Bab 37

1.9K 248 37
                                    

Seharusnya, aku sangat marah kepada Duncan. Seharusnya memang begitu, kecuali fakta bahwa akulah yang menyodorkan diri dan mulai menciumnya terlebih dahulu.

Tetapi, tetap saja tidak seharusnya Duncan malah menyambutnya dan malah memberikan ciuman dalam yang membuatku, astaga!

"Cla, apa kau sakit? Wajahmu memerah." Arthur bertanya dengan khawatir.

Aku berdeham sebelum menjawab. "Aku baik-baik saja. Bukankah cuacanya agak panas di sini?"

Arthur menaikkan sebelah alisnya. Menatap ke arah jendela yang terbuka dan terlihat hujan besar yang disertai petir sedang terjadi di luar sana. Oh crap! "Kurasa kau memang sedang sakit, aku akan memanggil dokter." Katanya lagi sambil bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkanku.

Aku hanya melengos. Dan ketika menyadari bahwa tanganku sedang menyentuh bibirku, aku semakin kesal. Astaga! Itu kan hanya sebuah ciuman! Dan benar saja, ciuman itu memang membuat Baginda sepertinya tidak lagi tertarik kepadaku dan mulai membicarakan mengenai percepatan proses pengadopsian Valerie di keluarga Marquest of Nottingham.

Bukankah itu bagus?

Setidaknya, masalah Valerie dan putra mahkota yang sepertinya sebentar lagi akan bertunangan akan sesuai dengan salah satu cerita alur dalam game Cherry Blossom. Hal itu memang harus terjadi dan sekarang...

Aku mengehela napas panjang. Duduk di atas ranjangku dan mengambil cairan yang diberikan oleh Sang Penyihir Agung padaku. Aku tahu bahwa kesempatannya hanya sekali. Beliau tidak mengatakan bahwa aku akan bisa kembali ketempatku yang semestinya jika aku meminumnya. Beliau hanya mengatakan bahwa aku akan mendapatkan informasi yang selama ini aku cari. Dan tentunya, akan ada konsekuensinya jika aku meminum cairan ini.

Aku menghitung sampai sepuluh dan tidak menemukan Arthur yang kembali maupun Nancy yang biasanya datang untuk membantuku. Hujan bahkan masih turun dengan derasnya dan terasa tidak akan berakhir di malam ini.

Jika saja aku berada di kehidupanku yang lama, saat ini aku pasti khawatir dengan beberapa jalanan yang akan tergenang air dan membuat perjalananku dari tempat tinggalku hingga ke kantor tempatku bekerja menjadi macet.

Aku meringis. Sungguhkan aku benar-benar ingin kembali ke kehidupan menyedihkan itu? Tentu saja tidak. Namun hidup tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Renata Indra dan Clara Evolet juga hal yang sangat menyiksa.

Aku lalu membuka sedikit pintu, menemukan penjaga yang berjaga di depan dan mengatakan bahwa aku akan beristirahat sehingga Nancy ataupun orang lain tidak diperkenankan masuk. Aku lalu memakan baju tidurku. Membuat posisi nyaman untukku tidur sebelum akhirnya cairan itu melewati tenggorokanku dan membuatku mengantuk dengan cepat.

***


Saat itu hujan juga turun dengan deras. Aku menatap gundukan tanah yang masih basah dengan memakai payung pink kesayanganku. Hadiah ulang tahun terakhir yang kuterima dari ayahku. Mereka bilang sekarang aku yatim piatu. Tidak lagi memiliki orang tua.

Untuk anak kecil yang sensitif dan perasa, aku tahu bahwa paman dan bibiku melihatku dengan wajah kasihan namun juga dengan perasaan yang tidak lebih dari kewajiban untuk membesarkan satu beban lagi di kehidupan rumah tangga mereka yang pas-pasan.

"Nak, ayo kita pergi." Pamanku menggandengku. Setengah menyeretku untuk pergi meninggalkan pemakaman yang semakin sepi karena hujan yang masih turun. Aku ingat setelahnya, aku sakit selama beberapa hari hingga dirawat di rumah sakit.

"Ada apa dengan Clara? Mengapa dia terus menangis dan tidak kunjung bangun?" Aku menggeliat di tempat tidurku. Merasa dadaku begitu sakit dan sesak. Aku merasa kepalaku berat dan mataku tarasa perih.

"Dia membuka matanya." 

Tangan lembut lalu mengusap kepalaku. Terasa hangat sehingga membuatku teringat kepada kedua orangtuaku yang telah tiada. Netra berwarna cokelat dan rambut senada terlihat di kepalaku. Membuatku kemudian menangis lagi karena bukan sosok orang tua yang kutahu depanku.

"Clara, bagian mana yang sakit? Bisakah kau katakan kepada Ayah, huh?" Suara lembut seseorang lalu terdengar. 

"Bukan. Kau bukan ayahku. Aku mau ayahku. Aku mau ibuku."

"Ibu di sini, Clara." Suara bergetar terdengar. Penuh rasa takut dan kalut yang bahkan olehku saja terasa dengan jelas.

Aku menggeleng dengan keras. "Bukan! Kau bukan ibuku. Aku rindu Ibu. Aku mau Ayah. Ayah... Ibu..." Aku meronta sementara kedua orang asing depanku terlihat bingung dan kalut.

"Apa kau tahu apa yang terjadi dengan cucuku?" Suara sayup-sayup terdengar. Kemudian aku merasa hangat dengan adanya cahaya jingga yang kemudian menyelimuti tubuhku.

"Tidak apa-apa, Nak. Semua akan baik-baik saja." 

Badanku lalu terasa ringan. Seolah aku yang sekarang sedang terbang dan melihat cuplikan film dokumenter di depanku. Aku kemudian terlempar di sudut ruangan gelap. Dengan dua layar lebar yang saling bersisian satu sama lain. Kehidupan Renata Indra dan kehidupan Clara Evolet terlihat jelas. Dan anehnya, aku bisa merasakan semua yang hal yang terjadi kepada dua orang itu.

"Cucumu akan baik-baik saja."

"Kau bilang bahwa jiwanya tidak sempurna. Bagaimana itu bisa dikatakan baik-baik saja?!" Aku melihat sosok Kakek Clara terlihat putus asa. Sementara lawan bicaranya yang adalah Kakek Max yang juga penyihir agung terlihat tenang.

"Waktu akan membawa kepingan jiwanya kembali. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Kita hanya bisa menunggu."

"Sampai kapan?! Bukan sekali atau dua kali Clara terlihat menderita!" Kakek Clara berteriak. Kemudian seolah menyadari bahwa kemarahannya tidak sepatutnya diarahkan kepada temannya. Dia lalu meminta maaf dengan tulus.

"Jika Max yang berada di posisi cucumu, aku juga pasti akan sefrustasi dirimu."

Bayangan kedua kakek itu lalu mengabur. Seolah aku tidak diijinkan lagi untuk mendengar percakapan mereka.  

Tubuhku kembali terasa ringan. Aku seolah berpindah tempat di sebuah ruangan tanpa batas. Laut dan langit menjadi satu. Dan kemudian di depanku aku bisa melihat cermin tinggi yang membuatku tertarik seolah aku adalah ngengat yang tertarik dengan cahaya.

Aku menyentuh permukaan cermin itu dan kemudian, yang aku lihat bukanlah bayangan Renata Indra dengan rambut dan mata hitam, melainkan sosok kurus dengan rambut dan mata cokelat milik Clara Evolet.

"Kau?" Suaraku dan suara Clara saling tertindih. Seolah kami berdua adalah satu dan kesatuan dari kami membentuk dua karakter. "Apa yang-" Suara itu kembali bertindihan sehingga aku enggan untuk bersuara.

"Clara! Oh Clara... Kumohon, bangunlah..." Kabut tebal kemudian muncul. Seolah suara itu memanggilku sehingga tubuhku tidak lagi terasa ringan. 

Jika kau pernah merasakan mimpi terjatuh dan kemudian seluruh tubuhmu terasa terkejut, maka itu yang aku rasakan saat ini. Tubuhku terhentak dan kemudian kesadaranku kembali. Aku mengerjapkan mataku dan berada di kamar Clara sebelum aku tertidur.

Aku mengerjap dan menemukan -lagi-  Duncan berada di sisiku.

***


Secret of Villainous WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang