Saat sampai di rumah sakit, aku tidak menemukan Arvin di kamar dan Nenek pun masih tertidur. Aku duduk di kursi samping bangsal sembari memikirkan jalan keluar dari masalah tagihan rumah sakit ini.
"Bagaimana kalau kita menjual rumah itu, Nek?" Terbesit pemikiran seperti itu. Aku dan Nenek gak punya tabungan atau pun asuransi kesehatan. Hanya rumah itu yang kami punya.
Siang sudah berganti malam, bintang-bintang bertaburan mengisi langit yang kosong. Aku menghampiri Arvin yang sedang duduk di bangku taman. Dia menengadah ke atas, gak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
"Hei." Sapaku. Dia menoleh kearahku dan menimpaliku dengan senyum. Aku ikut duduk bersamanya.
"Makasih banget udah baik banget sama aku." Aku membuka obrolan di antara keheningan kami.
"Maaf, bikin kamu telat pulang malam itu, sampai Nenek diopname begini." Arvin meratapi penyesalannya, dia merasa bersalah padaku.
"Bukan salahmu, Vin." Aku meraih tangan Arvin dan kami kembali menatap langit.
Aku beruntung memiliki Nenek dan Arvin. Mereka hartaku yang paling berharga. Tuhan masih sayang padaku. Nyatanya, orang jahat sepertiku masih dikelilingi orang-orang baik. Aku gak mau mereka pergi dari kehidupanku. Cukup kedua orang tuaku menjadi yang terakhir.
"Ekhem." Mendengar dehaman itu, kami reflek menoleh ke sumber suara.
Kami berdua menemukan sosok Darwin sedang berdiri memperhatikan kami dari belakang. Kami berdua sontak berdiri dan menjauhi satu sama lain.
"Ayahku datang menjenguk, aku diminta cari kamu." Beritahu Darwin seadanya. Gak tahu apa yang lucu, tapi kulihat Arvin berusaha menyembunyikan tawanya. Apa yang dia tertawakan?
"Kita sebaiknya ke kamar, gak enak bikin Paman dan Nenek nunggu." Ucap Arvin kemudian. Kami bertiga pun berjalan beriringan dengan aku yang berada di tengah mereka.
Paman mendengar semua kisah tentangku dari Nenek. Semua penyebab diriku berubah menjadi angkuh dan anti sosial. Aku sempat mendengar cerita akhirnya ketika aku memasuki kamar, tapi aku gak mau berkomentar apa pun. Walaupun sikapku masih dingin, Paman tetap memperlakukanku dengan baik.
Aku menyapa Paman dan dijawab dengan ramah. Paman berbasa-basi darimana aku pergi. Aku hanya menjawab seadanya kalau aku baru saja dari taman. Aku masih bersikap canggung, tapi rasanya aku gak mau lagi begini. Aku menyesali dalam hati. Maafkan aku, Paman. Aku membatin.
Aku mengambil dua gelas air mineral untuk dua tamu yang datang. Inilah saatnya aku mengutarakan usulanku untuk menjual rumah. Hasil penjualannya dapat kami gunakan untuk membayar tagihan perawatan Nenek.
"Nek, aku gak punya tabungan buat bayar tagihan rumah sakit, gimana kalau kita jual rumah?" Aku melayangkan pertanyaan yang terus berputar-putar di kepalaku itu.
"Lalu kita tinggal dimana?" Tanya Nenek yang sedikit ragu dengan usulanku. Aku belum memikirkan soal itu. Terlihat Arvin yang mau angkat bicara. Pasti dia akan marah padaku karena aku seperti gak menganggap tawaran bantuannya. Aku salah mengatakan soal ini dihadapannya. Sebelum Arvin mengeluarkan suaranya, Paman lebih cepat mendahuluinya.
"Kalian bisa tinggal di rumah kami. Paman tinggal sendirian di rumah karena Darwin tinggal di asrama. Kevita bisa sambil kerja di toko." Ujar Paman. Mendengar tawaran itu Arvin langsung menarik lagi kalimat yang mau dia katakan.
"Benar juga, Nek. Uang lebih dari hasil penjualan rumah bisa ditabung buat biaya kuliah Kevi." Arvin memberi tanggapan.
Heh? Dia gak jadi marah? Syukurlah. Tapi kenapa dia tiba-tiba setuju tentang itu? Kurasa ekspresinya tadi gak cocok dengan kata-kata yang barusan dia ucapkan. Aneh. Tapi, akhirnya aku bisa tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roots of Feelings [TERBIT]
RomanceKevita adalah gadis yatim piatu yang berjuang untuk bertahan hidup dari kemiskinan. Karena trauma masa kecil, Kevita selalu mimisan di saat-saat tertentu dan tidak bisa mengontrolnya. Sifat Kevita yang buruk membuatnya semakin terperangkap dalam ba...