9 - Bermalam

60 40 4
                                    

Seseorang berjalan ke arah kumpulan pot kelasku. Dia menyadari kalau pot miliknya hilang. Ternyata tujuannya kemari juga untuk mencari buku catatannya yang ketinggalan. Tadi kudengar dia bergumam. Aku masih berjongkok sambil memeluk diriku sendiri agar badanku bisa sedikit terlipat dan gak makan tempat.

Dia mencari-cari pot miliknya disekitar pot milik yang lain. Tapi pot dengan tanda pengenal miliknya benar-benar gak ada disitu. Ya iyalah, kan sekarang sedang bersamaku. Dia pun menyerah. Dia melenggang pergi hendak keluar dari sini. Aku pun menghela napas tanda lega.

"Jangan bilang pintunya terkunci?" Kudengar suaranya lagi. Bukan kabar baik.

"Tolong buka pintunya," lanjutnya, sedikit mengeraskan suara agar dapat terdengar oleh orang yang ada di luar. Namun dia gak menerima sahutan dari siapa pun.

"Apa aku beneran kekunci?" Gumamnya lagi. Dia berjalan kembali masuk ke dalam.

"Pintunya terkunci?" Sedetik kemudian suaraku kelepasan.

Dia pasti mendengarnya, dan sadar sedang diawasi olehku. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Tapi tidak ke arah tumpukkan karung ini. Syukurlah.

"Siapa itu!?" Darwin mengeraskan suaranya. Lampu seketika menyala secara otomatis yang sudah di set agar dapat menyala pada pukul enam sore. Yang tadinya gelap, sekarang jadi terang menderang. Sinar lampu disini juga berfungsi untuk menstabilkan suhu ruangan untuk tanaman di sini.

Dia berjalan kemari, Aku terus memeluk tubuhku dengan erat.

"Siapa itu?" Tanyanya memastikan lagi. Aku reflek membekap mulutku.

Dia menjaga langkah kakinya agar gak membuat ribut. Tiba-tiba dia muncul dari balik karung pupuk. Tatapan kami bertemu. Dia terkejut saat menemukanku sedang bersembunyi di sini. Kemunculannya berhasil membuatku spot jantung. Pot dalam genggamanku gak sengaja lepas dan akhirnya pecah berantakan.

"..." Aku menatap pot bunga yang telah hancur itu.

"Jangan bilang pot itu punyaku," emosinya hampir meledak. Baru kulihat wajahnya bisa semerah kepiting rebus.

Gak pikir panjang, aku berlari ke arah pintu keluar dan mencoba mendorong pintunya sekuat tenaga biar terbuka. Tapi sia-sia karena pintunya memang terkunci.

"Tadi kan udah aku bilang pintunya kekunci." Dia memberikan senyuman evil nya. Mencoba mengintimidasiku.

"Berani ya kamu ngerusak pot punyaku!" Lalu emosinya benar-benar meledak, dia membentakku.

"Itu bukan urusanku," kataku.

Wajahnya makin panas mendidih dan aku mengerti seberapa tinggi kemarahannya. Tentu dia akan sangat marah kepada orang yang seenaknya mencuri potnya dan merusaknya tanpa merasa bersalah. Aku gak mau banyak bicara, tapi aku cukup dibuat takut olehnya. Kutatap dia yang juga sedang menatapku dengan tatapan membunuh. Keringat mulai membasahi dahiku.

"Baiklah! Nanti kuganti potnya!" Aku menyerah, sebelum dia benar-benar akan membunuhku hanya karena pot. Aku terlanjur takut dengan intimidasi yang dia berikan.

Emosinya mulai menurun, dia merasa lebih baik. Setelah itu aku pun langsung berlari menjauh. Aku bersembunyi kembali di balik tumpukan pupuk tadi. Kuintip, dia kembali sibuk dengan usaha membuka pintunya. Tapi sekuat apapun, dia tak akan bisa membukannya.

"Kayanya malam ini kita harus nginep," ujarnya yang menyerah. Aku yang mendengarnya langsung keluar dari persembunyian.

"Apa katamu?!" Kuharap aku salah dengar.

"Lihat, pintunya bener-bener gak mau kebuka," dia yang kelelahan mengambil posisi duduk.

"Aku gak mau nginep disini, Nenekku di rumah sendirian. Pintu ini harus kebuka, coba pakai ilmu fisika," aku panik.

The Roots of Feelings [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang