1 - Rival

161 58 50
                                    

"Kamu mimisan," seseorang menyeka hidungku yang berdarah dengan sapu tangannya. Dari tadi aku melamun sampai gak sadar kalau aku sudah mimisan lagi. Aku menjawab pertanyaannya dengan menggelengkan kepala singkat.

"Oh ya, aku Darwin. Salam kenal. Selamat untuk kemenanganmu." Dia cowok yang jadi rivalku di debat bahasa Inggris tadi. Dia menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku. Dia juga melempar senyum padaku.

"Selamat untuk kekalahanmu." Balasku ketus. Senyum wajahnya memudar dan dia terlihat kebingungan dengan apa yang barusan kuucapkan padanya. Aku pikir dia pasti pura-pura senang untuk mengolok-ngolokku. Tangan cowok itu turun. Dia meninggalkanku setelah itu.

Aku siswi kelas 2 SMP. Namaku Kevita. Aku bukan anak yang ramah dan aku gak peduli orang membenci sifatku. Aku gak mau dimanfaatkan orang lain karena aku bersikap baik. Dulunya aku anak yang ceria, mungkin aku menjadi seperti ini sejak hari itu.

Barusan aku memenangkan debat bahasa Inggris di kotaku. Lawanku di final adalah cowok tadi. Kuakui dia juga hebat dan layak masuk final. Tapi yang layak menjadi pemenangnya cuma aku. Aku gak bermaksud sombong, aku cuma bicara sesuai fakta bahwa aku memang yang terbaik.

Panitia lomba memanggilku dan anak cowok itu. Kami diminta foto bersama dengan medali dan piala yang kami dapat. Kami menjaga jarak dan berfoto tanpa tersenyum. Senyum cowok itu hilang setelah menyapaku tadi.

===========

Aku melihat pemandangan orang-orang tengah makan di dalam restoran. Mereka makan dengan lahap bersama keluarga mereka sembari berbincang-bincang. Aku iri dan kini aku sangat merindukan kedua orang tuaku. Mataku jadi panas dan berair.

Pandanganku bertemu dengan seseorang, sontak aku segera berbalik dan hendak pergi dari teras restoran. Aku berjalan menuju halte untuk menunggu bus yang akan mengantarku pulang. Aku menunduk memandangi sepatuku yang buruk rupa.

"Makanlah sebelum pulang." Seseorang meletakkan satu bingkisan makanan dari restoran tadi, lalu dia langsung pergi.

Dia rivalku di kompetisi debat tadi. Punggungnya semakin menjauh, langkahnya pun semakin cepat. Dialah yang tadi memergokiku sedang memandangi restoran. Dia sepertinya makan bersama ayahnya setelah kompetisi. Siapa ya namanya? Aku lupa namanya setelah dia memperkenalkan diri.

Bunyi klakson bus membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru masuk ke dalam dan memilih kursi paling belakang agar aku bisa tidur sebentar. Aku juga membawa pulang makanan dari cowok itu.

=============

Tiga tahun kemudian.

"Kevita Remia," namaku yang pertama disebut. Kugiring langkahku menuju meja guru. Di sisi lain, tatapan-tatapan sengit menyerbuku. Kuterima kertas hasil ulanganku.

"Terima kasih, Pak." Kulihat ada angka seratus berwarna merah di atas sisi kanan kertas ulanganku.

Aku bersekolah di Elite High School, sekolah mewah dimana anak-anak orang kaya bersarang. Kalau kamu cari namaku, kupastikan sangat gampang. Semua tahu siapa juara Olimpiade Sains Nasional. Saat masa orientasi banyak siswa baru maupun kakak kelas yang berbondong-bondong mendekatiku dengan alasan kagum dan ingin berteman denganku. Menurutku itu omong kosong. Ujung-ujungnya mereka hanya ingin dekat untuk memalak PR ku setiap hari. Hal itulah yang membuat namaku semakin terkenal sebagai cewek miskin sombong.

Aku menjadi siswa teladan di sekolah ini. Kemampuan kognitifku di atas rata-rata. Aku memang selalu menjadi kebanggaan guru. Padahal sikapku yang buruk sering kepergok oleh mereka, tapi beberapa guruku malah meloloskanku dari hukuman.

Satu hal yang aku yakini dari orang-orang di sekolah, mereka membenciku. Mungkin ketika ada orang yang memperlihatkan kepeduliannya padaku, hal itu hanya untuk memanfaatkanku. Minta contekan misalnya.

Aku cuma anak yatim piatu yang tinggal bersama Nenek, dialah satu-satunya orang yang menerimaku apa adanya. Aku begitu menyayanginya dan sangat menghormatinya. Hanya Nenek yang mendapati sikapku yang baik sepeninggal orang tuaku. Seringkali dia memberikan nasihat, tapi gak selalu kuturuti karena Nenek selalu memintaku bersikap baik pada orang lain yang bahkan mereka pun membenci dan merendahkanku hanya karena aku miskin.

"Aku muak liat mukanya." Bisik Feika−salah satu musuh di kelasku saat aku kembali ke tempat duduk.

Gak terasa waktu pun berlalu dengan cepat. Hari ini kegiatan di sekolah telah usai.

Aku masih tinggal di tempat duduk. Buku-buku pun belum kurapihkan. Aku akan berada disini untuk menyelesaikan beberapa tugas sekolah. Aku suka ruang kelas yang sepi seperti ini. Kamarku tak cukup tenang untuk membaca buku maupun membuat rangkuman pelajaran. Disana cicak-cicak gak berhenti membuat paduan suara yang menyulut emosiku. Mereka selalu memprovokasiku untuk memberi mereka makan.

Aku punya banyak sekali musuh. Kalau aku masuk ke dalam circle mereka, itu sama saja bunuh diri. Kehidupan SMPku dulu gak jauh berbeda dengan sekarang. Bahkan disini kehidupanku jauh lebih buruk. Dulu aku bisa atasi aksi bullying yang dilakukan teman-teman sekolahku. Sementara disini, dengan uang mereka bisa melakukan apa saja. Anak-anak orang kaya jauh lebih buas dari seekor macan. Mereka membayar orang lain untuk menyakiti orang yang mereka benci. Aku masih bisa mengatasi satu dua orang yang mencoba mem-bully-ku, tapi kalau mereka mengeroyokku mungkin situasinya akan berbeda.

"PR udah beres, aku gak perlu lagi belajar di rumah." Setelah selesai, kukemas buku-buku ke dalam tas dan beranjak pulang.

Kakiku melangkah menyusuri jalanan yang ramai. Pada malam hari banyak pegawai swasta yang baru pulang kantor dan aku harus berbaur bersama pejalan kaki lainnya.

Rumahku masuk ke dalam gang kecil, berdempet dengan rumah lainnya. Aku sering melihat titik dimana rumahku berada dari kelasku. Kelasku ada di lantai tiga yang membuatku dapat melihat pemandangan kota dari jendela. Rumahku masih tergolong semi permanen, 50% dinding rumah terbuat dari triplek kayu dan asbes terbuat dari anyaman bambu. Gentingnya gak lengkap, kalau hujan aku sudah harus bersiap dengan ember-ember plastik. Luas rumahku hanya 72 m2 dengan halaman kecil yang ditanami bunga-bungaan.

Terlihat Nenek baru keluar dari rumah untuk menyambutku. Dia selalu melakukan itu setiap hari. Nenek menungguku di depan rumah sampai aku datang. Maklum, kami hanya tinggal berdua, kami sering kesepian apabila salah satunya tidak ada di rumah. Nenek langsung meraih tasku dan menarik lenganku untuk segera masuk ke rumah.

"Nenek sudah minum obatnya?" Tanyaku. Semakin bertambanya usia, keadaan jantung Nenek semakin buruk. Garis keturunan Ayah memang membawa penyakit jantung.

"Belum, Nenek menunggumu. Ayo masuk lalu makan." Nenek merangkul lenganku dan kami berjalan masuk ke dalam rumah.

Aku sudah gak punya siapa-siapa lagi kecuali Nenek. Aku gak mengenal Paman atau Bibi karena Nenek hanya memiliki satu putra yaitu ayahku. Sejak lahir aku gak mengenal keluarga dari Ibu. Pernah kudengar cerita-cerita dari tetangga kalau Ibuku lahir dari keluarga kaya. Ibu lebih memilih menikah dengan ayahku dan meninggalkan kehidupan mewahnya. Ibu rela hidup bersama pria miskin seperti ayahku. Dan akhirnya Ibu gak diakui sebagai keluarga oleh Kakek. Dari situlah aku mulai membenci orang-orang kaya. Mereka menggunakan uang untuk berkuasa dan seenaknya menendang orang-orang miskin dari penglihatan mereka.

Kuakui aku sangat beruntung mendapat beasiswa di Elite High School. Di sekolah itu pendidikanku terjamin dan diberikan makan siang. Menu makanan untuk siswa sangat enak seperti makanan-makanan mahal yang ada di restoran. Aku tidak memakan semuanya, sengaja kubawa pulang untuk kuberikan pada Nenek.

Setelah makan malam, aku membantu Nenek membereskan barang bawaan yang digunakannya untuk berjualan. Kehidupan kami selama ini bergantung pada kue-kue tradisional buatan Nenek yang dijual di pasar. Nenek sudah gak perlu memusingkan urusan pendidikanku, semuanya sudah terjamin. Uang hasil berjualan itu kami gunakan untuk biaya pengobatan Nenek.

Aku penasaran dengan kehidupanku esok hari, apakah aku beruntung? Kita lihat saja.

***

TBC

Mohon dukungan dengan cara vote, komen dan share ya teman-teman. Makasih sudah mampir 😃😃

#EventTeoriKataPublishing #PensiTeoriKata

The Roots of Feelings [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang