sunghoon masih bersikeras untuk membahas masalah ini.
“Lalu menurutmu siapa? Siapa lagi yang punya dendam padaku dan Anna selain kalian?” Tuduh Helen tetap yakin pada feeling–nya.
Entah apa sebabnya, Sunghoon tiba-tiba tertawa sendiri. Sambil merogoh saku celana, dia mengeluarkan uang dan menyerahkannya pada Helen. “Kalau pikiranmu salah, bagaimana?” Tanyanya dengan senyum lebar di wajah. Sambil menunggu Helen menjawab, dia mengambil payung di rak belanja sebelahnya.
Helen hanya diam sembari memandangi perbuatan Sunghoon dengan raut tidak mengerti. Laki-laki itu hanya membeli permen mentos tapi mengeluarkan uang nominal cukup besar yang tak sebanding.
Sunghoon meletakkan payung tadi ke atas meja kasir lalu mengambil permen mentos miliknya. “Di luar mendung, kurasa kau akan membutuhkannya.” Ujar Sunghoon kemudian pergi dari supermarket begitu saja padahal Helen belum sempat memberi kembalian dan struk belanjanya.
“Apa? YHA! Kembalian—” Helen mengulum bibirnya bingung. Dilihatnya payung berwarna biru yang masih terbungkus plastik di atas meja kasir. Helen tidak mengerti kenapa Sunghoon bersikap begini alih-alih mengganggu seperti temannya yang lain. “Apa-apaan, sih, dia ...” Gumam Helen pelan.
To be continue
ෆ Duality : The Revenge ෆ

KAMU SEDANG MEMBACA
Duality : The Revenge [Hueningkai]✓
Fiksi Penggemar(Ft. JaSuKe Enhypen) Seorang murid pindahan datang mengambil alih beberapa fraksi dan membuat perpecahan di SMA Taerang. TXT Fanfiction/alternative universe, O3 Juli 2023 © 𝗰𝗯𝗴𝘄𝗶𝗳𝗲