5 - Rahasia yang Terbongkar

73 42 7
                                    

Sepulang sekolah aku pergi ke pasar untuk membantu Nenek jualan. Sesampainya di pasar, aku gak menemukan Nenek. Ingin bertanya pun kuurungkan, aku malas menerima petuah orang-orang tua yang mengomentari sikapku yang buruk. Orang-orang di pasar sering membicarakan tingkah lakuku. Pernah kulihat mereka melarang anak-anak atau cucu mereka untuk mendekatiku. Mereka memberi julukan nenek lampir padaku.

Beruntungnya, informasi yang kucari datang sendiri. Aku mendengar obrolan ibu-ibu tentang kepindahan Nenek ke pasar lain. Setelah mendengar nama pasarnya aku langsung meluncur ke sana.

Nenek pindah ke tempat yang cukup jauh dari rumah. Apa jangan-jangan tadi pagi Nenek jalan kaki sendirian? Memikirkannya saja membuatku semakin gusar. Aku langsung mempercepat langkah. Aku cukup resah antara yakin dan tidak kalau Nenek ada di sana. Aku gak sabar untuk segera bertemu Nenek dan melihatnya baik-baik saja. Aku pun merelakan uang saku terakhirku untuk naik bis umum. Uang terakhirku yang berharga menghilang dan yang kudapat bis yang sesak dan lambat. Ukh!

Pasar yang kutuju sudah di depan mata. Ada papan selamat datang yang bertuliskan Pasar Penintan. Kulanjutkan perjalananku memasuki kios-kios pasar dan mencari sosok Nenek. Kebaya bermotif kembang kemboja kulihat dari jauh. Tangannya yang keriput sedang menerima uang dari pelanggan. Itu Nenekku.

"Nenek!" Seruku. Aku sedikit mengagetkan Nenek yang sedang menjual jajanan pasar.

Rupanya di sini kue-kue tradisonal buatan Nenek juga menjadi favorit. Kulihat banyak orang yang membelinya. Nenek sudah ahli membuat kue sejak belia. Harga yang dipatoknya gak terlalu mahal, makanya Nenek memiliki banyak pelanggan tetap. Kue yang paling kusuka adalah kue getuk dan putri ayu dengan kelapa di atasnya. Enak. Nenek selalu membuatkan khusus untukku.

"Cucuku sudah pulang?" Nenek yang senang melihatku begitu bersemangat. Lebih tepatnya hawatir.

"Kenapa gak kasih tahu dulu kalau Nenek pindah? Aku nyari kemana-mana." Kataku. Aku melepas tas dan beristirahat sejenak.

"Apa karena mereka gak suka sama Kevi?" Tanyaku kemudian.

Saat berjualan di pasar yang dulu banyak pelanggan kabur karena sikapku yang buruk saat melayani pelanggan. Sebelum kesini kami berjualan di Pasar Rutan yang hanya berjarak satu kilometer dari rumah. Aku sering membantu Nenek berjualan di pasar, dan aku tahu pelanggan gak ada yang menyukaiku. Mereka juga pernah berbisik pada Nenek bahwa Nenek harus mendidikku lebih baik lagi.

Merasa energiku sudah terkumpul, aku langsung mengambil alih pekerjaannya.

"Berjanjilah tidak membuat masalah." Pinta Nenek. Aku hanya merespon sebuah anggukan.

Sebisa mungkin aku menahan diri untuk berbicara asal, karena aku gak mau menyusahkan Nenekku yang sudah renta. Tapi ternyata sulit sekali. Aku tetap acuh kepada pelanggan yang datang.

"Kevi, tolong belikan jeruk di Toko Hurip yang ada di depan pasar. Cari saja toko buah yang besar. Nenek akan membereskan ini semua selagi kamu kesana," pinta Nenek. Kurasa Nenek sengaja menyuruhku kesana. Pelanggan yang datang kurang suka pelayananku. Tapi ya sudahlah, aku menurut saja.

Nenek sangat menyukai buah jeruk. Saat Ibu masih ada, kami sering dibelikan buah berbulir kuning itu. Ibu juga sering menyuapi kami. Kadang Ibu mengolah jeruk-jeruk yang asam menjadi obat batuk dengan menambahkan jahe. Ayah menggunakan kulit jeruk untuk membersihkan gigi.

"Aku saja, Nek. Nenek harus istirahat. Duduklah selagi aku membereskannya."

"Itu akan membuang-buang waktu, Kevi. Cepat pergi atau Nenek akan marah padamu." Ancam Nenek cukup keras. Nenek memang suka mengancamku. Aku tahu itu hanya jadi dalih saja. Nenek masih saja gak enak menyuruhku melakukan pekerjaan yang berat-berat.

The Roots of Feelings [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang