10 - Hutang

54 39 4
                                    

Hari ini aku berbelanja di swalayan yang gak jauh dari sekolah. Aku mau membelikan daging untuk Nenek. Swalayan yang kudatangi ini adalah tempat belanja terbesar dan terlengkap di kota dan juga terkenal dengan kehigienisannya. Tempat ini juga gak pernah sepi dari pengunjung.

Kemarin, aku lihat ada banner promo daging sapi. Aku sangat tertarik membelinya. Untuk orang kaya aku beli daging sapi rasanya susah sekali. Aku gak punya uang yang cukup. Aku lebih memilih beli telur dan sayur untuk untuk sehari-hari.

Aku memulai menelusuri lorong daging dan ikan segar. Sebenarnya sekarang keuanganku gak bagus-bagus amat, tapi karena ada promo kurasa cukup untuk membeli sedikit daging. Walaupun hanya membeli 1/4 kilo aku tetap bersyukur. Besok awal bulan, aku akan menerima uang beasiswaku.

Layar kecil pada timbangan daging itu memperlihatkan harganya. Aku mengelus dada ketika harganya gak sampai mencekik dompetku. Keranjang merah ini hanya kuisi dengan daging sapi. Aku gak punya uang lagi untuk membeli yang lain. Lalu kulangkahkan kaki menuju kasir untuk membayar belanjaanku. Dompetku telah mengeluarkan uang terakhirnya, miris melihat dompetku hanya tersisa selembar uang dua ribu rupiah kembalian dari daging tadi.

"Jangan lupa sama tugasku. Kalau gak cepat diganti, bunganya gak akan tumbuh sesuai tenggat waktu." Tiba-tiba seseorang berbisik tepat ditelingaku.

"Ya ampun, bikin kaget aja." Aku terperanjat lalu mengelus dada. Dia ini ada dimana-mana. Selain penipu, dia juga penguntit ulung.

"Aku harus cepat pulang, bisa-bisa dagingnya busuk," kucoba menghindar dari janjiku untuk mengganti pot bunganya yang pecah dua hari lalu. Dan harusnya hutang itu sudah lunas ketika aku menemukan buku catatannya yang hilang. Dia curang.

"Aku akan ikut ke rumah, lalu kita ke toko bunga." Rupanya dia gak akan membiarkanku kabur dengan mudah.

"Huh— ok ok." Aku meratapi apa yang terjadi. Mau gak mau aku harus bertanggung jawab.

Aku dan Darwin memulai pencarian. Aku diam saja, padahal aku sudah tidak punya uang lagi. Apa bisa bunganya cuma dibayar dua ribu? Kami terus berjalan dan akhirnya menemukan toko bunga "Mewangi".

Dari kecil hobiku memang menanam dan menghias bunga, keahlian Ibu menurun padaku. Jadi walaupun rumah kami hanya gubuk kecil, kurasakan keindahannya terpancar oleh bunga-bunga yang kami tanam. Selain buku, bunga juga dapat menentramkan perasaanku. Beruntungnya sekolahku memiliki banyak jenis bunga, yang membuatku tidak merasa kesepian. Apalagi ketika bercampur dengan cahaya matahari, aku sangat menyukainya.

"Kamu yang harus bikin." Pinta Darwin sebelum menghampiri toko bunga itu. Aku masih diam saja.

Kemudian Darwin mendorongku pelan untuk menyuruhku menghampiri toko bunga itu duluan.  Rangkaian bunga besar sebagai ucapan selamat atau ucapan berduka cita mentereng di depan toko menyambut para pengunjung. Bunga-bungaan kecil pun berderet, seperti menggiring kami memasuki toko.

Seorang pelayan menghampiri kami. "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya.

"Kami ingin menanam bunga mawar di dalam pot kecil, bisa?" Darwin mengatakan apa yang dia inginkan.

"Bisa. Ayo masuk." Ajak pelayanan laki-laki itu dengan santun.

"Itu tugas kamu, sana kerjakan." Perintah Darwin padaku.

"Iya iya." Aku berjengit jengkel karena diperlakukan seperti kacung.

Darwin menunggu sembari melihat-lihat bunga yang cantik. Dia gak merasa bosan menungguku di luar. Terang aja dia ditemani harumnya aroma bunga yang ada disini.

Pelayan ini banyak bertanya. Dia bertanya untuk apa aku menanam bunga ini. Aku pun menjawab seadaanya, "Tugas sekolah." Kemudian dia bicara lagi, katanya dia senang bisa mendapat pelanggan dari Elite High School. Dia juga mengajukan permintaan untuk berfoto bersama kami dan akan memajang foto itu di beranda toko. Dia terus saja bicara, membuatku risih. Aku pun jadi gak sungkan untuk menyentaknya. Dan akhirnya mulutnya itu terkunci.

The Roots of Feelings [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang