Bab 34

2.3K 433 40
                                    

Persiapanku hampir selesai ketika mendengar suara berisik di luar kamar tidurku. Suara perdebatan dan kemudian hentakan jelas terdengar.

"Clara adalah saudariku." Suara Arthur terdengar kesal.

"Dan dia, adalah tunanganku. Masih tunanganku, boy!" Ucap Duncan penuh dengan penekanan yang aku tahu, akan membuat Arthur kesal. 

Arthur menggeram dan pintu kamarku terbuka dengan kasar. Aku yang sudah mendengar perdebatan itu sedari tadi tidak lagi kaget melainkan menghela napas panjang yang terdengar lelah bahkan oleh telingaku sendiri. Pemandangan di mana Arthur dan Duncan akan terlihat akrab mungkin adalah salah satu keajaiban dunia.

"Selamat sore, My Lord." Aku bersuara ketika tidak mendengar suara sapaan yang seharusnya keluar dari mulut Duncan begitu dia memasuki kamarku. Sementara aku melirik dari cermin dan melihatnya yang tampak mematung untuk sejenak.

Ya benar, mematunglah karena terpesona oleh kecantikan Clara. 

Aku menyeringai sebelum berbalik karena riasanku pun sudah sempurna. Gaun berwarna putih dengan semburat emas dan cokelat membalut tubuhku. Membuat warna rambut Clara terlihat bersinar dan juga menonjolkan netraku.

Aku tersenyum manis. Cukup terpesona karena penampilan Duncan dengan tuksedo hitam dengan sulaman keemasan yang senada dengan gaunku.

"Kau begitu mempesona, My Lady." Duncan menunduk dan mencium punggung tanganku. Mata biru gelapnya lekat menatapku. Mau tidak mau aku mulai tersipu. Permainan godaan yang Duncan berikan melebihi kapasitasku yang memang terlahir jomlo hingga sekarang. Meski dengan semua ingatan Clara yang kumiliki, pengalaman seperti ini masih baru untukku. 

"Clara sudah berjanji untuk pergi ke istana bersamaku." Suara Arthur yang menyela memutuskan mantra yang membelengguku.

"Kau memiliki undangan lain yang bisa kau penuhi, Boy. Bukankah pasanganmu sudah sampai di sini?"

Wajah Arthur terlihat terkejut. "Apa maksudmu?!"

Duncan menyeringai dan membuat wajah Arthur memerah karena kesal. Toh pada akhirnya Arthur menghentakan kaki dan berbalik untuk menemui pasangan yang dimaksudkan Duncan sebelumnya.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku penuh selidik. 

"Kau tidak akan kaget dengan kehadiran sahabatmu yang ternyata memiliki undangan yang sama denganmu, bukan?" Duncan berkata dengan wajah datar. Tidak mencerminkan tanda-tanda takjub ataupun tertarik.

"Maksudmu Valerie?"

Duncan mengangguk dengan bibir menipis seolah kesal ketika aku mengucapkan namanya.

"Itu memang tidak mengherankan. Dia kan ikut membantu." Lagipula dia adalah tokoh utama wanita. Tambahku dalam hati.

Duncan sampai di sampingku setelah tiga langkah panjangnya. "Kau tampak menyukainya." 

"Siapa? Valerie?" Aku mengerjap bingung ketika Duncan dengan tiba-tiba meraih tanganku. Mengecup punggung tanganku dan kemudian matanya yang kembali menyipit ketika aku menyebut nama Valerie. Aku lalu mendengus. "Kau bertingkah seperti seseorang yang cemburu meski aku tahu jika kau tidak akan pernah begitu."

Aku mengangkat daguku. Mengabaikan reaksi Duncan yang terlihat terkejut dan terkesima dengan kereta kuda di depanku. Meski masih milik keluarga Duncan, jelas ini adalah kereta yang berbeda seperti yang kami naiki beberapa hari yang lalu. Mungkin Duncan memiliki beberapa jenis kereta yang berbeda dan jelas bahwa yang sekarang kami naiki adalah paling bagus.

"Berapa kereta kuda yang kau miliki?"

Aku mendengar suara kekehan di belakangku. "Kau menyukainya?"

Aku mengerjap. Masih terpesona dengan ornamen perak yang terlihat berkilau seperti ditaburi oleh serbuk permata. Warna kayu hitam dan ornamen tersebut sangat kontras dan membuatnya segagah Lamborgini. Jika saja kereta kuda sama halnya dengan mobil di kehidupan Renata Indra, pasti harganya sebelas dua belas. Benar, kan?

"Aku bisa memberinya untukmu jika kau mau."

Aku mengerjap cepat. "Kau gila." Aku lalu beralih menatap Duncan dan tidak menemukan ada kebohongan di wajahnya.

"Kau serius," bisikku yang membuatnya mengangguk yakin.

"Jika itu membuatmu senang, aku akan mengirmkannya ke kediaman Evolet besok pagi."

Aku menelan ludah susah payah. Namun masih memiliki pikiran waras untuk menolaknya. Memangnya, ke tempat mana akan aku gunakan kereta ini? Ke istana kerajaan yang mengerikan itu? Tentu saja tidak.

Bagiku, istana kerajaan bukanlah area yang dengan senang hati aku masuki. Bagaimana bisa aku merasa nyaman dalam kondisi dipantau oleh semua mata yang berada di sana, dan bahkan seolah dinding pun memiliki telinga dan mata?

Aku bergidik ngeri untuk sesaat. "Tidak. Aku tidak membutuhkannya." Aku lalu melangkah untuk mulai naik ke kereta kuda. Duncan dengan pengertian memberikan tangannya untuk membantuku.

Duncan lalu naik tidak lama kemudian dan duduk di seberangku. Kami saling berdiam diri untuk beberapa lama. Saling hanyut dalam pikiran masing-masing. Bahkan aku tidak berencana untuk memulai percakapan sampai kereta kuda ini sampai di istana kerajaan.


***





note :
aku akan menyelesaikan cerita ini di sini,
secara perlahan, semoga gairah menulisku yang selama 2 tahun ini pupus bisa mulai bangkit lagi.
terima kasih atas kalian yang masih menungguku sampai saat ini.

salam
Raa...


Secret of Villainous WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang