Bising curah hujan yang berat dan ganasnya angin membuat suasana mencekam. Untunglah Kancil tidak sendiri di dalam pondok yang ditemukannya di tengah hutan dekat kota. Pondok tempatnya berlindung ini adalah milik teman dari Cheat, kawan lamanya.
"Kenapa kau kembali ke Lucklet? Bukannya Elovee itu tempat bagus?" tanya Cheat, lantas menyeruput segelas air panas. Ya, hanya air panas yang tidak lama akan kembali dingin karena cuaca ekstrim ini. "Kota yang penuh dengan cinta atau apa pun itu."
"Memangnya salah kalau aku mau berkunjung ke kampung halaman? Tidak, 'kan." Kancil ikut menyesap air hangatnya.
Cheat diam. Bibirnya masih menempel pada mulut gelas. Ditelisiknya gerak-gerik Kancil yang harusnya tidak mencurigakan. Lalu, dia bertanya lagi, "Apa yang terjadi di Elovee?"
Kancil membalas tatapan gadis itu. Untuk sesaat, pondok itu hanya diisi oleh suara minuman diseruput dan bunyi-bunyi perabotan membentur satu sama lain atau dinding. "Kita sesama pencuri yang beraksi dalam gelap, 'kan?"
Setelah mendapat respons berupa anggukan, Kancil melanjutkan, "Akhir-akhir ini, ada yang aneh tidak? Di Lucklet."
Meletakkan gelasnya yang sudah setengah kosong di atas meja, Cheat bersedekap. Matanya awas; melirik ke kiri, kanan, bawah, bahkan atas dan belakang. Setelah dia merasa tenang, baru gadis itu menjawab, "Sejauh ini tidak ada apa-apa---"
"Bukankah badai ini mencurigakan, Cheat?" Kancil masih memegang gelasnya walau sudah diletakkan di atas meja. Badannya sedikit condong ke depan. "Sejak aku pergi ke Elovee, apa pernah ada badai yang separah ini sebelumnya?"
"Maksudmu?" Cheat menaikkan sebelah alisnya. "Mana mungkin aku mengingat setiap badai, Kan."
"Lihatlah ke luar." Kancil menoleh ke arah jendela yang tertutup rapat, ditiru oleh Cheat. Mereka mengintip situasi di luar lewat celah di antara papannya.
Tidak banyak yang bisa dilihat lewat celah kecil yang jarang-jarang itu. Namun, dapat dipastikan bahwa keadaan di luar kelihatan seperti sudah tengah malam, padahal belum lima jam sejak matahari terbit.
Bukan itu yang aneh.
Cheat tersentak berdiri. Segera dia menyeret kursi ke sebelah Kancil, lalu kembali duduk. Tubuh kecilnya gemetar; mata bulatnya membelalak. "K-kancil, apa yang sedang terjadi? Kau tahu sesuatu, 'kan? Kenapa di luar sana masih bertambah gelap? Biasanya tidak segelap itu...."
Kancil tidak menjawab meski jubahnya terus-terusan dihela dengan kasar oleh Cheat. Pemuda itu sibuk memperhatikan keadaan di luar lewat celah-celah pada jendela.
Semakin gelap sampai pepohonan tidak dapat dibedakan.
Semakin gelap sampai langit sendiri makin suram.
Semakin gelap sampai semuanya berubah hitam.
Lalu, badai berangsur reda, amat perlahan layaknya laju siput.
"Hei, Kancil," panggil Cheat. Kini sumber penerangan mereka hanyalah sebuah lentera di tengah meja. "Apa ini pernah terjadi di Elovee? Makanya kau datang kemari."
Kancil mengalihkan pandangannya pada lentera di hadapan. "Cheat, apa kau masih takut gelap?"
***
Naka dan Al berakhir di dalam sebuah tambang tua, lokasi aman paling dekat selain kota Lucklet. Sekujur tubuh mereka basah kuyup, termasuk pakaian dan belanjaan Naka.
Gadis itu buru-buru mengeluarkan roti kismisnya sebelum kantong kertas yang dia bawa sobek. Dua butir apel kemudian jatuh ke lantai diiringi pekikan Naka. Salah satunya menggelinding ke sebelah kaki Al yang sedang memeras ujung kausnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
1, 2, 3, POOF! Got Ya Stuff!
FanfictionDi dunia tempat sihir hanya dimiliki oleh kaum bangsawan, di tengah masyarakat yang amat memperhatikan kasta, mereka dipertemukan. Seorang anak bangsawan jatuh dan seorang gadis yatim piatu biang onar dipertemukan untuk menutupi kekurangan satu sam...