Bab 15

7.6K 1.2K 67
                                    

Sore ini begitu tenang tanpa gangguan Duncan yang sebelumnya selalu rajin menyambangi kediaman Clara. Setelah kejadian di mana aku dan Duncan melakukan latih tanding dengan berakhir kekalahanku, dia belum menemuiku lagi.

"Bukankah His Lordship sudah tidak kemari selama satu minggu?" Valerie bertanya setelah dia menyesap teh. Kami sedang duduk di taman yang berada di dalam kediaman Valerie. Dia yang mengajakku seolah dirinya adalah pemilik rumah Clara.

Aku tidak keberatan dengan sikapnya. Karena toh, tidak lama lagi dia akan hengkang dari rumah ini dan aku akan kembali dengan kehidupan monoton Clara Evolet.

"Dia sibuk." Kataku singkat. Lagipula aku senang karena dia tidak datang, tambahku dalam hati. Aku mendongak dan melihat langit biru dengan semburat jingga dan awan-awan cantik yang pasti tidak bisa kulihat di ibukota kehidupanku sebelumnya. Teknologinya memang sudah maju, begitu pula polusi yang sebanding dengan kemajuan teknologi tidak memungkinkan aku untuk menikmati langit menakjubkan.

"Valerie, apa kau pernah bertemu dengan Saintess?" tanyaku acak. 

Wajah Clara memerah. Sepertinya dia malu meski tujuan dari apa yang aku tanyakan bukannya untuk membuatnya merasa kecil hati. Semua penyihir memang bertemu Saintess ketika kebangkitan atau bakatnya mulai terlihat. Semua penyihir yang ada sampai saat ini adalah bangsawan. Dan sejauh ini, hanya bangsawan lah yang mendapatkan berkat dari sang Saintess.

"Aku harap suatu hari aku bisa bertemu dengan beliau."

Aku menahan lidahku untuk mengajaknya ke gereja mengingat janjiku dengan sang saintess bahwa aku akan datang seorang diri. Tentu saja aku tidak bisa membawa Valerie. Bahkan sampai saat ini aku masih berpikir bagaimana caranya aku pergi tanpa diketahui.

Gereja yang saintess maksudkan berada di pusat kota. Sementara membutuhkan satu hari penuh perjalanan untuk sampai di sana. Membutuhkan waktu dua hari untuk pulang pergi dan aku juga membutuhkan kendaraan.

"Yah, kuharap suatu hari kau bisa bertemu dengannya." Ucapku tulus. Aku tidak mengingat ada bagian Valerie bertemu dengan sang saintess selama aku bermain game Cherry Blossom. 

"Apa kau menikmati pelajaran yang kau ikuti, Valerie?" Tanyaku lagi. Tanganku bergerak untuk mengambil kue-kue kecil yang menjadi pelengkap minum teh kali ini. Aku harus bersyukur bahwa aku bisa menikmati acara minum teh ala bangsawan ini. 

"Tentu. Aku sangat bersyukur dengan semua kebaikan yang kalian berikan kepadaku. Aku tidak tahu bagaimana bisa membalasnya."

Hanya jangan biarkan para priamu membunuhku, ujarku dalam hati.

"Kau berhak menerimanya. Bagaimana kami bisa membalas kebaikan dan keberanianmu yang menyelamatkan ibuku dari para penjahat itu?"

Wajah Valerie kembali memerah karena malu. Kulit putihnya yang bersemu mengingatkanku bahwa pemilihan nama Cherry Blossom salah satunya dikarenakan oleh penampilan Valerie yang sedang bersemu seperti ini. Pembuat game ini terlalu mendewakan Valerie mentang-mentang dia adalah tokoh utama.

"Kau sangat baik, Clara. Aku tidak pernah bertemu dengan bangsawan sepertimu."

"Yeah. Para bangsawan terkadang memang bisa sangat menyebalkan." Aku merujuk sikap Duncan yang seolah merendahkan manusia manapun kecuali dirinya.

"Kuharap aku tidak masuk ke dalam golongan menyebalkan yang kau maksudkan, My Lady."

Aku membeku mendengar suara berat di belakangku. Karena siapa lagi pemiliknya kalau bukan Duncan?

"Selamat datang, My Lord. Kami merasa tersanjung jika Anda mau bergabung bersama kami," Ajak Valerie dengan wajah berharap yang tidak dia tutupi. Sepertinya Valerie terpesona oleh ketampanan Duncan meski seharusnya yang terjadi adalah sebaliknya.

"Sebuah kesenangan untuk bergabung dengan kalian."

Aku mencibir dalam diam.

"Jika saja Lady Clara tidak berkeberatan dengan adanya kehadiranku di sini."

Aku tahu dia sedang berusaha menyindirku. Tentu saja aku sangat tidak suka jika Duncan ada di sini. Tetapi, etika bangsawan melarang Clara menyuarakan pikiran bebas Renata Indra.

"Saya merasa senang jika Anda bergabung bersama kami, My Lord." Ujarku dengan senyum selebar yang bisa kulakukan.

Duncan lalu mengambil tempat duduk di antara aku dan Valerie. Kurasa, aku akan membiarkannya saja. Jika Duncan terkena panah asmara Valerie, itu bahkan lebih bagus lagi. Jadi yang kulakukan selanjutnya adalah makan dan makan.

Aku tidak mempedulikan keakraban yang Valerie tunjukkan. Mereka bahkan tertawa-tawa yang bagiku seperti backsound tidak penting sementara aku menikmati sandwich isi tuna yang super lezat buatan koki keluarga Evolet. Situasi kali ini mengingatkanku ketika aku berada di kehidupan Renata Indra di mana aku menyalakan televisi hanya untuk membuat kamar kosan tidak terlalu sunyi dengan aku yang memakan pecel ayam super lezat yang kubeli di warung pinggir jalan.

"Aku tidak tahu bahwa kau selapar itu. Semua makanan itu akan menganggu waktu makan malammu." Celetukan Duncan membuat tanganku yang akan mengambil scones berhenti. 

"Perutku memiliki ruangan khusus untuk camilan dan makan malam yang terpisah," balasku yang kutahu tidak sopan. Aku tidak tahu alasannya mengapa menyebut bagian tubuh dianggap tidak pantas. Lalu, ketika perut atau bokongku sakit, aku harus menyebutnya sebagai apa?

"Aku heran di mana kau menyimpan semua makanan itu di tubuh kecilmu itu." Balas Duncan lagi mengejek.

Aku mencibir. Tetap mengambil scones yang terasa sama luar biasa. Aku harus mendekati sang koki dan meminta resepnya. Setidaknya saat aku kembali ke kehidupanku yang asli, aku bisa membangun toko kue sendiri.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, dear Clara."

Aku menelan potongan scones. "Akan kudengarkan My Lord."

"Bagaimana jika kita berjalan-jalan untuk membantu pencernaamu, dear Clara?"

Aku menyipitkan mata. "Miss Valerie adalah teman keluarga yang bisa dipercaya. Jika itu yang kau khawatirkan." Balasku tidak mau kalah. Aku masih ingin memakan roti bagel yang tersisa di piring depanku.

"Ah!" Valerie bertepuk tanpa alasan. "Kurasa saya memiliki janji dengan Nancy. Kalau begitu saya pamit," ujarnya ceria dan langsung beringsut pergi sebelum Duncan ataupun aku membantahnya.

"Kuharap kau memiliki satu persen kadar kepekaan Miss Valerie."

"Kuharap kau memiliki satu persen kecerdasan seorang manusia ketika aku mengatakan tidak ingin bertemu denganmu." Cibirku membuat ujung mulut Duncan berkedut. "Jadi apa hal rahasia yang ingin kau sampaikan, my dear Lord Duncan?"

"George ingin menemuimu." Katanya pendek.

"Healer elemen air itu, kurasa?"

Duncan mengangguk. 

"Dan tujuannya adalah?" Aku kembali menyipitkan mata.

"Aku tidak ingin kau menemuinya."

Oh ini menarik. Melakukan kebalikan dari keinginan Duncan sudah menjadi hiburan tersendiri untukku. "Dan alasannya adalah?"

"Keberadaan wanita yang memiliki bakat pengendalian sihir sangat jarang. Mungkin kau adalah satu dibandingkan seribu orang. Dan kekuatan mereka pun tidak begitu besar."

Aku berdecak. "Keadaanku tidak seunik itu, jika bisa kubilang. Valerie sendiri memiliki bakat sihir elemen air yang luar biasa."

Ayo, makanlah umpanku. Bukankah Duncan lebih tertarik dengan Valerie yang bukan bangsawan tetapi memiliki bakat sihir daripada Clara Evolet?

Mata Duncan menyipit tidak suka. Aku sudah menunggu ketika Duncan mulai mengabaikanku dan bertekuk lutut kepada Valerie.

"Kita sedang tidak membicarakan Valerie melainkan kau, My Dear Lady."

***











Secret of Villainous WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang