18 - Tersesat

28 25 2
                                    

Pagi-pagi buta aku membantu Paman membuka toko dan menata buah-buahan yang baru datang. Hari ini adalah hari minggu, biasanya pasar lebih ramai. Buah juga datang lebih pagi dari desa. Dan benar, setelah toko buka, pelanggan mulai berdatangan untuk membeli buah segar. Aku dan Paman cukup kerepotan untuk melayani pelanggan yang begitu banyak.

Buah mangga masih jadi primadona. Pasokan buahnya juga cukup banyak. Setiap buah memang punya masa yang berbeda-beda. Kalau lagi musimnya−panen besar−, buah itulah yang merajai setiap toko. Hal ini jadi mirip tangga lagu di acara musik.

Rasanya kami gak bisa bernapas sampai dua jam. Hm, tentu aku bercanda. Maksudku, terbebas dari pelanggan yang berjubel tadi kami butuh dua jam lamanya. Akhirnya, tepat jam delapan, kami bisa duduk sejenak untuk beristirahat. Suara Nenek memanggil dari dalam rumah, itu tandanya sarapan yang dibuatnya telah masak.

"Nenekmu sudah memanggil, ayo sarapan dulu." Ajak Paman. Lalu aku mengikuti Paman masuk ke dalam rumah. Keringat membasahi keningku, pagi ini benar-benar melelahkan.

Aku, Nenek dan Paman sarapan bersama di ruang keluarga sambil menonton berita pagi. Entah kenapa, aku sering tersenyum sendiri. Aku merasa punya Ayah lagi.

Darwin tiba-tiba datang dan ikut duduk untuk sarapan.

"Tokonya gak ada yang jaga?" Tanyanya.

"Kita lagi sarapan dulu." Jawab Paman di sela-sela makan.

Setiap hari Minggu, Darwin memang pulang ke rumah untuk membantu di toko. Putra dari pemilik Toko Hurip itu masih saja sembunyi-sembunyi kalau ada di rumah. Dia masih gak mau kalau rahasianya itu terbongkar. Ya, rahasianya itu masih dia jaga dengan apik. Oh iya, Arvin sudah tahu. Dia beruntung, Arvin gak membocorkannya.

Setelah kami selesai sarapan, waktunya kembali ke toko dan siap menyambut para pelanggan. Paman menyuruhku memisahkan buah yang kondisinya sudah busuk ke dalam kotak lain. Nanti harganya dipotong setengahnya, biasanya untuk makanan burung. Kalau saja aku masih belum tinggal bersama Paman, aku akan beli buah tipe yang ini.

Semakin siang memang semakin sedikit pelanggan yang datang. Tapi Paman selalu sabar menunggu sampai tokonya tutup jam lima sore.

Kring..Kring.. Telepon toko berbunyi.

Kata Paman, sudah lama sekali dia gak menerima panggilan telepon karena jarang ada pelanggan yang memesan buah lewat pesan antar. Paman segera mengangkatnya dan kini telah terhubung dengan penelepon. Aku ingat saat pertama kali kemari, objek yang kulihat salah satunya adalah telepon model klasik itu. Tadinya kupikir itu hanya hiasan meja, tapi ternyata memang sebuah telepon dan masih berfungsi.

"Toko Hurip siap melayani." Paman mengawali percakapan dengan motto toko miliknya.

"..."

"Cukup banyak pesanannya. Di antar? Hmm.. Baik baik. Kami akan mengantarnya sampai ke tempat tujuan." Sepertinya Paman telah menerima pelanggan baru dengan pesanan besar. Paman pun menutup telepon setelah percakapan itu selesai.

"Anak-anak, kita menerima pesanan besar dan mereka ingin di antar langsung ke Restoran Rowena. Neng Kevita, temani Darwin mengantar buah ya." Ucap Paman.

Sepertinya Darwin baru mendengar restoran itu, "Restoran Rowena? Dimana itu?"

Paman memberikan secarik kertas yang berisikan alamat restoran pada Darwin, "Ini dia alamatnya. Ayo bantu ayah mengemasi buah-buah ini." Pinta Paman kemudian.

Aku, Darwin dan Paman mengemasi pesanan yang cukup besar itu. Jumlah semuanya ada tujuh kardus untuk lima jenis buah. Buah yang dipesan ada anggur, apel, buah naga, strawberi, dan nanas. Setelah selesai, Darwin mengambil mobil bak terbuka milik ayahnya di garasi. Walaupun mobil itu sudah termakan usia, mesinnya masih sanggup membawa mobil itu ke berbagai tempat untuk megantar buah.

The Roots of Feelings [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang