22 - Keluarga

39 28 5
                                    

Setelah Darwin mengungkapkan perasaannya padaku, hubungan kami semakin aneh. Dia jarang menampakkan dirinya dihadapanku. Mungkin Darwin menyesal telah mempermalukan dirinya sendiri. Sedangkan aku semakin bingung dengan perasaanku. Aku benci Darwin, tapi hatiku menolak itu. Apalagi setelah kejadian di Sanur. Raga dan jiwaku serasa punya pemikiran yang berbeda.

Pada hari minggu Darwin sudah jarang pulang ke rumah. Kalau dia butuh sesuatu, Darwin selalu pulang lebih dulu di hari sekolah sebelum aku datang. Paman pun hanya bisa terheran-heran dengan gerak-gerik putra semata wayangnya itu.

Suatu hari, Darwin pulang ke rumah untuk mengambil beberapa buku lamanya dan kami berpapasan. Kami langsung membalik arah untuk saling menghindar. Kulihat sepintas wajahnya merona. Apa dia serius punya perasaan 'itu' padaku? Apa dia sudah gila?!

Beralih dari kegalauanku dan Darwin, ujian makin dekat. Hal itu semakin membuatku tegang. Walaupun guru-guru terus memberi semangat, perasaan gelisah yang aku rasakan sulit hilang. Aku sudah mengurangi jam kerja di toko, Paman sangat memaklumi. Sementara kulihat Darwin di sekolah masih sering memikirkan hal-hal yang kurang penting, hingga akhirnya tidak fokus untuk mempersiapkan ujian.

"Seminggu lagi pelaksanaan ujian. Tetap tenang dan selalu semangat." Pak Wisnu sekali lagi memberi motivasi pada anak didiknya.

Elite High School sering mendapat rangking kelulusan terbaik se-nasional. Maka dari itu, lulusan Elite biasanya selalu diterima di universitas mana pun. Termasuk di universitas internasional.

"Selamat berjuang anak-anak." Sebelum pulang, wali kelas memberi penutup. Pak Wisnu bisa-bisa berubah jadi Najwa Shihab kalau terus memberi petuah pada kami.

"Terima kasih, Pak." Jawab kami semua dengan suara sumbang.

Selama perjalanan pulang, aku terus membaca buku untuk mempersiapkan ujian. Aku merasa ada yang berjalan di belakangku. Aku berusaha fokus terhadap bacaanku dan tidak mau tahu siapa yang mengikutiku itu.

"Darwin!" Seseorang memanggilnya. Suara yang memanggil itu milik Luna. Mendengar nama itu pun membuatku sejenak mengangkat kepala dan menatap apapun di depanku. Kemudian aku berjalan lagi dan pandanganku beralih pada bukuku lagi.

"Iya, Lun?"

"Kamu dipanggil Pak Wisnu, beliau menunggumu di kantor." Suara itu semakin menjauh. Kenapa dia mengikutiku tadi?

==========

"Kevita, makan malam dulu." Kata Nenek. Makan malam telah siap di atas meja. Kurasa Paman sedang menutup toko, suara rolling door terdengar sampai ke kamar. Nenek memanggilku lagi beberapa kali, dari tadi aku gak kunjung keluar.

"Iya, Nek. Tunggu sebentar." Sahutku. Nenek yang sudah menerima jawabanku, suaranya menghilang dan mungkin kembali ke meja makan dan mempersiapkan nasi untukku dan Paman. Aku gak keluar-keluar, aku masih sibuk berkutat dengan soal-soal. Kursi ini serasa lebih lengket dari kursiku di kelas yang pernah dilumuri permen karet. Sulit beranjak dari sini. Tapi gak lama kemudian kudengar suara Paman menanyakanku.

"Mana Kevi, Bu?" Paman memang memanggil Nenekku dengan sebutan 'Ibu', karena Paman sudah menganggap Nenek seperti ibunya sendiri.

"Masih di dalam." Jawab Nenek terselip nada hawatir. Aku mulai gak fokus.

"Kevita, ayo makan." Panggil Paman dengan nada mengalun agar aku segera keluar dari kamar.

"Iya." Aku menjawab panggilan Paman. Aku pun menyerah dan ikut bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Aku juga tidak boleh egois pada perutku sendiri.

Mataku menemukan Nenek dan Paman telah duduk berhadapan yang dipisahkan sebuah meja makan berbentuk kotak dan makanan di atas meja pun telah tersusun rapih.

The Roots of Feelings [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang