7 - Konsekuensi

59 40 0
                                    

Hal terburuk membuatku takut. Hari ini Nenek dipanggil ke sekolah. Beasiswaku benar-benar terancam, kemungkinan aku juga akan dikeluarkan dari sekolah.

Pikiranku kacau. Selama menunggu kedatangan Nenek, aku membentur-benturkan kepalaku pelan ke dinding. Kepala sekolah, komite, dan pihak yayasan sudah berada di dalam ruang kesiswaan. Ruangan itu biasa digunakan untuk menyidang murid-murid bermasalah.

Sosok Nenek muncul diujung koridor dengan ditemani satpam sekolah. Nenek gak berucap apapun,  membuatku semakin takut.

Kemudian kami masuk ke dalam. Ruangan bercat putih ini sudah terasa penuh dengan meja bundar itu. Sudah ada empat orang yang duduk di sana. Satu orang sisanya adalah wali kelasku yang terus tertunduk. Nenek dipersilahkan duduk yang berhadapan langsung dengan kepala sekolah. Kepala sekolah bukannya menyuruhku duduk juga, malah memintaku untuk menunggu di luar. Bukannya aku yang bersalah? Kenapa malah Nenekku yang disidang?

Dua jam. Aku mondar-mandir di depan ruang kesiswaan. Aku memikirkan bagaimana kalau aku benar-benar harus putus sekolah? Nenek gak akan bahagia dengan hal itu. Aku lagi-lagi mimisan, jauh lebih banyak dari biasanya. Kepalaku juga mulai sakit.

Gak lama kemudian yang ditunggu-tunggu pun keluar dari ruangan. Aku takut, apa yang akan diucapkan Nenek padaku. Napasku sedikit tertahan saking takutnya.

"Nenek." Panggilku.

PLAK!!

Sebuah tamparan mendarat dengan mulus di pipi kiriku. Aku terkejut dengan perlakuan Nenek padaku. Dia gak pernah sedingin ini.

"Nenek kecewa." Nada bicara Nenek seketika membuatku beku.

"Nek?" Reflek, aku menitikkan air mata sembari memegangi pipiku. Tapi hatiku lebih sakit melihat Nenek begitu dingin seperti ini. Dia seperti bukan Nenekku. Walau sudah renta, Nenek masih punya cukup tenaga untuk menamparku.

"Kenapa kamu jadi begini, Kevi?" Ucap Nenek. Aku semakin terisak mendengarnya. Apa salahku sebesar itu? Mana Darwin? Dia harus menjelaskan hal yang sebenarnya pada Nenekku. Aku gak peduli pejabat sekolah itu berpikiran apa tentangku. Tapi tidak untuk ditularkan pada Nenekku. Mana pengecut itu!?

"Nek, Cerita itu gak benar. Mereka semua melebih-lebihkan cerita itu." Jelasku dengan tangisan lebih keras. Nenek hanya diam.

"Nek, kumohon, percayalah sama Kevi. Aku gak pernah ngebohongin Nenek kan? Aku mohon percayalah." Aku berlutut memegang kaki Nenek. Saat ini air mataku benar-benar tumpah. Nenek juga akhinya menyadari kalau aku mimisan, tisu yang tersumpal di hidungku sudah basah karena darah.

"Ayo kita pulang. Cucu Nenek harus istirahat." Hati Nenek tersentuh dan mau memaafkanku. Aku seketika berdiri dan menatap Nenek, lalu kepeluk dengan erat. Aku gak akan membuatnya dingin seperti ini lagi. Aku janji.

Keputusannya jelas kalau aku dikeluarkan dari sekolah. Aku hanya seorang siswi yang menggantungkan nasib pada beasiswa itu. Bisa kapan saja beasiswa itu dicabut bila aku melakukan kesalahan.

=========

Aku termenung, menatap objek di depanku dengan nanar. Harapanku kini pecah menjadi sepihan kecil. Masa depanku terlihat gelap gulita. Aku adalah cucu Nenek yang gak berguna.

Aku ingat betul ketika surat kelulusan dari Elite High School sampai ke rumah. Nenek bahagia sekali dan sangat berharap itulah awal dari perubahan. Surat itu pun masih apik disimpan oleh Nenek. Ingatan itu membuatku sedih.

Masuk ke sekolah itu bukanlah hal yang mudah walaupun aku banyak memiliki sertifikat-sertifikat juara olimpiade. Aku kesulitan ketika menemui tahap tes budi pekerti. Banyak kebiasaan orang-orang kaya yang harus kuikuti sebagai salah satu syarat lulus tes. Nenek pun banyak menghabiskan banyak uang untuk membekaliku masuk sekolah itu. Seperti seragam sekolah yang harganya mencekik leher, karena seragam tidak masuk keringanan dalam beasiswa.

The Roots of Feelings [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang