3 - Pangeran

70 43 10
                                    

Di jam istirahat banyak siswa berbondong-bondong keluar dari kelas menuju tempat favorit masing-masing. Gak ketinggalan aku juga memilih perpus untuk mencari buku bacaan baru. Disini aku bisa menemukan banyak buku yang kuperlukan. Alhasil aku bisa menyisihkan uang saku untuk keperluan Nenek.

Perpustakaan disini terdiri dari dua lantai. Di lantai dasar terdapat loker untuk menyimpan barang bawaan siswa yang letaknya samping pintu masuk. Biasanya aku juga suka menyembunyikan buku yang akan kupinjam. Lalu ada ruang baca dan rak-rak kumpulan buku yang boleh dipinjam oleh siswa, serta kafetaria khusus perpus.

Di lantai dua ada rak-rak kumpulan buku yang hanya boleh dibaca di tempat. Biasanya seperti buku-buku filsafat dan ensiklopedia yang tebalnya bisa mencapai lima ratus halaman bahkan ribuan. Di lantai dua ada pula ruang baca tapi lebih kecil. Disini juga ada gudang penyimpanan dokumen-dokumen penting dan buku-buku penunjang guru untuk mengajar. Aku pernah masuk sekali kesana. Saat itu aku membantu Pak Wisnu−wali kelasku mengambil beberapa dokumen. Di sana juga ada beberapa brangkas khusus untuk menyimpan soal-soal ujian. Tentu di ruangan terpisah. Bangunan perpustakaan mengambil gaya klasik modern dengan pilar tinggi seperti aksen kastil-kastil eropa.

Aku baru saja membaca halaman awal dari buku yang kupinjam. Suara gemuruh di luar membuatku gak bisa fokus. Mendengar suaranya, seperti gerombolan orang sedang mengobrol sambil berteriak. Mereka memilih tempat yang salah untuk berteriak-teriak seperti itu. Kudengar asal suaranya dari luar, tepat dibalik dinding ruang baca yang kutempati.

"Ada apaan sih diluar?" Gumamku sambil menutup telinga. Suara gemuruh itu semakin keras, kuputuskan untuk melihatnya langsung.

Ternyata anak pindahan bernama Darwin itu penyebab keributan tadi. Lebih tepatnya gadis-gadis yang meneriakinya.

"Hei! Kalian bisa diem gak?! Ganggu banget." Aku kesal, tanpa basa-basi kulayangkan protesku.

"Ada masalah apa sih kamu?" Tanya mereka.

"Kalian ganggu! Suaranya sampai ke dalem. Dasar kampungan. Kalian ini ngaku orang-orang terpandang, tapi tingkah kalian..." Ucapku menggantung sambil memandangi mereka, kurasa mereka pasti mengerti. Mereka mempermalukan diri mereka sendiri dengan mengemis perhatian pada cowok seperti itu.

"Kevita!!!!" Aku hampir mendapat tamparan dari Feika yang mengamuk, tapi Si Darwin itu langsung mencegahnya. Pertama kali bertemu denganku, sepertinya dia sudah paham betul seperti apa sifatku.

"Jangan dihiraukan, lebih baik kita pindah." Dengan nada datarnya dia melirikku dengan angkuh. Gerombolan gadis itu pun mengikuti Darwin dari belakang bagaikan dayang-dayang. Berani sekali dia melempar pandangan angkuh seperti itu padaku. Walaupun dia murid terpintar di sekolahnya yang dulu, kita lihat saja nanti! Dia gak akan bisa menyaingiku.

Kepergiannya sudah gak terlihat, aku pun kembali masuk ke perpus.  Suasana hati sudah terlanjur rusak oleh orang-orang tadi. Malas rasanya untuk melanjutkan membaca. Aku menutup buku dan sejenak memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitaran rak-rak buku. Aku terkejut melihat orang yang kukenal sedang memilih buku.

"Bagaimana kabarmu?" Aku membatin. Kutunjukan pertanyaan itu pada seseorang yang sedang kupandangi.

Setelah membaca beberapa buku di perpus aku kembali ke kelas. Dan lagi-lagi aku melihat pemandangan yang memuakkan. Tak lain sekumpulan gadis yang sedang memuja-muja Darwin.

"Darwin, ayahmu CEO perusahaan apa?" Tanya Reina. Menurut mereka penampilan Darwin itu keren dengan seragamnya yang rapih serta sifatnya yang begitu ramah dan sopan. Tentunya dia adalah putra dari keluarga konglomerat. Sifat Darwin yang rendah hati semakin membuat gadis-gadis itu menggila dan membuatku ingin muntah.

The Roots of Feelings [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang