Bab 1

418 34 4
                                    


Haruno Sakura POV

Selasa

Aku menyusun sendok, sedotan, dan garpu di masing-masing tempat. Kantung sampah di depan wastafel masih melirikku tajam. Aku berdeham. Koki-koki bersiul menaiki tangga, menyapaku riang seperti biasa.

Tenten dan Ino berjejel rapi di depan kaca. Memoles bedak, pewarna bibir, eyeliner dan entah apa. Aku menyeret kantung sampah menyapa keduanya. Dua gadis yang cantik. Dan... beruntung kurasa. Kantung sampah tersenyum senang. Aku baru saja melemparnya di tong besar.

Lantai restauran sudah mengkilat. Piring, gelas, dan mangkuk tertata rapi dan aku bisa tersenyum lega. Aku mendudukkan diri di dekat toilet, meraih kertas-kertas pembungkus yang belum dilipat. Satu lagi hari sibuk sebagai tukang antar makanan.

Shiftku selesai pukul enam belas dan punggungku seperti tertimpa beban berat. Makan siang bagai jam sibuk sedunia. Mengantar ini mengantar itu. Beruntunglah restoran berada di jantung kota. Puji Tuhan. Aku memarkirkan sepeda di halaman, berjalan ke rumah tetangga dengan sekantung penuh makanan.

"Kau tidak seharusnya menghabiskan gajimu untuk membelikanku makanan enak setiap hari." Nyonya Kurenai menerima kantung yang kuberikan. Aku meringis. Makanan ini bahkan tidak cukup membalas kebaikan hati sepupu jauhku. Menggeleng, kami masuk rumah bersama.

Putraku menyembul dari balik pintu kamar Mirai, putra pertama Nyonya Kurenai, dengan pistol di tangannya begitu kami sampai di ruang tengah. Seragamnya sudah tanggal; menyisakan celana jeans selutut juga kaos biru tua. Setiap hari aku meninggalkannya di sini—tidak, maksudku Nyonya Kurenai yang bersikeras. Beliau berkata Mirai butuh teman dan adiknya Minami belum bisa dikatakan sebagai teman bermain.

Aku membiarkan jagoan kecilku beraksi selagi aku meladeni ocehan nyonya rumah. Kurenai Yuhi. Sepupu jauh yang kurasa memiliki kehidupan seperti karakter Mary Sue. Dari keluarga berada lalu menikah dengan pengusaha kaya. Tidak perlu bekerja keras untuk bertahan hidup, hanya duduk manis di rumah menjaga putra-putri mereka. Sungguh sempurna. "Kurasa wanita itu benar-benar menyukai suamimu," sahutku menanggapi obrolan Nyonya Kurenai tentang seorang yang disinyalir memiliki ketertarikan khusus dengan Tuan Asuma, suaminya. Ini konyol. Aku bukanlah seorang yang pandai menggosip jadi aku tidak bisa menanggapi lebih dari itu. Namun wanita ini terlihat sangat senang menggosip. Entah karena ia tidak terlalu banyak waktu untuk pergi keluar atau memang dia ingin membuktikan bahwa suaminya adalah seorang tampan dan banyak disukai.

Ia tertawa keras mendengarkan jawabanku. Membenarkan rambut cokelatnya yang terlihat begitu cantik. Bahkan rambut cokelat itu terlihat tidak pernah kusut. Sangat jauh berbeda dengan milikku yang setiap hari hanya dikuncir asal. Oh sial. Aku baru saja membandingkan diriku dengan seorang nyonya besar.

***

Pukul empat tiga puluh tiga menit, udah lebih dari dua puluh menit kami membicarakan omong kosong. Seharusnya aku sudah ada di rumah sekarang, memanjakan diriku dengan mandi air hangat setelah bekerja keras. Aku memanggil Hiroshi, berterima kasih sekaligus meminta maaf telah merepotkan hari sang nyonya besar kembali. Kami berjalan beriringan dengan tangan saling bertaut. Bahkan setelah tujuh tahun ia hidup, buah hatiku ini tidak pernah protes ketika aku selalu menautkan tangan kami saat berjalan.

Melepas alas kaki, aku menggiring pria kecilku ke kamar mandi. Aku baru sadar bajunya penuh dengan noda lumpur kering. Meski aku tidak melarangnya bermain apa saja yang ia inginkan, namun ini terlihat cukup mengerikan. Aku akan mendapat sedikit PR untuk mencuci manual baju itu nanti.

***

"Ibu, apa kau juga berpikir rumah kita akan semakin keren jika gazebo kita diperbaiki?" Hiroshi memelukku dari belakang, membenarkan kunciran rambutku yang mengendur. Kuangkat bahu singkat melanjutkan kegiatan memanaskan makanan. Decak sebal dari si kecil mampir di telingaku, terdengar bagai nada yang terus diulang.

Under These Skies (SasuSaku ver.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang