TE | Chapter 16

211 11 0
                                    

Disa keluar dari taxi yang ditumpanginya. Kedua kakinya mulai melangkah melewati gerbang besar. Di tangan kanannya, terdapat sebuah kresek cukup besar yang berisi beberapa kotak donat beraneka rasa. Di balik gerbang yang Disa lewati, terdapat sebuah rumah berlantai 2 di mana rumah itu adalah rumah kedua orangtuanya. Satu jari Disa memencet bell yang berada disamping pintu. Terdengar sahutan dari arah dalam. Setelah 10 detik, pintu besar itu terbuka menampilkan sosok gadis Kecil dengan kaos dan celana pendek yang membungkus tububnya serta rambut panjang yang ia urai. Jangan lupakan bando yang melingkar indah di Kepalanya.

"Minggir lo, Bocil." Disa hendak melangkah masuk, namun badan Nawa menghalanginya.

"Nggak!"

"Ck, gue lagi capek co! Minggir napa!" Kesal Disa mulai kehabisan kesabaran.

Nawa tetap tidak mau menuruti ucapan kakak-nya itu. Gadis berumur 12 tahun itu terus menghadang langkah Disa yang terus mencoba melangkah masuk.

"Lo mau gue tonjok!?" Habis sudah kesabaran cewek dengan rambut sebahu itu.

"Bilang dulu kalo Jungkook ganteng!" Perintah Nawa dengan bersidekap dada.

"Jungkook ganteng,"

Disa berucap dengan air muka datar. Terselip nada terpaksa dari ucapannya. Tenaganya sudah habis, dan ia tidak mau berurusan dengan adik laknatnya yang selalu saja mencari gara-gara dengannya.

"Ngomongnya kayak gak ikhlas gitu...," Nawa menggerutu dengan mencebikkan bibirnya dan kedua pipi yang ia kembungkan.

"Apaansih! Sok imut banget," sewot Disa.

"Bodo!"

"Minggir gak lo!?"

"Nggak mau!"

"Terserah!"

Disa menabrak adiknya sehingga membuat Nawa terpental ke belakang dan terjatuh ke lantai. Tidak peduli dengan adiknya yang terjatuh, Disa terus melangkah karna ia sudah sangat lelah. Langkah Disa terhenti saat mendengar tangisan Nawa. Disa membalikkan badannya menatap Nawa yang terduduk di atas lantai.

"Lo nangis, cil?" Disa terkekeh.

"Yaelah, gitu doang Nlnangis. Lemah!"

Disa kembali melangkahkan kakinya. Nawa yang dibilang lemah oleh kakaknya segera berdiri dan berlari mendahului Disa. Nawa menemui kedua orangtuanya yang kebetulan berada di ruang tamu.

"Mama ... kak Disa dorong Nawa...."

Adu gadis kecil itu kepada Nesya. Kebetulan di samping Nesya ada Darwin, suaminya. Nesya memijat pelipisnya lelah. Wanita paruh Baya itu benar-benar sudah ingin menyerah dengan kedua anak gadisnya yang super unik.

"Disa, jangan gituin adeknya, minta maaf cepet," suruh Darwin.

"Gamau, Pa. Nawa tadi yang mulai duluan...," ujar Disa. Mendengar itu, Nawa semakin mengencangkan tangisannya. Disa merotasikan bola matanya malas.

"Disa, kenapa kamu selalu gak mau kalah sama Nawa? Mama udah capek liat kamu tiap hari jahilin adeknya. Sekali-kali kamu ngalah, kek. Cuman disuruh minta maaf aja kamu gamau? Minta maaf gabakal bikin harga diri kamu rendah, Dis!" Nesya berbicara dengan tegas kepada anak sulungnya.

Disa bergeming di tempat. Entah kenapa kedua bibirnya mendadak terkatup dengan rapat, lidahnya terasa kelu. Kepala gadis itu menunduk tak mampu menatap kedua bola mata Mama-nya. Hati kecilnya seolah sedang teriris, padahal Nesya mengucapkan kalimat itu tanpa adanya sedikit bentakan dalam nadanya.

"Disa, kamu denger gak, apa yang dibilangin sama Mama kamu?" Darwin bertanya menatap anak sulungnya.

"Denger," cewek dengan rambut sebahu itu menghela napasnya.

Transmigrasi ErlanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang