15 - Bersenang-senang

62 37 2
                                    

Kami menaiki bus kota khusus pariwisata. Rutenya pasti melewati kebun binatang. Setiap hari minggu, bis parawisata juga gratis. Gak heran, sekarang bisnya cukup penuh. Beruntunglah kami karena masih kebagian kursi. Darwin memilih tempat duduk tepat dibelakang supir. Kubiarkan Darwin duduk bersama Rena di sana. Sementara aku, kabur ke kursi paling belakang. Saat Darwin menoleh ke arahku, Aku membuang muka ke arah jendela di sampingku.

Saat sampai di kebun binatang, Rena meminta untuk melihat pertunjukan beo dulu. Dia menyebutnya dengan sebutan 'Blu'. Hm, Rena pasti korban animasi burung biru itu. Tapi, jauh lebih baik dia suka menonton kartun, daripada dia suka acara-acara televisi yang belum pantas untuk umurnya.

Kebetulan, burung beo yang tampil itu warnanya biru juga. Pasti anak-anak kecil seperti Rena yang sudah menonton aksi Blu di Rio, sudah terdoktrin kalau burung beo itu cuma ada warna biru. Jadi, aku tak harus menjelaskan, kalau yang muncul beo warna yang lain.

Tapi sekarang, Darwin malah seperti sedang memberikan kuliah umum untuk Rena. Dia memberitahu kalau burung beo itu bisa hidup lama seperti manusia, tergantung jenisnya. Lalu dia bercerita, dimana saja beo tinggal, bagaimana beo hidup dan makan. Dia juga memberitahu Rena, kenapa beo bisa menirukan suara manusia.

"Beo dianggap salah satu hewan yang pintar. Bahkan ada Beo Abu-Abu Afrika yang bisa merangkai kata-kata sendiri." Semburku sebelum Darwin pamer lagi wawasan ceteknya itu. Rena manggut-manggut, mencoba mencerna pengetahuan baru yang dia terima.

Lalu, Rena malah mengajukan pertanyaan 'kenapa Blu gak bisa terbang?' Aku dibuat mematung dengan pertanyaannya. Memangnya, di film Rio, Blu gak bisa terbang? Aduh mana kutahu. Aku belum nonton animasinya secara penuh. Aku cuma tahu nama burung biru di animasi itu bernama 'Blu'. Darwin tertawa. Dia pasti menertawaiku karena menjelaskan Blu saja, aku gak bisa.

"Blu dibesarkan seperti manusia oleh pemiliknya. Dia bisa menyikat gigi, membuat kopi, dan membaca buku. Dia hidup bukan di habitatnya, jadi dia gak bisa terbang. Blu tidak pernah diajari terbang." Jelas Darwin.

Setelah itu, Darwin melirikku lagi. Seakan dia mengirim pesan telepati, kalau dia butuh penjelasan kenapa aku bisa berada di rumahnya tadi.

"Kakak, aku haus." Ucap Rena pada Darwin saat kami sedang melihat atraksi burung beo, yang kali ini namanya Kiko bukan Blu. Bisa-bisa nanti malam aku bermimpi Blu mengetuk-ngetuk kepalaku.

"Kakak beli minum dulu ya, tunggu sebentar," Jawab Darwin lalu pergi keluar untuk membeli minuman buat Rena. Aku bisa lega ketika Darwin pergi, rasanya seperti lepas dari kurungan intimidasi. Setelah berpikir sejenak, aku berencana kabur darinya.

"Rena, kita pergi yuk." Ajakku saat sosok Darwin sudah gak terlihat.

"Tunggu sebentar Kak, Kak Darwin lagi beli minum buat aku," tolak Rena polos karena ingin Darwin juga pergi bersama kami.

"Kita tinggalkan Kak Darwin. Biarkan Kak Darwin mencari kita, Umm.. seperti bermain petak umpet. Bagaimana?" Sepintar mungkin aku merayu anak kecil.

"Rena suka main petak umpet," gadis kecil itu kegirangan.

Aku mengulurkan tangan, "Ayo." ajakku dan Rena membalas uluran tanganku. Jemari kecilnya kugenggam lalu kutuntun.

Dalam hati aku sangat puas "Hahaha, rasain!"

Saat aku dan Rena pergi dari sana, mungkin Darwin kembali membawa minuman untuk Rena. Dia gak akan menemukan kami. Kami tetap menikmati jalan-jalan kami. Terutama aku. Aku puas membuat Darwin kelabakan mencari kami berdua.

Setelah melihat atraksi beo, aku mengajak Rena melihat jerapah. Aku suka saat seekor jerapah merunduk untuk mengambil makanan yang kita beri. Kuajak Rena melakukan itu. Saat seumuran Rena, aku pernah kemari. Bersama Ayah dan Ibu. Aku juga diajari ayah untuk menyentuh jerapah dengan memancingnya pakai wortel. Aku senang sekali melihat hewan keturunan Climacoceras itu mengunyah makanannya. Lucu. Melihat Rena tertawa seperti ini, aku jadi ingat masa kecilku.

The Roots of Feelings [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang