Niatnya mencari ketenangan dan menikmati istirahat, nyatanya Al sama sekali tidak bisa tidur sampai mentari terbit. Tidak setelah melihat tiga lukisan Ria.
Pemuda itu masih berbaring di atas ranjang. Kantong matanya makin gelap. Sakit kepalanya tidak hilang, justru makin parah.
Berusaha tidur tidak ada gunanya saat ini. Ditambah, perutnya sudah berbunyi. Dia pun memutuskan untuk turun ke bawah sehabis mandi kilat. Perutnya keroncongan.
Pagi ini ruang makan tidak kosong. Tiga meja sudah terisi, ada yang berdua dan ada yang sendiri. Oh, ada pula yang bertiga.
Al berderap menuju konter hendak mengambil sarapannya. Sesekali ia menguap. Jalannya lesu tak bertenaga.
"Halo, Al! Selamat pagi~" Ria menyapa sembari menyiapkan sepiring nasi yang kemudian disiram kare. "Tidurmu nyenyak? Sudah cukup istirahatnya?"
"Menurutmu?"
"Sama sekali tidak, tentu saja," ucap Ria seraya memberikan porsi sarapan pemuda itu. "Selamat menikmati~"
Kesal? Tentu Al kesal. Dia jadi tidak bisa tidur semalaman setelah Ria bersikeras menunjukkan lukisan-lukisannya.
Marah? Tidak. Karena setelah melihat lukisan itu, Al rasa dia bisa saja menghindari nasib buruk. Ah, mungkin itulah kesialan yang dimaksud Furu kemarin hari. Bisa saja dia menyuruh mereka pisah jalan sebentar karena kalau mereka bersama, sesuatu yang tak diinginkan sudah pasti akan terjadi.
Kalau memang begitu, lebih baik mereka menuruti kata-kata Furu. Namun, pisah jalan untuk sementara tidak menjamin keselamatan mereka. Lebih lagi si cebol yang selalu bertingkah seenaknya.
Lukisan itu ... terlihat seperti situasi penculikan. Dan mereka berdua ada di sana. Dua pria besar yang kelihatan menakutkan itu juga dipikirnya tidak asing.
Mungkin, hanya mungkin. Dia bisa lolos dari nasib buruk itu kalau dia pergi sejauh mungkin seorang diri. Bertahan hidup sendiri tidak akan sulit. Barangkali ia bisa memulai kehidupan baru di kota lain. Ah, tapi uangnya belum cukup untuk itu. Dan mana mungkin ....
"Hei, Tuan, sendoknya jangan dimakan juga."
"Hah?" Al tersentak kembali ke kenyataan, sadar makanan di piringnya sudah habis dan baru saja dia sibuk menggigiti sendok. "Oh ...."
Ria terkekeh, ikut duduk di depan pemuda itu. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang, hmn?"
Mengembuskan napas panjang, Al mengendikkan bahu, katanya, "Entahlah."
"Humnn ...." Jelas Ria tampak tak puas dengan respons singkat itu. Jadi, ia bertanya, "Kenapa sebelum ini kamu selalu menempel padanya? Si 'Cheat' itu."
"Karena kami rekan." Jawaban tersebut meluncur begitu saja dari mulutnya.
Masih tidak puas, Ria berupaya melanjutkan percakapan. "Rekan tidak harus selalu bersama. Benar, bukan?"
Kening Al seketika mengerut. Itu kedua kalinya seseorang mengatakan itu padanya.
"Pasti ada lebih, misalnya~" Ria menjeda sebentar dengan senyum jahil yang kemudian menipis. "Dia mengingatkanmu pada siapa?"
"Adi---tunggu, tidak." Al mendelik, menunjuk gadis di depannya dengan sendok. "Jangan pikir kamu bisa menggali informasi saat aku lelah begini."
Ria mengangkat tangan seakan-akan menyerahkan diri pada penjaga. "Oh, ayolah. Aku hanya menanyakan sesuatu yang harmless, tidak bisa kumanfaatkan ataupun dijual pada orang lain."
"Harmless, eh?" Hampir tertawa Al dibuatnya. "Informasi sesepele apa pun bisa dijadikan senjata. Jangan pura-pura naif."
"Sudah berpengalaman, ya, Tuan Bangsawan Jatuh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
1, 2, 3, POOF! Got Ya Stuff!
FanfictionDi dunia tempat sihir hanya dimiliki oleh kaum bangsawan, di tengah masyarakat yang amat memperhatikan kasta, mereka dipertemukan. Seorang anak bangsawan jatuh dan seorang gadis yatim piatu biang onar dipertemukan untuk menutupi kekurangan satu sam...