Aku sampai di kantin. Seseorang melewatiku dengan membawa makan siangnya, sepertinya dia dari kelas tiga. Langkahnya yang berlalu meninggalkan jejak aroma sup jagung yang menyentuh inderaku.
Hal yang aku benci adalah mengantri di kantin ini untuk mendapatkan makan siang. Anak-anak orang kaya ini geraknya lambat sekali saat mengambil makanan dan sialnya aku datang pada waktu yang gak tepat. Sudah sesak begini, ada saja yang curang untuk memotong antrian.
"Ck," aku yakin hal ini gak akan selesai.
Aku cuma buang-buang waktu. Daripada waktuku habis untuk berdiri disini, lebih baik kembali ke kelas dan tidur. Akhirnya aku memutuskan meninggalkan antrian. Tapi saat berbalik, aku berpapasan dengan dua orang itu lagi.
"Kevi, gak makan?" Tanya Luna. Aku melirik mereka dengan dingin.
"Bukan urusan kamu." Jawabku, lalu aku berjalan meninggalkan mereka.
==========
Sepuluh menit sudah Pak Zedan menjelaskan tentang kunci E F G apalah itu. Pendengaran dan penglihatanku mulai gak beres. Aku masih bisa mendefinisikan musik menurut Banoe dan Jamalus di awal jam tadi. Kini malah perutku yang menghasilkan suara aneh. Apa ini salah satu bagian dari musik ya? Not-not balok yang tertulis di papan tulis cukup membuatku pening. Kulirik terus jam dinding yang tertempel di atasnya. Hari ini waktu berjalan begitu lambat. Kumohon Pak Zedan, cepatlah selesai.
Seperti mendengar suara hatiku, Pak Zedan mendelik ke arahku.
"Iya kan, Kevi?" Tanyanya. Aku pun gelagapan. Barusan dia bilang tentang apa? Apa tentang Beetthoven? Atau judul karya musik klasik?
"Eh? Iya iya." Reflek kujawab seadanya.
Lalu Feri bertanya jika 'detak jam' juga bisa menjadi instrumen musik, apa riak air juga bisa. Pak Zedan memang suka menyindir anak-anak muridnya yang gak fokus. Tadi pandanganku terlalu fokus pada jam. Dia pasti membahas itu karena melihatku. Tapi untunglah gak ada yang menyadari kalau Pak Zedan menyindirku. Itu sangat memalukan.
Sisa jam berikutnya perutku benar-benar sekarat. Beberapa kali kutekan agar suaranya meredam. Untuk menyamarkannya aku juga sedikit menghentak-hentakan sepatuku. Mendengar Reina yang protes akibat kegaduhan yang kubuat, kuanggap angin lalu. Istilah 'gaduh' itu hanya untuk Reina, karena radius frekuensi hentakan kakiku hanya sampai padanya.
Biasanya kalau aku sarapan, gak makan siang pun perutku masih biasa-biasa saja. Tadi pagi aku gak sempat memasak karena bangun kesiangan. Ditambah semalam aku berbohong pada Nenek kalau aku sudah makan di luar. Lambungku benar-benar belum mengoyak sesuatu sejak semalam, kecuali air minum.
Bunyi bel membuatku bahagia luar biasa. Bel itu menjadi satu-satunya melodi yang kusuka hari ini. Sekali lagi Pak Zedan mengerling ke arahku yang sedang mengumbar senyum, namun saat kami bertatapan aku dengan cepat menelan lagi senyumanku.
Melihatnya sudah keluar dari kelas, dengan segera aku menerobos pintu keluar dan berlari menuju kantin. Hari ini untuk pertama kalinya aku menjadi orang pertama yang keluar dari kelas yang biasanya aku betah berlama-lama di sana.
Aku masuk ke dapur kantin untuk menemui Bu Nani yang biasa melayani kami saat mengambil makan siang. Beruntungnya aku menemukan dia dengan mudah. Bu Nani sedang menyusun piring-piring alumunium yang baru beres dicuci.
"Bu, tadi siang saya belum ambil makan. Masih ada makanan sisa buat saya?" Aku tahu diri karena tadi siang malas mengantri. Jadi aku gak mau muluk-muluk meminta makanan baru atau menyuruhnya memasak untukku.
"Hm, kebetulan semangkuk nasi sama capcay masih ada. Bawa aja." Jawabannya membuat perutku bersorak. Kalau gak minta jatahku dari kantin, aku harus mengeluarkan uang. Aku gak mau. Jangan heran orang miskin sepertiku pelitnya level tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roots of Feelings [TERBIT]
RomanceKevita adalah gadis yatim piatu yang berjuang untuk bertahan hidup dari kemiskinan. Karena trauma masa kecil, Kevita selalu mimisan di saat-saat tertentu dan tidak bisa mengontrolnya. Sifat Kevita yang buruk membuatnya semakin terperangkap dalam ba...