Eps. 15 : Naka Tahu dan Naka Paham

8 3 102
                                    

Pagi yang suram di kota Lucklet. Embusan angin tengah menyampaikan sesuatu, tetapi sebagian besar penduduk tak menangkapnya. Berbeda dari mereka, Naka paham apa yang hendak alam sampaikan. Badai akan datang.

Kalau saja Naka tidak membuat janji pada pagi hari yang dinginnya menusuk tulang ini, dia akan berada di pondoknya, berbungkus selimut menikmati secangkir minuman hangat. Cokelat panas terdengar sangat enak.

Sayang beribu sayang, di sinilah Naka berada, menyusuri tanah yang sepenuhnya ditutupi susunan bata beton. Melihat ke kiri dan ke kanan, para pedagang sibuk menyiapkan gerai masing-masing.

Dari sekian banyak gerai, ada satu yang sukses memikat Naka, yaitu gerai yang memajang bermacam-macam buah segar. Apel yang terpajang di sana terlihat begitu manis, merah sewarna rambut Naka.

Buah-buahan yang baru ditata pada pagi hari tentu adalah yang paling segar, bukan? Maka dari itu, Naka memutuskan untuk membeli beberapa. Dia sudah lama tidak makan apel yang besar-besar.

"Ini untukmu, Dik, empat buah apel segar yang baru dipetik," ujar Pria Penjual Buah sambil menyerahkan kantong kertas berisi buah tersebut pada Naka.

Terheran-heran gadis itu sampai gerakannya kaku. "Eh? Bukannya ini berlebih, Tuan?" Naka yakin dia hanya menyerahkan dua keping koin perak untuk dua buah apel, tidak lebih.

Pria tersebut berbalik, kembali sibuk memindahkan kotak-kotak kayu di balik meja. "Anggap saja bonus. Anak kecil harus makan yang banyak."

Bibir Naka sedikit mengerucut. Dia bukan lagi anak kecil, melainkan seorang remaja. Namun, untuk apa marah pada orang yang sudah berbaik hati memberinya dua lagi apel secara cuma-cuma?

"Terima kasih, Tuan." Naka menunduk sopan, yang hanya dilirik sebentar oleh si penjual buah. Gadis itu memutar tubuhnya, mengambil dua langkah maju lantas terhenti. Ingat akan sesuatu, dia menoleh ke belakang dan berkata, "Sebaiknya Tuan berhati-hati. Kelihatannya, badai akan datang."

Tanpa menunggu respons Pria Penjual Buah, Naka melenggang pergi, keluar dari pasar dan masuk ke area pertokoan. Di sana samar-samar tercium harum roti yang nyaris hilang diusir angin. Naka merindukan roti. Membeli satu atau dua potong tidak ada salahnya, bukan? Maka gadis itu masuk untuk membelinya.

Tidak memakan waktu lama sebab toko roti itu baru saja buka dan sebagian roti yang akan dijual masih dipanggang. Hanya ada Naka dan seorang pekerja di meja kasir. Dua potong roti kismis dia beli. Harganya satu keping koin perak.

Lonceng pada pintu berbunyi saat Naka melangkah keluar, sama seperti saat dia melangkah masuk. Dia menoleh dan melambai ke dalam saat pekerja di meja kasir berseru, "Datanglah lagi kapan-kapan!"

Sambil menikmati sepotong roti kismis selagi hangat, Naka berjalan santai ke ujung area pertokoan. Di sana dia berbelok ke suatu gang di kanan, mendapati barisan toko-toko kecil. Telinganya menangkap bunyi denting dengan irama konstan yang kian jelas setiap langkah yang dia ambil.

Naka tiba di penghujung gang, tepat di hadapan sebuah pintu kayu. Sumber dentingan berirama itu bersembunyi di baliknya. Hanya untuk memastikan, Naka mendongak. Pada besi yang tertambat di pojok kanan atas pintu, tergantung sebuah papan yang memuat cetakan gambar paron dan palu. Sudah benar.

Seraya mendorong pintu, Naka berucap, "Permisi...."

Bunyi denting itu seketika berhenti. Berdiri di dekat tungku api, di hadapan sebuah paron, adalah seorang pria berbadan besar dengan wajah garang. Tato menghias tangannya dari siku ke atas, separuh tertutup lengan kaus. Kelihatan menakutkan, tetapi raut wajahnya langsung melunak begitu melihat siapa yang datang.

"Oh, Dik Naka. Selamat pagi!" sapa pria itu, menyingkirkan palunya. Sambil membenarkan posisi apron kulitnya, dia beranjak menghampiri Naka. "Ingin mengambil pesanan?"

1, 2, 3, POOF! Got Ya Stuff!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang